Pada suatu bulan Ramadhan saat saya masih jadi anak SD, seorang paman yang sedang mudik karena liburan kuliah (orangtua saya tinggal bersama dengan orangtua mama) menyampaikan sesuatu yang cukup membuat saya kaget.
“Imsak itu bukan waktunya berhenti sahur… Masih boleh makan kok, sampai adzan Subuh,” kata beliau. Diteguknya segelas air meski sirine tanda waktu imsak tiba telah berbunyi, seakan memberi contoh langsung. Hal ini terus terang tidak diajarkan di sekolah saya saat itu. Hingga kini, 20 tahun kemudian, sepertinya masih banyak yang menganggap bahwa waktu imsak, yang jamnya tercantum di jadwal yang sering beredar dan di banyak daerah diumumkan ‘kedatangannya’ secara khusus dengan cara masing-masing, adalah batas awal dimulainya shaum pada hari tersebut. Yang artinya aktivitas seperti makan dan minum harus berhenti pada saat itu. Dengan semakin majunya teknologi informasi khususnya di bidang informasi, tulisan tentang batas akhir yang benar ini juga banyak beredar. Memang kata imsak itu sendiri artinya adalah menahan, jadi ada yang menafsirkannya menahan diri untuk lebih hati-hati, takutnya keterusan makan minum saat sebetulnya sudah tidak boleh. Namun, yang saya baca dari beberapa referensi, imsak itu ya sinonim dari shaum alias puasa, yang disebut dengan menahan diri itu ya berhenti dari hal-hal yang bisa membatalkan puasa, jadi adanya jadwal imsak yang punya selisih waktu dengan adzan subuh itu bikin rancu karena seolah-olah imsak dan mulai puasa ‘betulan’ setelah terbit fajar itu adalah dua waktu yang berbeda.
Bagi saya sendiri, dibunyikannya peringatan imsak ada manfaatnya untuk bersiap-siap. Terlebih setelah tahu bahwa mengakhirkan makan sahur itu disunnahkan. Maka kadang kami malah baru mulai sahur saat imsak tiba, walaupun tidak sering melakukannya karena khawatir ‘bablas’, terlebih jika anak sedang dalam usia bayi yang berpotensi terbangun minta menyusu sewaktu-waktu. Sebelum imsak artinya masih longgar waktu untuk sholat, sekalian memasak makanan untuk anak, atau menata perlengkapan ke kantor. Atau kalau bangun kesiangan, sudah tiba atau belumnya waktu imsak (ini sih sebetulnya sama aja dengan melirik jadwal adzan Subuh ya kalaupun tidak mendengar peringatan imsak, hehehe) bisa menjadi pertimbangan makanan apa yang bisa disajikan dalam waktu singkat kalau kebetulan tidak ada persiapan dari malam sebelumnya. Jika pun sudah selesai makan sahur, pengumuman imsak bisa dijadikan pengingat untuk minum lagi, sikat gigi dst.
Begitu pindah ke Jakarta di tahun kelima pernikahan, kami mendapati bahwa di tempat tinggal kami tidak ada peringatan imsak yang dibunyikan. Jadi kami paling-paling mengandalkan jadwal yang tersedia lalu mencocokkannya dengan jam dinding guna mengelola waktu sahur dengan sebaik-baiknya. Baru tahun ini, tahun kelima kami di Jakarta, entah bagaimana ceritanya (lupa terus mau tanya ke suami, barangkali bisa ditanyakan ke pengurus musholla) mulai ada pengumuman waktu imsak yang terdengar dari speaker musholla.
Berikut beberapa referensi terkait waktu sahur dan imsak ini (termasuk bagaimaja ketika tengah makan kemudian mendengar adzan Subuh dikumandangkan):
1. https://muslim.or.id/1290-kekeliruan-pensyariatan-waktu-imsak.html
2. https://muslimafiyah.com/dekat-dekat-adzan-waktu-terbaik-makan-sahur-dan-catatan-terhadap-waktu-imsak.html
3. https://m.facebook.com/notes/moslem-education/imsak-bukan-batas-akhir-makan-sahur/423973898410/
4. https://rumaysho.com/1231-hukum-makan-ketika-adzan-shubuh.html.
*maunya ditulis di bulan Ramadhan tapi nggak sempat-sempat :D*