Siang ini saya mengikuti Kajian Wonderful Family, atau bisa juga disebut sebagai bedah bukunya, oleh sang penulis yaitu Ustadz Cahyadi Takariawan di Masjid Al Amanah. Selama ini saya hanya menjadi penikmat buku yang beliau tulis, salah satu buku Pak Cah, begitu beliau biasa disapa, menjadi buku pertama yang saya dan suami tamatkan bersama saat menapaki awal rumah tangga. Juga belakangan status dan tulisan beliau di media sosial maupun blog, yang memang banyak berfokus pada kehidupan rumah tangga khususnya relasi suami istri. Baru kali ini saya bisa menyimak uraian dari beliau secara langsung.
Menurut Dawn J. Lipthrott, LCSW, seorang psikoterapis dan marriage and relationship educator & coach sebagaimana dikutip oleh Pak Cah, pada umumnya pasangan suami istri akan menapaki lima tahap dalam berumah tangga. Yang membedakan adalah berapa lama masing-masing menjalaninya. Tahap-tahap tersebut adalah:
1. Fase romantic love, bulan madu dengan suasana serbaindah dan menyenangkan. Kekurangan pasangan mudah sekali dimaklumi dan diterima, seolah tidak ada cacat. Suasana sedemikian happy sehingga di fase ini dunia seolah milik berdua, ke mana-mana maunya berdua. Lebih banyak diekspresikan secara fisik. Sisi negatifnya, fase yang ini ada titik akhirnya. Tidak ada keluarga yang bisa menjalani fase romantic love ini selama-lamanya. Umumnya fase romantic love hanya berlangsung selama 3-5 tahun. Adanya potensi akhir fase ini seringkali tidak disadari oleh pengantin baru, sehingga tidak siap dalam menghadapi benturan di tahap selanjutnya. Situasi romantic love ini juga termasuk keromantisan sebelum menikah, jadi ketika pacarannya lama maka lazimnya fase romantic love setelah pernikahan akan semakin singkat. Bila bisa dioptimalkan, sebetulnya masa romantic love bisa dijadikan landasan agar lebih siap menyongsong fase berikutnya.
2. Fase distress atau disappointment, ibarat sudah dari langit turun ke bumi, melihat segala sesuatu apa adanya. Yang salah tampak salah, yang mengecewakan tampak mengecewakan. Mulai jarang ngobrol dan jalan berdua, mulai sering berkegiatan sendiri, bahkan mungkin tidur sendiri-sendiri. Saling menyalahkan, dan timbul suasana tidak nyaman, timbul kejenuhan. Ini diperparah dengan pola komunikasi yang tidak baik, tidak menemukan chemistry yang ditandai dengan ketidaknyamanan berbicara satu sama lain. Kadang jadinya curhat pada orang-orang lama dalam kehidupannya, iseng mencari tahu kehidupan mantan lewat media sosial, mencoba mencari kebahagiaan sendiri, dst. Muncul pengandaian, misalnya terpikir andai aku dulu menikah dengan yang itu pasti akan lebih bahagia, bahkan terpikir untuk berpisah. Mulai tahun 2013, pengalaman Pak Cah, dari hasil konseling, banyak kasus di mana media sosial kerap kali memengaruhi kehidupan rumah tangga. Ada mindset ‘aku berhak bahagia’, lalu merasa salah pilih, membanding-bandingkan dengan pasangan. Padahal kalau menganggap berhak bahagia, kan pasangan juga berhak merasakan kebahagiaan. Jika dihitung, menurut data Kementerian Agama beberapa tahun yang lalu, sebanyak 40 pasangan bercerai per jam. Kebanyakan justru usia pernikahannya masih di bawah 5 tahun, dengan konflik yang diawali saat berakhirnya masa romantic love.
3. Fase knowledge dan awareness, saatnya belajar mengenali lagi satu sama lain, semacam ta’aruf ulang. Saran Pak Cah untuk pasangan yang mengalami konflik seperti dalam tahap 2 adalah agar sama-sama belajar lagi seperti apa sih keluarga sakinah itu, baik melalui buku, seminar, maupun berguru pada senior yang harmonis pernikahannya. Juga berusaha mengenal lagi dan memahami pasangan. Termasuk mencari solusi atau jalan keluar atas kebiasaan yang kurang disukai dan berusaha melaksanakannya.
