Kalau ditanya tentang bagaimana saya memandang aktivitas nge-blog di sini sepanjang tahun 2018, wah, rasanya malu sendiri. Tidak banyak tulisan yang saya publikasikan di blog. Bahkan di paruh kedua tahun yang sebentar lagi berakhir ini, sebulan sekali pun belum tentu ada tulisan.
Kendala yang saya hadapi adalah belum teraturnya waktu yang saya khususkan untuk merapikan konten. Apalagi di tengah kesibukan baru sebagai ibu dari anak SD yang urusannya ternyata banyak juga, ditambah dengan kelulusan dari status LDR dengan suami. Kalau dulu sering bisa meluangkan waktu untuk menulis, sekarang ada yang lebih memerlukan perhatian :D.
Iya, kalau digali lagi sih masalahnya sebetulnya bukan karena tidak ada ide, melainkan justru karena ada banyak draft tulisan mentah, tapi lantas bingung mana dulu yang perlu dimuat. Sesuai kebiasaan saya, maunya sih kalau nulis itu ada referensi yang disertakan, khususnya (justru) kalau sudah menulis pengalaman. Kalau reportase atau resume kegiatan, setidaknya yang kita tulis jelas berasal dari narasumber yang umumnya memang pakar di bidangnya, ‘kan.
Nah kalau pengalaman sehari-hari, memang benar bahwa pengalaman itu otentik, asli, tidak dibuat-buat. Namun jangan sampai juga ‘kan, pengalaman kita yang benar-benar apa adanya itu lantas dipakai sebagai referensi begitu saja oleh pembaca. Apalagi jika sudah berkaitan dengan kesehatan, salah satu tema yang sebenarnya paling menarik perhatian saya. Ada baiknya menyertakan pendapat dokter atau lebih bagus lagi kutipan dari situs tepercaya sebagai pendukung dari apa yang kita ceritakan, termasuk apabila ternyata kita belum sanggup melaksanakan rekomendasi ahli tersebut. Paling tidak, kita sudah menginformasikan apa yang seharusnya dilakukan. Daripada yang kita ceritakan malah menyesatkan orang, ‘kan…
Urusan cari referensi, minimal kroscek penulisan yang tepat dari gelar narasumber atau istilah tertentu inilah yang ada kalanya makan waktu, hiks. Kebetulan juga tahun ini saya, suami, maupun anak-anak sempat sakit bergantian. Jadi, sekali lagi soal bahan sih adaa, tapi nulisnya itu *tutup muka*. Padahal, makin ditunda menulis, makin makan waktu pula untuk mencari pelengkapnya seperti foto-foto yang kian tertimbun foto baru di galeri.
Tahun lalu saya masih bisa menyetor tantangan demi tantangan untuk Kelas Bunda Sayang Institut Ibu Profesional (IIP) dan berhasil lulus untuk tingkatan tersebut, yang mengharuskan post harian di blog tanpa terputus sebanyak sekurangnya 10 hari per level (seluruhnya ada 12 level). Masih pula sanggup ikut program One Day One Post yang diadakan salah satu komunitas blogger. Maka tahun ini rasanya jomplang gitu lah. Bulan lalu ketika Blogger Perempuan Network mengadakan BPN 30-Day Blogging Challenge 2018, sebetulnya kepengin ikutan. Namun saya sadar diri, deretan tenggat lain menanti, termasuk untuk pekerjaan kantor dan proyek buku pribadi. Ya sudah, saya jadikan ini sebuah pelajaran agar lebih baik lagi dalam mengelola waktu.
Alhamdulillah sih, ada hal-hal positif juga di tahun ini terkait blogging. Di antaranya adalah perluasan networking dengan memaksimalkan peran media sosial. Selain mengamati pola dan contoh yang diberikan oleh teman-teman yang lebih senior, saya juga berupaya belajar lebih serius dari kelas atau workshop (termasuk yang berbayar) yang membahas pernak-pernik blogging. Saya juga lebih aktif mengikuti campaign yang diadakan oleh sejumlah brand. Satu-dua lomba reportase event bisa saya menangkan, ditambah dengan perolehan dua hadiah hiburan lainnya untuk lomba blog. Hadiah yang diterima memang menjadi daya tarik tersendiri untuk bisa segera menyelesaikan tulisan.
Tahun ini saya juga memantapkan diri hijrah ke top level domain. Lagi-lagi karena masih belajar, peringkat blog saya pun sepertinya turun drastis, hehehe. Jadilah ini salah satu resolusi saya untuk tahun depan: beberes blog.