Seberapa Perlu Membatasi Pergaulan Anak di Lingkungan Rumah?

Salah satu kekhawatiran sebagai orangtua yang saya tangkap dari diri sendiri maupun kawan-kawan adalah jika anak mendapatkan pengaruh dari sekeliling. Tentu yang dimaksud adalah pengaruh buruk, ya. Lebih spesifik, dari orang lain yang bertemu sehari-hari dengan anak, dan lebih khusus lagi dari teman sebaya baik di lingkungan rumah maupun sekolah. Sebab, anak-anak cenderung mudah meniru perilaku yang seumuran karena kemiripan kondisinya, bukan? Istilahnya, kita bisa jaga anak, apa yang mereka lihat, apa yang mereka dengar, sudah kita batasi tontonan dan bacaannya sesuai dengan visi misi keluarga, tapi kita kan tidak selalu bisa kontrol apa yang diperoleh anak di luar sana.

Kalau tetangga banyak yang sepaham soal parenting atau setidaknya kondusif lah untuk hidup berdampingan dengan baik, alhamdulillah. Kalau tidak? Ada kan yang cerita misalnya sehari-hari kita dengar tetangga memarahi anaknya dengan suara keras, atau nongkrong tak jelas sambil merokok di sekitar rumah, atau anak-anak yang bercanda sambil melontarkan kata-kata kotor. Eh, tapi ini bukan bermaksud negative thinking lho ya, toh tetangga bisa diibaratkan keluarga dekat yang sunnahnya dimuliakan, trus kalau berprasangka jelek jangan-jangan bener kejadian, hanya saja pada kenyataannya keadaan tak selalu seideal harapan kita.

Bagaimana solusinya? Yang paling utama tentu membekali anak agar lebih kuat menghadapi pengaruh lain. Tujuannya agar baik di dalam maupun di luar jangkauan radar kita ia tetap bisa menjaga diri. Beberapa aspek mengenai bekal ini sempat disinggung juga di catatan saya sebelumnya, misalnya terkait internet dan pendidikan seks. Tentunya dengan diiringi doa juga ya agar kita sekeluarga selamat dunia akhirat. Pendekatan agama bisa dipakai, dan untuk ini pastinya orangtua harus belajar cara penyampaiannya dengan tepat sesuai cita-cita keluarga.

Langkah berikutnya yang acapkali bikin bimbang adalah soal pertemanan anak. Haruskah anak ‘dikekep’ di rumah? Nanti jadi anak kuper dong, tidak luwes bergaul, dan kita sebagai orangtua dicap lebay pula. Terus terang, pendekatan ini (tanpa kekerasan dan paksaan lho ya) dipakai pula oleh orangtua saya. Mungkin juga penyebabnya bukan kekhawatiran beliau akan pengaruh buruk, melainkan semata karena jarak rumah yang agak jauh dengan teman sebaya. Orangtua tetap memfasilitasi rumah dengan bacaan maupun mainan. Meski kedua orangtua bekerja, saya tak kekurangan teman main di rumah walaupun dalam wujud orang dewasa seperti mbah kakung, mbah putri, saudara orangtua, dan pengasuh/ART, plus para sepupu yang kadang berkunjung.

Kebijakan macam ini bagi sebagian orang memang mungkin tampak berlebihan, bahkan saya pernah menjadi peserta pelatihan di mana trainer-nya mengolok-olok karakter anak yang dibesarkan dengan cara demikian. Yang dicemaskan lazimnya adalah kalau anak tidak dibiasakan bergaul lepas, dia akan gagap ketika waktunya berinteraksi dengan masyarakat. Cakrawala pengetahuannya, toleransinya terhadap keberagaman, dan kepekaan sosialnya ditakutkan tidak terasah. Kecemasan yang sama saya amati diungkapkan juga oleh beberapa peminat homeschooling.

Namun, melihat kenyataan masa kini, sebetulnya tidak bisa dibilang melebih-lebihkan kalau orangtua mengambil sikap protektif. Salah satu orangtua yang cukup aktif menyuarakan hal ini adalah bu Sarra Risman (atau nama aslinya Yuhyina Maisura), putri bu Elly Risman yang juga aktif berbagi di grup Parenting with Elly Risman and Family di facebook, selain menjadi admin grup messenger Yayasan Kita dan Buah Hati. Sebelumnya saya pernah membaca tanggapan Busar–sapaannya–di grup yang sama ketika ada anggota yang menanyakan apakah opsi ‘menahan anak di rumah saja’ memang perlu diambil demi membentengi anak dari dampak negatif bermain dengan anak lain yang belum tentu orangtuanya satu pandangan dengan kita tentang pengasuhan. Jawaban busar, ia lebih memilih begitu. Ternyata kemudian oleh busar dibahas tersendiri di thread ini https://www.facebook.com/groups/1657787804476058/permalink/1770526713202166/, sebagaimana saya kutip di bawah.

Sarra Risman

5 October 2016

Semua rumah punya peraturannya masing-masing. Semua ibu punya caranya masing-masing dalam mengasuh, melindungi dan memelihara anaknya. Salah satu cara saya adalah tidak mengizinkan anak-anak saya bermain dengan anak-anak tetangga yang sebaya. Jangan salah paham, mereka HARUS kenal tetangga mereka dengan baik, menyapa, mampir jika perlu, dan lebih dari sekedar tahu.

