Copas dari Milis Sehat, antara lain untuk menjawab pertanyaan “Haruskah konsumsi antibiotik yang sudah telanjur diminum (kemudian sadar sebetulnya tidak perlu) tetap diteruskan?”. Memang, jika sudah diresepkan dan tepat diagnosis, antibiotik yang diresepkan harus dihabiskan. Namun, sepertinya ada semacam salah kaprah bahwa yang nantinya kebal dengan antibiotik tersebut kelak (jika minum antibiotiknya tidak dihabiskan) adalah orangnya. padahal yang dikhawatirkan kebal adalah bakterinya. Selengkapnya bisa berkunjung ke situs http://react-yop.or.id. Yang dikampanyekan oleh ReACT ini bukanlah anti-antibiotik, melainkan pemakaian antibiotik secara tepat guna, untuk ‘menyelamatkan’ antibiotik itu sendiri.
Bayangkan tubuh kita adalah suatu negara yang memiliki pertahanan sipil (bakteri baik/flora alami) dan pertahanan militer (antibodi/imun tubuh). Jika tubuh kemasukan pendatang baru/benda asing/musuh (bisa alergen, virus, cendawan, maupun bakteri), maka bakteri baik kita (pertahanan sipil) yang pertama-tama akan melawan pendatang baru tersebut. Jika pertahanan sipil tidak mampu melawan, maka pertahanan militer (sel darah putih) akan datang ke area tersebut untuk melawan musuh. Jika militer kita tidak sanggup melawan, maka perlu bantuan tentara luar untuk berperang melawan musuh tersebut. Nah, tentara luar inilah yang kita sebut antibiotik. Namun, satu hal yang harus dipahami, tentara luar alias antibiotik tersebut tidak mampu untuk melawan virus maupun alergen. Mengapa? Karena sejatinya tentara luar tersebut hanya bisa mendeteksi dan membunuh makhluk hidup, sedangkan virus maupun alergen bukan merupakan makhluk hidup, sehingga tidak terdeteksi dan tidak terbunuh oleh tentara luar tersebut (seperti rudal dengan sensor panas hanya akan menyerang target tertentu).Apa efeknya jika penyakit karena virus atau alergen diobati dengan antibiotik? 1. Tentara luar tersebut mendeteksi dan membunuh mahluk hidup tanpa pandang bulu. Jika tidak ada penyusup/musuh yang diserang, maka yang jadi korban adalah rakyat sipil kita (flora alami). Akibatnya flora alami jadi berkurang dan pertahanan sipil jadi lemah. Kalau pertahanan sipil melemah, maka akan lebih mudah diserang oleh musuh. Tubuh jadi makin gampang sakit. 2. Jika rakyat sipil kita terus-menerus diserang oleh tentara luar, maka suatu saat akan muncul rakyat sipil yang memberontak (mutasi bakteri dari bakteri baik menjadi bakteri jahat).Apa yang terjadi jika konsumsi antibiotik tidak sesuai/di bawah dosis yang dibutuhkan? Tidak semua musuh musnah, akan ada bakteri jahat/musuh yang bersembunyi dan menyusun strategi pertahanan yang baru (mutasi).Sedikit tambahan, sebenarnya demam itu berfungsi seperti alarm untuk memanggil tentara kita (sel darah putih) untuk datang ke medan perang. Itu sebabnya demam sebenarnya sangat berguna dan tidak seharusnya dibasmi kecuali sudah benar-benar membuat anak tidak nyaman dan tidak bisa istirahat. |
