Ada anak bertanya pada bapaknya,
“Buat apa berlapar-lapar puasa?”
Ada anak bertanya pada bapaknya,
“Tadarus tarawih apalah gunanya?”
Penggalan lagu Bimbo di atas rasanya sudah akrab di telinga kita, generasi X dan Y. Dulu, mungkin penjelasan seperti lanjutan syair lagunya sudah cukup bagi anak-anak pada zamannya: lapar mengajarmu rendah hati selalu. Tadarus artinya memahami kitab suci. Tarawih mendekatkan diri pada Ilahi.
Namun, generasi berikutnya bisa jadi tidak akan puas dengan jawaban seperti itu. Generasi Z dan Alpha, sesuai karakter mereka yang sedikit banyak juga dibentuk oleh orang tua yang “tidak ingin anak merasakan keadaan serba-terbatas seperti dirinya dulu”, akan dengan berani menuntut penjelasan lebih lanjut.
Keberanian semacam ini, dulu atas nama penghormatan dan rasa segan, hanya akan diekspresikan oleh segelintir anak. Sekarang, anak-anak cenderung lebih bebas berinteraksi karena sebagian orang tua berupaya menghilangkan sekat masa lalu yang mengekang. Hal ini, didukung dengan makin majunya teknologi, berdampak pula pada kebebasan anak-anak dalam berekspresi. Itu pun masih syukur kalau anak mau bertanya ke orang tua atau pihak yang kompeten. Bagaimana kalau mereka nekat mencari tahu sendiri di belantara informasi?
Buku Si Kembar dan Tantangan Profesor Haydar ini baru tiba beberapa hari yang lalu. Masih sangat fresh from the oven, sebab terbitnya pun memang baru bulan ini. Saya sempat meminta pendapat penulisnya, Mbak Reytia yang belum lama ini seleh jabatan sebagai Wakil Kapten Rumah Belajar Menulis Ibu Profesional Jakarta, tentang boleh tidaknya Fathia membaca. Para tokoh utamanya berusia sebelas tahun, sedangkan Fathia baru sepuluh tahun (insya Allah sebelas tahun ini, sih). Kata Mbak Rey, boleh saja asal dibaca dulu oleh orang tuanya.
“Soalnya topiknya greget,” katanya. Saya memang juga tak ingin melewatkan kesempatan untuk cepat-cepat membaca novel ini. Maka jadilah saya ngebut menyelesaikannya semalam. Setelah dibaca, yah, memang ada baiknya dibaca dengan didampingi oleh orang tua ya, untuk memastikan esensinya didapat. Bukan untuk mengekang pandangan anak, melainkan justru agar bisa jadi bahan obrolan yang makin menguatkan dalam tersampaikannya pesan kebaikan.
Lembar demi lembar saya lahap dengan cepat. Seruu, rasanya tak ingin berhenti karena tak sabar menanti apa cerita berikutnya. Sebagai orang tua bekerja dengan anak praremaja, beberapa bagian dari kisah si kembar ini cukup menohok saya.
Sudahkah saya dan suami membekali diri dengan ilmu (khususnya ilmu agama) dan teknik komunikasi yang tepat untuk menjawab pertanyaan anak-anak? Jangan-jangan kami serupa dengan orang tua Khalid dan Aya, menganggap banyak hal termasuk ibadah adalah demikian adanya dari dulu. Warisan kebiasaan yang dilanjutkan begitu saja, karena memangnya ada pilihan lain? Memangnya mau masuk neraka kalau tidak menjalankan? Memangnya nggak malu kalau kalah sama anak yang lain?
Begitulah, buku ini langsung dibuka dengan adegan yang menyentak. Khalid menyatakan bahwa ia tidak mau berpuasa pada Ramadan tahun ini, karena menurutnya puasa itu melanggar hak asasi manusia. Aya, kembarannya, tak ketinggalan mendeklarasikan hal serupa. Bingunglah orang tua mereka. Yang kemudian menjadi tumpuan harapan adalah Profesor Haydar, kakek Si Kembar. Profesor Haydar lalu menantang untuk membuktikan bahwa puasa itu memang sebagaimana pendapat mereka.
