Tere Liye: Penulis Itu Harus Keras Kepala!

Melihat pengumuman bahwa Tere Liye akan mengisi Bincang Buku di Gramedia Matraman tanggal 23 Desember, tentu saya senang sekali. Sebelumnya saya memang sudah pernah bertemu dengan bang Darwis, begitulah nama asli Tere Liye, di Islamic Book Fair entah tahun berapa (sebelum Fahira lahir sepertinya). Malahan waktu itu sesi book signing bukunya yang dilakukan di stand Republika tergolong agak sepi, sehingga para penggemarnya, termasuk saya, bisa sambil mengobrol santai sejenak saat buku ditandatangani.

Namun saya tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk mendengarkan kembali cerita bang Tere secara langsung. Sekian tahun berlalu, pastilah banyak perkembangan yang terjadi. Misalnya, kenapa lantas menulis untuk segmen remaja? Mengapa seri Anak-anak Mamak dikemas ulang dengan judul baru? Bagaimana proses menulis dengan co-author yang diterapkannya untuk beberapa buku? Apa kabar protesnya terhadap pajak penulis tempo hari?

Sebagian pertanyaan di atas terjawab dalam sesi bincang-bincang hangat sore itu. Tanpa pengantar moderator ataupun MC, bang Tere langsung menguraikan banyak hal. Di sebelahnya, salah satu co-author-nya, yaitu abangnya yang bernama Sarippudin mendampingi walaupun tidak terlalu banyak menimpali.

Kenapa Tere Liye menulis? Bang Darwis sebenarnya adalah lulusan Akuntansi FEUI, bahkan pernah berpartisipasi dalam penyusunan sejumlah PSAK. “Boleh jadi menulis adalah salah satu jalan hidup saya untuk berkontribusi bagi orang lain,” akunya.

Kontribusi ini akhirnya berupa konten novel yang tak sedikit pun memuat tentang pacaran vulgar, minuman keras, rokok, pertentangan etnis, dll. Untuk genre fantasinya, ada kisah persahabatan yang bisa menggugah pembaca

Kata bang Tere, “Saya ingin memberikan alternatif bacaan untuk remaja dan anak-anak. 90% anak sekarang lebih suka pegang gadget daripada buku. Salah satu penyebabnya bisa jadi penulis Indonesia tidak cukup menyediakan alternatif buku bacaan untuk mereka. Maka saya ingin ambil bagian untuk menyediakan bacaan yang bisa dibaca oleh remaja dan anak-anak.”

“Semoga bisa menginspirasi. Tak pernah bermimpi mengubah dunia, tetapi paling tidak, bisa menggerakkan pembaca, untuk minimal mengungkapkan rasa cinta ke ibu setelah membaca Hafalan Shalat Delisa misalnya,” harap bang Tere. Lantas, kenapa harus menulis novel? Katanya sih, dunianya adalah dunia fiksi. Bang Tere mengaku tak pandai menulis buku motivasi atau sejenisnya.

Dari tahun 2006 s.d. 2018, sudah 32 atau 33 novel bang Tere yang diterbitkan (di awal-awal, ada yang diterbitkan secara independen, katanya, sehingga entah bisa masuk hitungan atau tidak). Genre novelnya berbeda-beda. Yang mendominasi adalah genre keluarga dan anak-anak, disusul dengan genre romance, fantasi, action, hingga ekonomi politik.

Tentang multigenre, bang Tere berpendapat bahwa adalah tugas seorang penulis merilis alternatif bacaan bagi pembacanya. Penulis juga dituntut untuk banyak belajar dan mengembangkan kemampuannya dengan cara menulis dalam genre yang beragam. Toh belum semua genre ia rambah. Horor misalnya, yang menurutnya belum ia mengerti bagaimana meramunya dengan benar.

