Puisi “Cuma Emak Yang Tahu Rasanya”

Baru saja, salah satu anggota grup whatsapp yang saya ikuti mengirimkan puisi berjudul “Cuma Emak Yang Tahu” yang di bagian awalnya diberi tulisan “oleh Khofifah Indar Parawansa, Menteri Sosial”. Puisi  tersebut familiar bagi saya, tapi saya tidak berhasil mengingat siapa penulis aslinya. Rasa-rasanya sih, bukan tulisan ibu Mensos. Bukan bermaksud menuduh bu Mensos plagiat, justru saya menduga mungkin seperti biasanya terjadi, ada orang yang iseng menempelkan nama orang lain ke sebuah tulisan.

Saya sempat terpikir puisi tersebut sebenarnya karya Teh Kiki Barkiah.  Kenapa? Karena teh Kiki selama ini selain rajin menuliskan kisah kesehariannya dengan kelima buah hati (yang kemudian dibukukan dengan judul 5 Guru Kecilku bagian 1 dan 2), juga suka menulis puisi dengan tema serupa. Bahkan judul buku puisi teh Kiki yang belum lama ini terbit membawa pesan serupa dengan apa yang tersirat dalam puisi yang di-forward teman tadi: “Percayalah, Kelak Engkau akan Merindukan Kembali…”. Namun, dari hasil pencarian sekilas saya, sepertinya itu bukan puisi Teh Kiki.

Teringat juga saya akan puisi lain yang ramai disebarluaskan dengan nama Teh Kiki maupun Ustadz Salim A. Fillah. Puisi tersebut berjudul “Mainkan Saja Peranmu, Tugasmu Hanya Taat, kan?” (ada pula yang menuliskan judul “Jalankan Saja Peranmu”. Baik Ustadz Salim maupun Teh Kiki sudah memposting klarifikasi di media sosial masing-masing atas kesalahpahaman tersebut.

 

Penulis sesungguhnya ternyata adalah Aldiles Delta Asmara (adik Ustadz Bendri Jaisyurrahman), adapun redaksi yang sebenarnya bisa dicek di sini. Tapi seperti biasa, seringkali ‘hak jawab’ kalah cepat dan jauh larinya dibandingkan postingan dengan keterangan yang salah.

 

Kembali ke rasa ingin tahu saya akan siapa penulis yang sebenarnya, saya seperti biasa meminta bantuan Google. Oh, ternyata memang Sabtu lalu (25 Juni 2016) bu Khofifah membacakan puisi tersebut dalam sebuah acara di Gresik. Di Vivanews disebutkan bahwa seorang teman mengirimi bu Mensos puisi itu. Sedangkan di Kompas, ditulis bahwa Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa “sampai membuat sebuah puisi tentang peran ibu di keluarga” (diakses tanggal 29 Juni 2016).

Khofifah Kompas

Memang jadinya rancu kalau sudah media nasional yang bilang seperti itu, pantas saja banyak yang meneruskan dengan keterangan yang sama. Pencarian saya teruskan dengan kata kunci kata-kata dalam puisinya, yang akhirnya membuat saya menemukan nama penulis aslinya sebagaimana disebutkan di sini (warning: sebaiknya jangan diklik ya, saya tadi klik versi cache sebetulnya sih, tadi coba buka lagi kok ada peringatan mengandung virus). Saya telusuri nama yang disebutkan itu, dan sampailah saya pada postingan aslinya di sini.  Penulisnya memakai nama pena Ummu Nazma Hermawan, yang sudah ia pakai sejak lama (nama aslinya Hastuti Utami).

screenshot_2016-06-29-11-58-09.png screenshot_2016-06-29-11-58-23.png

Meskipun kebanggaan pastinya bukanlah tujuan utama, tapi ‘wow’ juga, ya, tulisan sampai dibacakan pejabat tinggi negara di acara yang diliput luas, hehehe. Toh bu menteri mengakui juga kalau itu bukan buah pikiran beliau, walaupun tidak menyebut penulis aslinya karena barangkali beliau belum memperoleh informasi lebih lanjut. Puisi itu memang jadi viral di dunia maya, banyak di-share khususnya oleh ibu-ibu (tentu saja), termasuk selebriti.