Bayangkan tubuh Anda adalah sebuah negara. Flora alami/bakteri baik dalam tubuh sebagai penduduk sipilnya. Imunitas tubuh sebagai tentaranya. Bakteri jahat sebagai musuhnya. Jika ada musuh menyusup, mereka tidak bisa dengan mudahnya menduduki wilayah tersebut karena sudah ada penduduk sipil yang siap siaga untuk melawan pendatang baru yang mau macam-macam. Jika musuh yang datang cukup banyak dan mulai menginvasi suatu wilayah, maka terjadi demam untuk memanggil si tentara ke wilayah tersebut. Jika tentara Anda dalam kondisi lemah dan tidak dpt memberi perlawanan maksimal, maka perlu bala bantuan/tentara dari luar untuk membantu mengalahkan musuh Anda tersebut. Nah, tentara dari luar inilah yang biasa kita sebut dengan antibiotik. Masalahnya tentara AB ini spesifik untuk membasmi bakteri dan fungi saja. Bukan untuk virus. Dalam kasus antibiotik yg dibutuhkan tidak dihabiskan, kejadiannya si tentara luar ini sudah membantu melawan musuh hingga musuhnya klenger, tapi belum musnah semua. Ada beberapa musuh yang masih bersembunyi dan berlindung. Jika hal itu terjadi 1-2 kali mungkin penduduk sipil kita masih bisa menekan musuh tersebut hingga habis seluruhnya. Namun, dalam hal penggunaan AB sembarangan (sering dilakukan) si musuh yang bersembunyi tersebut akan semakin banyak dan pada akhirnya mereka akan mampu membangun kekuatan yang bisa melawan tentara luar tersebut.Inilah yang disebut resistensi antibiotik. Dalam hal penyakit yang disebabkan oleh virus dan diberi AB kejadiannya si tentara luar tidak menemukan musuh untuk dibasmi, akhirnya mereka memakan/memusnahkan penduduk sipil kita sehingga jika ada musuh benaran yang datang, tidak ada lagi penduduk sipil yang melindungi wilayah tersebut. Makanya tubuh jadi gampang sakit. Efek lain dari penyerangan yang salah sasaran tersebut, penduduk sipil jadi merasa ditekan terus menerus hingga akhirnya terjadi pemberontakan (bakteri baik berubah menjadi bakteri jahat). Itulah akibatnya jika penyakit karena virus diobati terus dengan AB, kita menciptakan pemberontakan dalam negara kita sendiri. |
Yang ini dongeng dari dokter Fathia ketika beliau mengadakan acara sharing mengenai kesehatan:
Bayangkan kita hidup bertetangga. Ada tetangga yang selama ini hubungannya baik-baik saja, dalam arti tidak saling mengganggu, tapi nggak akrab-akrab banget juga. Nah, suatu hari tetangga ini tiba-tiba mengancam kita dengan senjata. Makin hari makin jadi. Apa reaksi kita? Kemungkinan besar reaksi spontan pertama kali adalah mempertahankan diri, kalau perlu mempersenjatai diri juga karena ancamannya tidak main-main dan cenderung membahayakan.Inilah yang terjadi jika kita terlalu sering memakai sabun antiseptik. Pemakaian yang tepat guna tentu bermanfaat, tetapi untuk keperluan sehari-hari sebetulnya kita hanya memerlukan sabun biasa. Sabun antiseptik idealnya hanya dipakai di kasus ataupun lingkungan khusus. Sebab walaupun hanya dipakai di kulit, sabun antiseptik tetap bisa memicu resistensi terhadap antibiotik. |
Nah, soal apakah antibiotik harus ‘dihabiskan’ ini ternyata juga bisa beda-beda persepsi. Saya baru ‘ngeh’ soal ini ketika ada yang menanyakan mengenai haruskan antibiotik dihabiskan dan yang dimaksud ternyata adalah sebotol antibiotik sirup, haruskah diminum sampai isi botol habis atau mengikuti petunjuk dokter terkait lamanya meminum? Jawabannya ada di sini.