“Novel horor lebih sulit penggarapannya daripada film horor yang sudah punya amunisi musik dan gambar yang bisa dipakai untuk mengejutkan dan menakut-nakuti pembaca. Risetnya sih sudah berjalan dua tahun, tiap jalan ke daerah suka bertanya kisah paling horor di tempat itu. Tapi rasanya berbeda antara diceritakan dengan dituliskan kembali,” tutur bang Tere. Genre detektif pun belum disentuh. Juga novel olahraga, padahal ia ingin sekali bikin novel tentang sepak bola. Apalagi jika menengok pengalaman negara lain, sepakbola Jepang memperoleh kemajuan salah satunya setelah serial Captain Tsubatsa dirilis.

Setelah sekian tahun berjalan, bang Tere mulai merasa bahwa produktivitasnya terbatas, apalagi banyak serial (novel yang ceritanya bersambung atau saling berhubungan) yang digenjot.

“Energi rasanya sudah banyak terkuras untuk membuat buku-buku major yang standalone, sebut bang Tere.

Di akhir tahun 2017 muncul ide perlu adanya tandem penulis atau co-author untuk membantu menyelesaikan novel berikutnya, khususnya yang berupa serial. Sebab bangunan besarnya, universe-nya sudah dibuat. Co-author tinggal berjalan mengikuti bangunan itu

“Marvel sudah melakukannya sejak tahun ’60-an, seperti Stan Lee yang setelah karakter besarnya muncul lalu dilanjutkan oleh tim,” kata bang Tere.

Bang Saripuddin ikut urun bicara. “Tantangan terbesar menjadi co-author adalah nama besar penulis utama, bukan tentang menuangkan ide atau mengembangkan cerita,” sebutnya. Novel Si Anak Cahaya, dari universe Anak-anak Mamak yang baru saja terbit dan berfokus pada cerita mamak, 80% ditulis oleh bang Sarippudin.

Co-author perlu siap-siap juga sering kena marah. Kalau cerita bang Tere, dalam kontrak awalnya sih ia akan memeriksa setoran per bab dari co-author. Akan tetapi akhirnya satu draft buku diselesaikan sekalian, baru ia periksa.

Draft awal ini sempat babak belur di tangannya. Istilahnya maju 10 bab, yang dihancurkan 11 bab. Itu mengapa bang Tere bilang seorang penulis itu harus keras kepala, karena akan ada penolakan yang dihadapi dan perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan. Perbaikan draft hasil tulisan co-author adalah bagian dari proses belajar. Draft berikutnya lebih baik, hingga akhirnya selesai juga. Ini bisa dibilang pertaruhan juga bagi seorang Tere Liye.

Ya, ketika memutuskan mengambil co-author, Tere Liye mempertaruhkan nama baik dan reputasinya. Namun ia berprinsip, “Kebanggaan seorang penulis bukan hanya ketika bukunya dibaca, melainkan juga ketika bisa menghasilkan penulis lainnya.” Lahirnya penulis baru maupun aktifnya penulis lama bukan dianggap saingan, justru menyenangkan ketika banyak penulis yang membuahkan karya.

Dua co-author yang direkrut adalah untuk serial Bumi Bulan Matahari yaitu bang Sarippudin untuk kelanjutan serial Anak-anak Mamak, dan Diena Yashinta –yang disebut oleh bang Tere sebagai keponakannya sendiri– untuk sambungan kisah fantasi remaja Matahari Bumi Bulan. Memang sejauh ini co-author diambil dari lingkaran sendiri yang bisa dipercaya, tetapi bang Tere mengungkapkan bahwa nantinya akan ada perekrutan terbuka karena ia percaya semua orang bisa menulis. Penulis yang lolos nantinya akan mendapatkan pembekalan juga.

Seperti kata bang Tere, semua orang bisa menulis. Namun bisa jadi seseorang masih kurang belajar, belum tahan banting, dan belum keras kepala. Ketahanan ini penting karena urusan penulisan dan penerbitan ini bisa begitu melelahkan, dengan segala penolakan, permintaan revisi, dll.

Seorang bapak peserta bincang buku sempat menanyakan cara memotivasi anaknya untuk menulis. Jawab bang Tere, “Untuk anak SD, jangan didorong habis-habisan untuk menulis, seharusnya di-encourage untuk banyak-banyak membaca. Dengan kebiasaan tersebut, lalu mulai dimotivasi untuk mengirimkan naskahnya. Motivasi ya, jangan paksa. Bisa mengirimkan puisi ke majalah anak-anak misalnya.”