Yah, minimal bukan untuk tujuan komersial kan penyebarluasannya. Soalnya beberapa bulan yang lalu ada kasus tulisan seorang teman (yang sudah dibukukan!) dikutip semena-mena di buku tulisan orang lain. Masalah terkait cerita Uwais Al-Qarny itu sudah selesai sih, tapi tetap geregetan kalau ingat kasus serupa. Biarpun ada yang bilang ‘hak cipta sepenuhnya milik Allah’, tapi jerih payah seseorang perlu kita hargai kan, ya? Pencantuman sumber asli yang jelas juga mempermudah apabila ada hal-hal yang perlu diluruskan, ditanyakan, atau dibahas lebih lanjut.

Sebagai penutup, berikut saya kutipkan puisi versi yang sudah diedit dan dimuat oleh situs ini (plus sedikit editan juga dari saya karena postingan aslinya memang ‘asli’ emak-emak yang ditulis apa adanya termasuk soal ejaan, hehehe…maklum banget, sih).

Saat Emak baru saja memejamkan mata,
pecahlah tangisan Si Kecil dengan nyaringnya.
Dalam keadaan mengantuk, anak pun harus digendong sepenuh cinta.
Bagaimana rasanya?
Cuma Emak yang tahu rasanya.

Saat lapar melanda, terbayang makanan enak di atas meja.
Ketika suapan pertama, anak pup di celana.
Bagaimana rasanya?
Cuma Emak yang tahu rasanya.

Saat badan sudah lelah tak ada tenaga,
ingin segera mandi menghilangkan penat yang ada,
mumpung anak-anak sedang ‘anteng’ di kamarnya.
Belum sempat sabunan, anak sudah nangis berantem rebutan boneka.
Kacaulah acara mandi Emak, batal mandi walau daki masih menempel di badannya.
Bagaimana rasanya?
Cuma Emak  yang tahu rasanya.

Saat Emak ingin beribadah dengan khusuknya,
anak-anak mulai mencari perhatian, menarik-narik mukena,
mengacak-ngacak lemari baju, mumpung Emak tak berdaya.
Loncat sana loncat sini, punggung Emak jadi pelana.
Belum juga beres doa, anak-anak semakin berkuasa.
Bagaimana rasanya?
Cuma Emak yang tahu rasanya.

Sore hari anak berkumpul semua, bapak belum pulang dari kantornya,
anak-anak rebutan minta didengarkan ceritanya.
Yang satu lancar bercerita tanpa jeda, yang satu memanggil-manggil Emaknya,
minta dilihat sekarang juga.

Yang kecil menangis karena ribut gak bisa tidur
dengan indahnya, bagaimana rasanya?
Cuma Emak yang tahu rasanya.

Ah…di balik kerepotan itu semua, namun ada jua syurga di dalamnya.
Cuma Emak yang tahu lezatnya makna senyuman anak yang diberikan,
pelukan anak, ucapan cinta anak yang tampak sederhana di hadapan orang,
namun berubah menjadi intan permata di mata Emak.

Itulah mengapa saat anak bahagia, emak menangis.
Anak berprestasi, Emak menangis.
Anak tidur lelap, Emak menangis.
Anak pergi jauh, Emak menangis
Anak menikah, Emak menangis.
Anak wisuda TK saja, Emak menangis.
Anak tampil di panggung, Emak menangis….

Ah..
inikah tangis bahagia yang tak akan dapat dimiliki siapapun juga,
jika engkau tak mengalaminya sendiri sebagai Emak.