Kapan Antibiotik Harus Dihabiskan dan Tidak Dihabiskan? Oleh Aditya Eka Prawira Dikatakan dr. Fransisca Handy, Sp.A., IBCLC, perwakilan dari komunitas Milis Sehat, dalam sebuah talkshow yang diadakan di Social Media Festival 2013, bahwa dalam pemberian antibiotik kepada anak, orangtua harus mengetahui terlebih dulu indikasi apa yang dialami anaknya tersebut. Jika sudah tahu indikasinya, maka orangtua akan paham apakah antibiotik harus dihabiskan atau tidak.Misalnya saja penyakit infeksi saluran kencing. Menurut dr. Fransisca, pada anak yang menderita penyakit ini minimal orangtua memberikan antibiotik selama tujuh hari. Dan biasanya, dokter akan memberikan antibiotik dalam bentuk sirup. Bila dalam empat hari sirup sudah habis, maka harus segera dibeli yang baru lagi.”Sirup itu umumnya cukup untuk empat hari. Karena pemberian antibiotik pada anak yang menderita penyakit infeksi saluran kencing selama tujuh hari, ya orangtua harus membelinya lagi, biar genap tujuh hari. Jika sudah genap tujuh hari antibiotik masih bersisa, biarkan saja,” kata wanita yang juga bertugas di Rumah Sakit Pondok Indah Puri Indah dan Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan (FK-UPH), di fX Sudirman, Jakarta, ditulis Selasa (15/10/2013). Begitu juga bila si anak menderita Pneumonia ringan. Biasanya, antibiotik akan dijadikan tata laksana pada anak yang terserang penyakit ini. Dan umumnya, antibiotik yang diberikan cukup untuk tiga hari saja.”Sirup antibiotik biasanya untuk lima hari. Bila sudah tiga hari, hentikan, jangan sampai habis. Harus sesuai dengan durasi yang dianjurkan oleh dokter,” kata Fransisca. Pneumonia disebabkan berbagai mikroorganisme, dan penyebab terseringnya adalah bakteri (S.pneumonia, H.influenza, S.aureus, P.aeruginosa, M.tuberculosis, M.kansasii, dsb), namun dapat juga disebabkan oleh jamur (P.carinii, C.neoformans, H.capsulatum, C.immitis, A.fumigatus,dsb), protozoa (toksoplasma) serta virus (CMV, herpes simpleks)http://health.liputan6.com/read/719631/kapan-antibiotik-harus-dihabiskan-dan-tidak-dihabiskan/?related=pbr&channel=h |
Referensi lain https://lifestyle.kompas.com/read/2014/03/11/1035338/Dosis.Antibiotik.Tak.Selalu.Harus.Dihabiskan
http://m.detik.com/health/read/2014/03/06/185127/2518008/763/tak-kena-bakteri-tapi-telanjur-minum-antibiotik-apakah-harus-dihabiskan
Jakarta, Saat memberi resep antibiotik, dokter biasanya akan meminta pasien untuk menghabiskan obatnya agar bakteri tak menjadi resisten (kebal obat). Tetapi ketika tidak terinfeksi bakteri dan pasien telanjur minum antibiotik, apakah tetap harus dihabiskan?
“Ibaratnya kita mau ke Restoran Gemoelai tapi nyasar dulu ke arah Blok M. Apakah kita terus lanjut aja sampai Blok M? Kan tidak, ya berhenti dan cari tahu,” jelas dr Purnamawati S Pujianto, SpAK, MMPed, penasehat Yayasan Orang Tua Peduli (YOP), dalam acara Diskusi Media ‘Bakteri: Kawan atau Lawan?’ di Restoran Gemoelai, Jl Panglima Polim V No 60, Jakarta, Kamis (6/3/2014).
Berhenti dan mencari tahu juga perlu dilakukan ketika seorang pasien yang tidak terinfeksi bakteri telanjur minum antibiotik. Menurut dr Wati, antibiotik yang sudah telanjur diminum harus segera dihentikan ketika diketahui ternyata penyakit yang diderita pasien bukanlah disebabkan oleh bakteri.
“Kadang-kadang butuh waktu untuk diagnosis, kultur darah (pemeriksaan laboratorium). Ketika diagnosis mengindikasikan bakteri, pasien sementara dikasih antibiotik. Tapi diagnosis kan klinis, jadi begitu hasil kultur darah keluar dan tidak ada bakteri, maka antibiotiknya harus dihentikan,” kata dr Wati.
