Waduh, anak saya kok kurus banget, ya?
Bb bayi saya nambahnya cuma dikit, nih :-(.
Dibandingkan sama sepupunya yang seusia, kok anak saya kayaknya kurang tinggi, ya?
Pertanayaan-pertanyaan di atas seringkali menghantui orangtua, khususnya para ibu. Sebagai orang yang sehari-hari mengasuh dan merawat bayi/anak, ibu biasanya jadi merasa khawatir, adakah sesuatu yang salah? Apakah makanan yang diberikan kurang memenuhi kebutuhannya?
Jangan-jangan perlu suplemen tambahan? Apakah mungkin ada penyakit atau gangguan kesehatan yang menghambat pertumbuhan anak? Ada yang panik, tetapi ada juga yang ‘menyangkal’, percaya bahwa yang penting anaknya (terlihat) sehat dan aktif.
Sebelum loncat ke pencarian penyebab, apalagi langsung cari solusi, ada baiknya cek dulu. Benarkah ukuran tubuh anak memang sudah berada dalam tahap perlu perhatian? Nah, untuk menjawab pertanyaan ini tentu diperlukan suatu standar. Bayi tetangga, keponakan, anak pak RW walau usianya sama tetapi belum cukup memadai untuk dijadikan pembanding.
Diperlukan sampel yang jauh lebih banyak untuk menghasilkan standar yang dapat digunakan oleh masyarakat luas. Salah satu standar yang dipakai secara luas adalah kurva pertumbuhan alias growth chart.
Ada lebih dari satu versi growth chart, dan versi yang lebih disarankan untuk dipakai adalah versi WHO (terakhir versi 2006). Mengapa? Karena versi lain seperti keluaran Centers for Disease Control and Prevention (CDC, bagian dari Kementerian Kesehatan Amerika Serikat) yang dibuat tahun 2000 misalnya, didasarkan pada bayi ras kaukasian dan banyak di antaranya memakai susu formula.
Kurva pertumbuhan versi CDC ini di masa kelahiran anak pertama saya masih tercetak di buku KIA yang diberikan oleh rumah sakit swasta di Solo. Tentu, standar CDC berbeda dengan versi WHO yang mengambil sampel dari enam negara (Brasil, Ghana, India, Norwegia, Oman, dan Amerika Serikat) dan mengonsumsi ASI. Saya bahkan pernah membaca tulisan seorang dokter bahwa untuk membuat kurva WHO ini disaring pesertanya, tidak boleh dari keluarga yang ada perokoknya misalnya, untuk mendapatkan contoh pertumbuhan bayi yang optimal. Sedangkan untuk bayi yang lahir prematur, ada growth chart Fenton. CDC sendiri kemudian justru merekomendasikan penggunaan growth chart WHO.
Samakah growth chart WHO ini dengan grafik yang sering ada di KMS (kartu menuju sehat, biasa dibagikan di posyandu-posyandu atau oleh bidan) maupun buku KIA (kesehatan ibu dan anak, biasanya diperoleh dari dokter atau rumah sakit)? Secara garis besar sama, tetapi yang perlu diperhatikan adalah sekarang masih banyak beredar KMS versi lama yang didasarkan pada growth chart WHO versi terdahulu. Posyandu dekat tempat tinggal saya di Jakarta Timur juga masih memakai KMS ‘jadul’ ini.
Salah satu ciri KMS versi lama ini adalah belum dibedakan antara anak laki-laki dan perempuan, juga ASI eksklusif masih dianjurkan hanya sampai usia bayi 4 bulan. KMS dan KIA tahun 2011 dari Kemenkes bisa diunduh di sini.
Update: Buku KIA 2016 dari Kemenkes bisa diunduh di BUKU KIA 20_03 2016.
Update: Buku KIA terbaru 2020 dari Kemenkes RI bisa diunduh di sini: Buku KIA revisi terbaru 2020.
Kementerian Kesehatan RI juga telah mengadaptasi growth chart WHO, bisa dilihat dari SK No. 1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak (bisa diunduh di sini) — UPDATE Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tentang Standar Antropometri Anak tahun 2020 bisa diunduh di sini). Hanya saja, dalam lampiran SK tersebut bentuknya adalah tabel yang cenderung membuat fokus pada satu titik waktu saja.
Bagaimana cara membaca kurvanya? Di sini yang digunakan sebagai contoh adalah kurva berat badan terhadap usia. Katakanlah seorang bayi berat badannya berada di persentil 10, berarti 10% anak seusianya (dari yang disurvei) memiliki berat badan di bawahnya dan 90% anak seusianya lebih berat darinya. Sederhananya, mirip juga, sih, dengan ‘banyak temannya’ atau tidak, tapi dengan sampel yang lebih banyak daripada hanya bayi-bayi satu RT.
Kenapa perlu growth chart? Karena penilaian akan pertumbuhan bayi tidak bisa hanya dilihat dari satu titik. Adalah lebih penting memantau tren pertumbuhan bayi dari bulan ke bulan. Apakah garis pertumbuhannya naik, turun, atau mendatar. Konsekuensinya, orangtua memang harus rajin menimbang anak, juga mengukur tinggi/panjang dan lingkar kepala anak.
Sebisa mungkin gunakan timbangan yang sama, karena beda timbangan berpotensi ada selisih akibat salah satunya tidak ditera atau kurang akurat. Jadi walau bb ada di persentil rendah sekalipun, selama konsisten, bisa saja tidak ada masalah. Karena genetik, misalnya, jadi memang bawaannya kurus.
Namun, sebetulnya potensi genetik anak bisa saja lebih optimal, jadi untuk menilai dari aspek ini sebaiknya dibantu oleh ahlinya. Kapan orangtua perlu waspada? Ketika garis pertumbuhan anak sudah memotong dua garis (ini versi CDC sebetulnya), baik ke atas maupun ke bawah. Tentunya perlu ditilik juga, misalnya apakah dalam masa itu anak sempat sakit. Sebab anak sakit biasanya memang berdampak pada selera makan dan berat badannya.
Versi asli ada di http://www.who.int/childgrowth/standards/en/, saya hanya mencoba mengonversi ke format JPEG.
Tersedia pula software yang memudahkan orangtua di http://www.who.int/childgrowth/software/en/.
Referensi lain yang lebih lengkap bisa dibaca di http://theurbanmama.com/articles/growth-chart.html. Masih ada PR dari Mba Monik (penulis artikel tersebut) untuk baca-baca lagi di sini.
Pingback: “Silent Disease” dan Hubungannya dengan Pertumbuhan Anak | Cerita-Cerita Leila