4. Fase transformation, di mana pasangan sudah menerima satu sama lain. Seperti apa pun kondisi pasangan, memang seperti itulah dia, jadi harus diterima apa adanya, apalagi ketika alternatif solusi sudah dicoba tetapi tidak berhasil, untuk hal-hal seperti kebiasaan buruk yang tidak membahayakan atau tidak bertentangan dengan syariat.
5. Real love, cintanya ‘pengantin tua’, ‘pengantin lama’, yang sudah mendalam. Tidak lagi membara dan menggebu-gebu. Serupa dengan yang dituliskan Sapardi Djoko Damono dalam puisi Aku Ingin (Mencintaimu dengan Sederhana).
Pak Cah juga menyampaikan bahwa hal-hal yang sering dijadikan candaan seperti “Waktu pengantin baru kalau kesandung bakal ditanggapi dengan ‘wah sini sayang, sakit ya, aku obati’, tapi setelah sekian tahun yang terlontar adalah ‘matanya ditaruh di mana, sih?'”, sebetulnya banyak juga terjadi di kehidupan nyata. Ada hal-hal yang bagi orang lain sepele seperti suami mendengkur, tetapi bisa menjadi sebab keinginan berpisah bagi sebagian orang.
Faktor ekonomi juga bisa menjadi penyebab retaknya rumah tangga. Di fase pertama, kondisi serba-seadanya akan bisa diterima bahkan disikapi dengan romantisme. Namun, keterbatasan rentan memicu percekcokan pada fase lanjutannya. Aspek lain adalah perbedaan suku bangsa yang umumnya menghasilkan kebiasaan yang juga berlainan, misalnya cara bicara atau bersikap. Nada keras, oleh suami yang terbiasa dengan kultur di mana intonasi bicara istri harus lebih lembut, bisa disalahartikan sebagai berkurangnya penghargaan. Kebiasaan seperti ini sebetulnya sudah harus dipahami sejak sebelum menikah. Saat mencari calon suami/istri, tidak cukup dengan kesepakatan terhadap kata-kata yang tersurat. Karena definisi sederhana bisa berbeda bagi setiap orang dengan latar belakang keluarga yang bervariasi pula. Bagi si suami, memasak lebih dari satu macam lauk adalah berlebihan, sedangkan menurut istrinya makan di luar hanya sekali seminggu itu sudah suatu bentuk kesederhanaan. Ingat juga, ‘mengajari’ pasangan bersenang-senang lebih mudah dibandingkan dengan ‘mengajak’ susah.
Kesepakatan pertama yang ada baiknya dibuat adalah soal visi. Bagi perempuan, umumnya visi ini lebih detail. Bukan cuma ‘surga’, tetapi juga apa yang dijalani sehari-hari dulu dan nanti, dalam bingkai mencapai visi utama. Sejak awal sebetulnya sudah ada pengingat, tinggalkan apa yang meragukan. Jadi mulailah kehidupan rumah tangga setelah tidak ada lagi keragu-raguan. Visi keimanan yang bertemu dengan baik in sya Allah akan memudahkan untuk menyatukan kedua insan yang berbeda.
Rekomendasi yang Pak Cah berikan untuk melalui fase-fase tersebut dengan baik adalah:
1. Optimalkan fase romantic love sebelum berakhir, karena tidak akan terulang. Segera lakukan apa yang ingin dilaksanakan, komunikasikan apa yang dikehendaki, misalnya kalau punya rencana wisata alam berdua, memanjakan pasangan, dst. Lakukan seawal mungkin setelah menikah, karena kadang setelah adanya bayi kesempatannya terbatas.
Cari momen romantis, kenangan akan momen ini kelak bisa ‘dipanggil kembali’ sebagai salah satu cara menghidupkan romantisme yang mulai padam. Ciptakan momen itu, jangan hanya menunggu.
Kalau bagi kita masa itu sudah lewat, maka sebagai orangtua nanti ingatkan bahkan kalau perlu bantu juga fasilitasi anak-anak kita yang mengawali rumah tangga untuk mengoptimalkan fase ini.