Bila tubuh tidak terinfeksi bakteri dan terus diberi antibiotik, dampaknya bisa membunuh bakteri-bakteri baik yang berperan dalam sistem tubuh.
Akibatnya, bakteri jahat akan berpesta-pora karena ‘kavling’ yang ditadinya dihuni oleh bakteri baik sudah tak lagi berpenghuni. Tubuh akan lebih mudah sakit, bakteri jahat akan semakin kebal, dan tak lagi mempan dengan antibiotik ketika bakteri jahat benar-benar menyerangnya.
“Kalau kita sayang anak, sayang orang tua, bijaklah menggunakan antibiotik sehingga ketika benar-benar butuh, tidak susah mengobatinya. Menemukan antibiotik baru itu butuh waktu lama, jangan sampai antibiotik punah,” tutup dr Wati.
(mer/vit)
Belakangan saya membaca bahwa yang diduga memicu kekebalan bakteri bukan hanya sabun mandi ternyata. Produk lain seperti cairan pel, sabun cuci, peralatan rumah tangga (setahu saya ada produk penyimpanan makanan yang mengklaim punya manfaat antimikrobial) juga punya potensi serupa. Lebih lengkap antara lain bisa dibaca di sini.
Bulan lalu, muncul pula pernyataan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat sbb, sebagaimana dimuat di Kompas:
WASHINGTON, KOMPAS.com – Penelitian meragukan keampuhan sabun antiseptik membunuh bakteri. Bahkan kandungan zat kimia dalam sabun antiseptik tersebut dinilai berisiko mengganggu hormon dan memicu bakteri yang resisten terhadap obat. Pemerintah Amerika Serikat mengumumkan hasil penelitian yang sudah dilakukan selama 40 tahun atas bahan kimia anti-bakteri yang sering dipakai sebagai komposisi sabun antiseptik dan sabun pembasuh badan, Senin (16/12/2013).Penelitian juga mendapatkan peningkatan risiko yang muncul dari penggunaan bahan kimia untuk sabun itu. Food and Drug Administration (FDA) mengatakan, saat ini mereka sedang meninjau kembali keamanan penggunaan bahan kimia semacam triclosan untuk sabun. Berdasarkan penelitian terbaru, zat-zat kimia itu justru mengganggu kadar hormon pemakainya dan memicu pertumbuhan bakteri yang resisten terhadap obat. Pernyataan awal FDA adalah mendukung hasil penelitian yang menyatakan bahwa penggunaan zat antiseptik -kemungkinan terbaiknya- tidak efektif dan -kemungkinan terburuknya- mengancam kesehatan masyarakat. (selengkapnya di sini) |
Update September 2016: https://m.tempo.co/read/news/2016/09/03/116801424/fda-larang-sabun-cuci-tangan-anti-bakteri-beredar-di-as
TEMPO.CO, Washington – Badan pengawasan makanan dan obat Amerika Serikat (FDA) menyatakan sabun biasa dan air bersih lebih efektif untuk membunuh kuman daripada produk sabun cuci tangan anti-bakteri.
Atas temuan terbaru itu, FDA melarang 19 bahan kimia yang digunakan dalam sabun cuci tangan yang diklaim produsennya mengandung anti-bakteri. Menurut FDA, produsen sabun cuci tangan anti-bakteri gagal membuktikan bahwa penggunaan bahan-bahan kimia itu aman dan dapat membunuh kuman.
“Kami tidak memiliki bukti ilmiah bahwa mereka lebih baik daripada sabun biasa dan air,” ujar Dr Janet Woodcock, Direktur Utama FDA.
Seperti yang dilansir Independent pada 3 September 2016, aturan itu berlaku untuk setiap sabun atau produk antiseptik yang memiliki satu atau lebih dari 19 bahan kimia, termasuk triclocarbon, yang sering ditemukan di sabun batang, dan triclosan, dalam sabun cair.