Mungkinkah ini bagian dari syurga milik-Nya
yang diberikan kepada seluruh Emak di dunia,
Sebuah cinta yang begitu lezatnya dirasa…

Dan akhirnya saya percaya, di mana ada kerasnya perjuangan Emak di dalam rumah,
maka di situ akan hadir cahaya surga yang menemani Emak yang tak kalah indahnya.

Jika hari ini engkau menangis karena repotnya mengasuh anak,
maka akan ada hari dimana engkau akan tersenyum paling manis,
karena kebaikan yang hadir bersamanya.

Keep fighting, Emak2 sayang!

Update: sehari setelah saya menulis blog ini, suami Ummu Nazma mengontak staf bu menteri

image

Beberapa kasus lain di mana nama seseorang yang tenar disematkan pada tulisan orang lain yang kemudian menjadi viral:

  1. Tulisan Yasa Singgih beredar dengan nama penulis pak Anies Baswedan.

    “Anak anak yang dididik dalam keluarga yang penuh kesantunan, etika tata krama & sikap kesederhanaan akan tumbuh menjadi anak anak yang tangguh, disenangi & disegani banyak orang. Mereka tau aturan makan table manner di restoran mewah. Tapi ngga canggung makan di warteg kaki lima dst”

    Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/www.erlin_gustina.com/didikan-dalam-keluarga_564e371ef2927365184536f4

  2. Tulisan mba Yoanita Astrid beredar dengan nama Shahnaz Haque. Presenter kenamaan ini memang sempat men-share tulisan tersebut di facebook-nya (awalnya tanpa nama penulis karena memang belum tahu siapa penulis sebenarnya), kemudian dimuat pula di salah satu media online. Puisi bertajuk “Hanya Soal Waktu” tersebut aslinya bisa disimak di sini http://strobela.blogspot.co.id/2015/12/hanya-soal-waktu.html?m=1.

A Quarter

Desember 2007 yang lalu, saat masih aktif ngeblog di MP, saya dikejutkan oleh personal message dari Mba Arleen Amidjaja. Ya, mbak Arleen Amidjaja yang penulis (utamanya buku anak-anak) itu. Mba Arleen mengirimkan sebuah puisi karyanya sebagai tanggapan atas postingan saya mengenai ulang tahun suami yang ke-25. Puisinya manis dan mengena. Alhamdulillah walau situs blogging Multiply sudah almarhum, saya masih menyimpan arsipnya di e-mail. Sebagai kenang-kenangan, saya pajang di sini saja. Oya, setelah googling, ternyata puisi ini aslinya ditulis oleh Mba Arleen pada Maret 1999 (bisa dilihat di sini).

A Quarter
….. A Brief Contemplation on my 25th Birthday …..

by Arleen Amidjaja

Today I have lived exactly for a quarter of a century
And yet,
I have neither said nor done a quarter of the things I should’ve said and done
Haven’t even had a quarter as many good intentions as I should’ve had
Have neither known nor understood a quarter of the things I should’ve known and understood
Haven’t even learned a quarter of what’s out there to be learned
Have neither achieved nor been close to achieve a quarter of something admirable to be proud of
Haven’t even had the courage to decide what’s worth fighting for
Have neither touched nor changed a quarter as many lives as I would love to
Haven’t even given a quarter of kindness I should’ve been able to give
And haven’t even healed a quarter as many wounds as I planned to
In short,
I haven’t truly lived a quarter of even a quarter-full life

But then,
It doesn’t take me a quarter of a second to realize
I have definitely laughed more than a quarter of my share of laughing
Have loved more than a quarter of my share of loving
Have been loved way beyond a quarter of my share of being loved
Basically,
I have truly had much more than a quarter of my share of truly living
And,
Even though I may have had more than a quarter of my share of regrets,
They have forced me to see more than a quarter of my share of insights I would otherwise have never seen
Even though I may have done more than a quarter of my share of crying,
The tears I’ve shed were not even a quarter as heavy as those shed by others
So, I guess
Even though I’m not at all a quarter done
I have actually had a quarter of a century worth smiling about