2. Percepat fase distress, jangan berlama-lama di situ. Perbaiki komunikasi, karena ada juga yang merasa tidak nyaman bahkan takut membicarakan ganjalan yang dirasa pada pasangannya. Jika suatu saat menemukan hal yang tidak menyenangkan dalam rumah tangga, ingatlah bahwa tujuan berumah tangga itu bukan (hanya) untuk bersenang-senang. Ada tujuan-tujuan lain yang lebih mulia, misalnya tujuan ideologis. Yang romantis pun masih bisa mengeluhkan bahwa romantisme itu ditunjukkan juga oleh pasangannya ke banyak orang.
Perempuan banyak bercerita sebagai salah satu bagian dari solusi menurutnya. Sebetulnya jika di rumah suami sudah berperan dengan tepat, istri tidak perlu sampai bercerita ke mana-mana atau mencari bantuan konseling. Kaum perempuan juga lebih banyak merasakan ketidakpuasan dengan cepat, sedangkan kaum laki-laki umumnya beranggapan bahwa masalah itu ya bagian dari hidup, dinamika yang dari sananya memang begitu. Jadi bisa saja istri sudah nangis-nangis saat konseling sedangkan suaminya berpendapat sebetulnya tidak ada masalah apa-apa (“Kalaupun istri saya tadi menangis, ya dia kali yang bermasalah, bukan saya”).
3. Bersegera mengenali (lagi) pasangan. Tidak ada kata terlambat, bahkan yang pernah terjadi adalah seorang anak yang lelah dan sedih dengan kondisi orangtuanya membawa beliau berdua untuk konseling. Jadi selama 12 tahun si anak pertama ini menjadi perantara atau komunikator bagi kedua orangtuanya yang sudah tidak mau bicara satu sama lain. Awalnya ada masalah besar setelah lahir anak kedua, yang membuat orangtua anak ini akhirnya saling diam, tidur terpisah juga, walaupun dalam batas-batas tertentu ibu masih melayani seperti memasakkan makanan atau membersihkan kamar. Tidur terpisah, Pak Cah berpesan, kalau terpaksa, apa boleh buat harus dijalani. Tetapi jangan sampai kondisi itu dinikmati.
Kalau masalah sudah terasa sangat mengganggu, ada baiknya memang melakukan konseling. Tapi konseling sebetulnya bukan hanya untuk yang bermasalah, dalam kondisi ini diistilahkan dengan bimbingan. Ada yang disebut dengan pintu darurat keluarga, yang dibuat oleh suami istri dengan bimbingan konselor dalam keadaan rumah tangga sedang tidak bermasalah. Jadi jika sampai ada apa-apa, suami istri sudah punya arah dan kesepakatan ke mana akan evakuasi.
Bagaimana kita tahu bedanya setiap fase? Fase kedua akan sangat terasa jika apa-apa menimbulkan emosi, tidak ada lagi kelucuan yang bisa ditertawakan bersama. Sedangkan real love akan terasa setelah romantisme muncul kembali, ke mana-mana berdua bahkan saat usia pernikahan sudah cukup lanjut. Merasakan kembali kebutuhan untuk menjalani hal-hal berdua, kadang tanpa tujuan tempat yang jelas, yang dinikmati adalah suasananya. Bisa jadi pasangan usia lanjut sudah tidak butuh lagi untuk saling bercerita karena sudah saling hafal cerita satu sama lain, tetapi bisa saling mendampingi dalam diam sambil minum teh bersama misalnya, ini sesuatu yang biasanya belum bisa dipahami oleh pasangan muda. Mirip puisi (lagi-lagi) Sapardi Djoko Damono yang berjudul Berdua di Restoran.
Berada di fase kelima bukan berarti tidak ada pertengkaran. Tetapi di fase ini sudah saling menerima, ada chemistry, saling menyesuaikan diri, sudah bisa menyelesaikan masalah dengan baik dan lebih cepat. Saran be yourself tidak lagi tepat karena sudah ada pasangan. Kalau mau ‘jadi diri sendiri/lakukan semuanya semaunya’, ya optimalkan sebelum menikah.
Penutup dari Pak Cah, beliau menyebutkan bahwa syarat untuk bahagia itu bukan seorang lelaki sempurna menikah dengan perempuan sempurna kemudian tercipta keluarga bahagia. Melainkan lelaki biasa menikah dengan perempuan biasa tetapi mau berproses bersama menuju keadaan yang lebih baik.