Kedua bahan kimia berbahaya tersebut dikatakan dapat mengganggu kadar hormon dan memacu bakteri kebal terhadap obat serta dapat mengganggu perkembangan janin pada ibu hamil. Menurut FDA, triclosan dapat ditemukan di hampir semua sabun cair berlabel “anti-bakteri” atau “anti-mikroba”.
FDA telah memberikan batas waktu hingga akhir tahun ini bagi para produsen sabun untuk mengubah produk mereka atau menarik sabun cuci tangan anti-bakteri dari peredaran. Namun hal itu tak berlaku pada hand sanitizer yang mengandung alkohol dan produk anti-bakteri yang digunakan di rumah sakit atau klinik.
Bahan-bahan kimia tersebut telah lama berada di bawah pengawasan. Seorang juru bicara industri sabun pembersih mengatakan sebagian besar perusahaan saat ini menghentikan penggunaan 19 bahan kimia yang dilarang dari produk mereka.
Profesor Patrick McNamara, yang telah menerbitkan penelitian tentang sabun anti-mikroba, menyambut baik putusan FDA. Menurut dia, penelitian menunjukkan tidak ada manfaat tambahan dari bahan kimia anti-mikroba dalam sabun.
================================================================
Tambahan dari dr. Arifianto ‘Apin’, Sp.A. (dikutip dari http://arifianto.blogspot.co.id/2016/08/antibiotik-boleh-distop-sebelum-habis.html)
“Anak saya demam sudah 3 hari, disertai batuk-pilek. Lalu saya bawa berobat dan diberi antibiotik. Setelah 2 hari diminum, saya baca-baca lagi bahwa selesma (batuk-pilek) tidak butuh antibiotik. Boleh saya stop antibiotiknya?”
Ini prinsipnya:
– Antibiotik adalah untuk infeksi BAKTERI, bukan infeksi VIRUS. Maka seperti pernah saya sampaikan sebelumnya, selalu tanyakan ke dokter, apa diagnosisnya, dan apakah penyebabnya infeksi virus atau bakteri?
– Jika penyebabnya adalah infeksi bakteri, tentu antibiotik yang diberikan harus dihabiskan sesuai waktu yang dianjurkan. Mengapa? Dikhawatirkan jika AB dihentikan sebelum waktunya, maka bakteri-bakteri jahat penyebab penyakit sesungguhnya belum dihabisi semuanya,meskipun gejalanya sudah hilang (merasa sudah sembuh). Dikhawatirkan sebagian bakteri penyebab penyakit yang tersisa ini, akan memperkuat dirinya, bermutasi secara genetik dan menghasilkan keturunan-keturunan yang lebih kuat (kebal) dan tidak mempan dengan antibiotik sebelumnya. Jika di kemudian hari orang ini sakit dan membutuhkan antibiotik tersebut, maka penyakitnya sukar disembuhkan karena penyebabnya sulit diatasi.
Ini yang namanya resistensi antibiotik. Salah satu penyakit yang sering dijumpai dengan kasus ini adalah tuberkulosis (TB) paru yang kebal AB. Seharusnya obat anti TB diminum selama 6 bulan, tapi baru 2 bulan sudah merasa enakan, obat malah dihentikan dan berisiko menciptakan kuman kebal AB (multi drug resistant TB).
-Tapi jika ternyata penyebabnya adalah infeksi virus, maka AB dapat dihentikan.kapanpun. Tidak perlu khawatir terjadi resistensi, karena tidak ada bakteri jahat yang bisa dibuat resisten (kebal). Malah bisa membunuhi bakteri-bakteri baik di tubuh dan menyebabkan efek tidak diinginkan yang pernah dijelaskan di tulisan-tulisan sebelumnya.
Beberapa infeksi bakteri yang terjadi pada anak di kasus rawat jalan (bukan rawat inap): infeksi saluran kemih (ISK), pneumonia bakteri, strep throat, impetigo, disentri basiler dan amuba, dan demam tifoid. Selainnya kebanyakan adalah penyakit-penyakit akibat infeksi virus yang tidak butuh antibiotik.