Bang Tere menyemangati, katanya jangan berkecil hati kalau tidak langsung dimuat. Toh Tere Liye pernah ditolak 15 kali oleh Kompas. Dalam satu sesi temu penulis bersama, bang Tere juga mendapat cerita langsung bahwa tulisan Ahmad Tohari bahkan pernah ditolak 19 kali oleh koran tersebut. Dorong juga untuk mulai membuat blog, menulis apa saja, catatan perjalanan, puisi, atau cerpen.

“Kita perlu lebih banyak penulis di Indonesia. Rasionya sekarang sadis, 10.000:1. Itu pun hanya 10% yang produktif setiap tahun,” jelas bang Tere.

Salah satu alasan orang kurang semangat jadi penulis, menurutnya adalah penghasilan yang mungkin dirasa tidak menarik. Apalagi setelah pajak. Bang Tere dulu juga mengalami, jangan dikira langsung best seller terus. Novel pertama, kedua, ketiga tidak laku. Hafalan Shalat Delisa tahun 2006 hanya laku 3000 kopi.

Kembali ke soal multigenre, tahun 2014 bang Tere Liye mulai merilis fantasi remaja dengan judul-judul Bumi, Bulan, Matahari, dan Bintang, lanjut dengan judul-judul lain yaitu Ceros dan Batozar dan Komet dengan co-author. Bang Tere mengajak untuk tulis cerita-cerita yang diperuntukkan bagi remaja, temanya tidak harus percintaan, bisa mengarah ke persahabatan.

Kalau diminta mendefinisikan buku yang bisa dibaca oleh remaja atau tidak, bang Tere mengaku tidak tahu. Bahkan ia kadang bimbang, apa bukunya bermanfaat atau malah merusak. Kalau bertemu dengan orang tua yang memintakan tanda tangan di buku anaknya, biasanya ditanya balik oleh bang Tere, apakah sudah baca bukunya dan pastikan isinya aman untuk anaknya? Namun, tidak tahu definisi tersebut bukan berarti tidak melakukan apa-apa. Jika berbicara di acara-acara literasi, biasanya bang Tere selalu mengingatkan tentang pentingnya literasi khususnya bagi generasi muda.

Menulis fantasi remaja itu bagi bang Tere tidak rumit, karena tidak akan pernah ada yang protes. Namun menulis novel major yang stand alone memang rumit. Rindu adalah novel yang mengambil tema langka yaitu membukukan kisah berangkat haji dari Makassar tahun 1938 yang masih menggunakan kapal untuk perjalanannya. Kenapa tema ini diambil olehnya? “Kalau saya enggak nulis, siapa yang mau nulis?” katanya.

“Nulis bukunya 2 bulan, tapi risetnya 2 tahun,” bang Tere mengenang proses pembuatan novel Rindu. Riset yang ideal sebenarnya adalah bertemu dengan orang yang pernah mengalaminya langsung. Tapi karena pelaku aslinya sekarang sudah meninggal semua, jadi dilakukanlah studi literatur, termasuk dari internet. Dari foto-foto kapal masa itu misalnya, bisa dibayangkan bagaimana adegan berjalan.

Terkait kritikan, Tere Liye menanggapinya secara biasa-biasa saja. “Melakukan hal yang baik dan benar saja ada yang mengkritik, apalagi yang tidak,” katanya.

Menurutnya, tugas seorang penulis adalah terus menulis. Jadi kritikan tidak pernah diambil hati. Apalagi di era media sosial seperti sekarang, yang siapa saja bisa dengan bebas berkomentar tentang apa saja. Namun memang ada masukan-masukan baik yang bernas. Misalnya tentang jalan cerita Rindu yang dibilang lamban dan membosankan, maka di novel berikutnya, Tentang Kamu, sudut pandang penceritaan pun diubah agar lebih menarik.