Dalam perjalanan pembuktian itulah, mengalir dialog-dialog menarik tentang puasa Ramadan, ibadah lainnya, sampai ke topik tauhid. Jangan bayangkan muatan percakapannya jadi menggurui, karena pertukaran pendapat justru disajikan dengan teramat lincah.
Di sana sini ada taburan humor dalam kadar yang pas, sebagaimana realita sehari-hari kita dan anak-anak yang kadang dibumbui dengan kejadian atau celetukan konyol. Namun bukan sembarang lelucon, karena acapkali justru di situlah kita sebagai pembaca dewasa seperti diajak berkaca.
Di luar perkara agama, terselip pula dengan luwes aneka pesan soal pentingnya menyaring informasi dari internet, perlunya memvalidasi perasaan anak, sampai dinamika hubungan kakak-beradik. Pokoknya, untuk orang tua pun buku ini sangat perlu dibaca. Cocok pula dinikmati saat Ramadan begini.
Penulisan buku ini pun rapi, baik dari segi bahasa maupun alur. Jarang ada saltik di dalamnya, penggunaan ejaan pun sudah tergolong tepat. Adapun pembabakannya setia mengikuti pakem tanpa membuat jalannya cerita mudah ditebak. Latar belakang Mbak Rey sebagai arsitek sepertinya turut berperan, misalnya dalam deskripsi rumah Profesor Haydar — terutama perpustakannya — yang bikin ingin ikut berada di sana.
Dalil agama yang disebutkan (mayoritas oleh tokoh Profesor Haydar) pun sahih. Seperti dibilang Mbak Rey, ia melakukan riset dengan membaca catatan kuliah Ushul Tsalatsah HSI, Tafsir Ibnu Katsir, dan cek di website yang diampu oleh ustadz rujukan tepercaya.
Tadi siang Fathia selesai menuntaskan buku ini. Katanya, pertanyaan Si Kembar seringkali juga muncul di benaknya. Salah satunya soal pergerakan planet-planet. Setelahnya, kami banyak berdiskusi soal cerita dalam buku. Terima kasih, Mbak Rey, untuk bukunya yang keren ini.
Judul Buku: Si Kembar dan Tantangan Profesor Haydar
Penulis: Reytia
Penerbit: Lovrinz bekerja sama dengan Forsen Books
156 halaman
Cetakan Pertama, April 2022
Mans Ya Allah jadi penasaran aku akan bukunya. Soalnya kadang pertanyaan pertanyaan ajaib jugalah yang muncul dan jika saat ditanggapi dengan kalimat sakti : kamu tidak nurut, kamu mau dibujuk setan, kamu tidak sayang Allah. Malah kadang anak muncul ego dan emosinya😭
Ulasan bukunya membuat aku penasaran dengan tulisan mbak reytia ini… Baca ulasannya aja udah menarik apalagi baca novel langsung… Makasih ulasan seru dan menariknya mbak leila ❤️❤️
Masya Allah jadi penasaran sama bukunya mba Rey. Bener ya mba Leila, memang penting banget bagi kita untuk menyampaikan ke anak-anak tentang alasan yang tepat mengapa mereka harus berpuasa. Bukan hanya sekadar menggugurkan kewajiban.
MasyaAllah ulasannya 🤩. Emang panutan banget Mbak Lei. Sudah lama enggak baca tulisannya, lalu teringat lagi ini yang mau aku ATM dan harus banyak belajar dan latihan hehe.
Ulasannya detail tentang daya tarik buku, tetapi enggak ada spoiler. Bikin jadi mau baca bukunya dan menyesal enggak ikut PO 😦
Akupun baca duluan, ngebut sebelum SID selesai baca karena ini Kan untuk 10 tahun ke atas sementara SID baru 7 tahun.
Kami sempat read aloud juga di tengah kemacetan ibukota, hahah. Lumayan jadi ga bosen.
Topiknya menarik dan khas banget gen alpha yang segalanya bertanya ke mbah gugel. Keren yah karya Mbak Rey!
Ulasan bukunya sagat bagus kak
Terima kasih, Kak 😊