Kritik juga mengingatkan akan perlunya melakukan riset dengan lebih kuat. Dalam sebuah acara bedah buku, Tere Liye mendapatkan kritik langsung dari seorang profesor sejarah senior bahwa salah satu adegan dalam novel Rindu tidak logis, karena tahun segitu belum ada pelabuhan di kota yang ia sebutkan. Nah, adanya kesalahan dalam novel begini kadang tidak direvisi karena biar saja sekaligus untuk mengingatkan bahwa penulisnya adalah manusia biasa yang tidak sempurna.

Seorang peserta bincang buku bertanya, pernahkah Tere Liye mengalami writer’s block? Dengan berkelakar bang Tere memberikan dorongan, “Setiap generasi punya istilah sendiri untuk menjelaskan bahwa ia sedang malas menulis. Dulu orang terus terang bahwa sedang malas, generasi berikutnya bilang ia sedang tidak mood, sekarang pakai istilah writer’s block. Cara mengatasinya, keras kepalalah. Tidak ada yang bilang jadi penulis itu mudah. Buatlah menjadi menyenangkan. Konkretkan ide yang sudah muncul!”

Bocoran untuk proyek bang Tere berikutnya, rencananya Bujang dalam serial Pulang Pergi akan bergabung dengan Thomas dari Negeri Para Bedebah. Iya, sekuel dari buku Pulang dan Pergi katanya sih akan diberi judul Pulang Pergi. Seriuskah? Kita tunggu saja, yaa…

25 thoughts on “Tere Liye: Penulis Itu Harus Keras Kepala!

  1. Wah, senangnya. Aku koleksi novel-novelnya. Tapi belum pernah bertemu. Semoga next bisa menimba ilmu langsung darinya.

    • Iya Mba, aku juga punya kayaknya semua novelnya, kalau nggak salah sih, hehehe. Benar, lebih seru mendengarkan langsung dari orangnya, gaya penyampaiannya enak :D.

  2. Jadi musti keras kepala ya..
    Setuju sekali saya.
    Kalau cita-cita mau tercapai ya musti keras kepala, berjuang seperti dibilang Bang Tere. Ongkang-ongkang kaki ya enggak bakal jadi nanti.
    Bincang buku yang keren.
    Btw, adik kelas suamiku di FEUI Beliau ini hihihi

    • Benar, Mba. Sebetulnya bukan cuma jadi penulis, ya. Karena dalam hidup ada saja tantangan, kalau mudah menyerah (beda dengan berserah diri, ya) maka keberhasilan juga biasanya kian jauh.

  3. Aku baru sekali baca novelnya. Yg Hapalan Solat Delisa. Toplah, Bang Tere. Emang harus keras kepala, apalagi d tengah situasi perbukuan yg gaje banget

    • Sekarang malah banyak yang bikin penerbitan sendiri sih, Mba. Cuma ya itu, kadang dari segi kualitas, soal ejaan aja deh misalnya, kurang diperhatikan. Baiknya memang terbuka juga untuk masukan ya, jadi keras kepalanya adalah menerima saran juga dengan baik, bukan lalu ngambek ketika ada yang kasih masukan.

  4. Ternyata proses pembuatan novel karyanya Tere Liye itu lumayan lama ya sampai 2 tahunan melakukan risetnya. Keren nih. Pantesan karya Tere Liye enak2 banget dibaca

  5. Aku dah lama denger Tere Liye punya co-author.
    Yaaa, jd penulis emang kyknya kudu ngoyo ya mbak, memperjuangkan apa yg diyakini dna yg paling penting bikin karya berkualitas.

  6. Tere Liye ini aku suka tulisan-tulisannya, kata-katanya ringan, lembut, suka. Aku baru ketemu sekali nih Mba, dulu tuh kirain cewek, hihi. Penulis keras kepala, gigih, dan gak putus asa, pantas Bang Tere sukses dg tulisannya šŸ™‚

  7. Halo, Mbak Leila. Salam kenal ya. Terima kasih atas post blog yang sangat informatif ini. Izin save & share link postingan ini di blogku nanti ya. šŸ™

  8. Pingback: Harga Mahal Sebuah Ambisi – Rin Ismi

  9. Pingback: Harga Mahal Sebuah Ambisi – Rin Ismi

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s