—penjelasan tentang tetangga saya potong agar lebih singkat, yang dari situ bisa dilihat bahwa Busar dan keluarga kenal kok dengan para tetangga– Saya mohon maaf semua jadi harus membaca tentang profil tetangga-tetangga saya, kapan-kapan kalau berkesempatan bertemu anak-anak saya, silakan cek sendiri pengetahuan mereka tentang orang-orang yang saya sebutkan di atas. Saya hanya ingin memaparkan bahwa orang yang tidak ‘nenangga’ dan yang anak-anaknya tidak bermain bersama anak tetangga, bukan berarti mereka tidak mengenal tetangga mereka. Untuk orang yang tidak ‘nenangga’, menurut saya ‘ilmu’ yang saya ketahui tentang tetangga-tetangga saya cukup memadai, cukup untuk berbasa-basi ketika kami bertemu, ngobrol sejenak dan bertegur sapa ketika kami harus mampir atau berpapasan ketika jalan pagi dan sore hari. Jika kelak anak-anak saya berumah sendiri, dan mereka mengenal tetangga-tetangga mereka seperti saya, menurut saya itu sudah lebih dari cukup.

Lalu kenapa saya nggak kasih mereka bermain dengan anak-anak sebayanya di sekitar rumah? Karena kembali ke kalimat saya pertama saya di atas, masing-masing rumah punya cara pengasuhan yang berbeda dan saya tidak mau anak-anak terpengaruh dengan cara pengasuhan orang lain yang belum tentu cocok dengan mereka. Anak-anak saya belum berada di usia di mana mereka sudah bisa memfilter yang mana yang baik dan yang buruk, mana yang boleh diikuti yang mana yang tidak, dan mereka juga belum bisa melindungi diri mereka dari pengaruh buruk secara verbal maupun fisik. Saya tidak bisa, tidak mau, dan tidak sanggup untuk terus menerus menemani, melindungi dan mencuci kembali otak mereka kalau memang terkontaminasi. Pun saya temani, memangnya keberadaan saya bisa mencegah anak orang lain berkata kasar dan jorok? Belum tentu, kan? Kalau sudah kadung dikatakan oleh temannya dan sudah kadung didengar, bagaimana saya membalikkan waktu agar mereka gak dengar? Kalau itu adalah kata yang bisa saya jelaskan, okelah, kalau nggak?

Di grup-grup whatsapp saya, ibu-ibu yang bertanya pertanyaan seputar hal ini saya berikan analogi tango. Iya, tango si wafer terkenal itu. Tango yang terbuka bungkusnya, walaupun ditaruh di etalase toko mewah pun, tidak akan kita ambil, beli, apalagi makan, karena bungkusnya yang terbuka memberikan peluang isinya untuk bisa terkontaminasi entah apa yang masuk. Bisa semut, cicak, kecoa, atau minimal bakteri dan virus. Dan semua ibu-ibu di grup saya sepakat mereka akan memilih tango yang tertutup rapat yang ada di got karena walaupun jorok dan kotor, tapi kita semua tahu karena bungkus ter-seal dengan baik dan anti air, kuman dan kotoran di LUAR bungkus tidak bisa masuk ke dalam. Jadi tinggal cuci bersih luarnya, isinya bisa dimakan seperti biasa.

Anak-anak saya layaknya tango yang belum tertutup rapat. Jika dilempar ke luar rumah akan terkontaminasi dengan ‘kuman dan kotoran’ yang kemungkinan ada dan bertabur di luar sana. Dan seperti wafernya, kalau sudah kena kuman, bagaimana membersihkannya? Saya memilih untuk memastikan tango saya terbungkus rapi dulu, karena kalau sudah lewat proses ‘quality control’, mau terlempar ke got pun, isinya tidak terkontaminasi.

Jadi, harus dikekep di rumah? Di mana-mana, proses pembungkusan ya di pabrik yang tertutup laaah. Dengan pekerja yang pakai sarung tangan, masker muka, tutup kepala, mesin yang canggih dan mahal, dan yang mau ‘wisata ke pabrik’ harus by appointment, mengikuti rules pabrik yang ada, gak bisa sembarang masuk saja. Ada dress code dan limited access di sana. Dan tidak setiap proses bisa dilihat oleh semua.

Lalu bagaimana dengan sekolah? Kalau sekolah kan harus. Plus, karena mereka sekolah di atas usia 5,5 tahun, jadi justru jadi ladang quality control saya untuk melihat bagian bungkusan mana yang masih bolong dan perlu ditambal. Membersihkan kontaminasi dari sekolah aja setengah mati, masa mau ditambah dengan imbas dari tetangga? Lagipula, bertetangga tidak perlu dengan bermain bersama kok. Buktinya, tidak main bareng pun kami cukup mengenal tetangga kami dengan baik.

Saya pribadi menikmati proses pembungkusan ini, Alhamdulillah selama ini, teman-teman yang sudah bertemu dengan tango-tango saya tidak ada yang men-cap mereka tidak bisa bersosialisasi, dan anak-anak saya juga tidak mengeluh dan minta main bersama teman sebaya di seputaran tetangga karena mereka tahu kenapanya. Di luar sana, air gotnya sudah berupa setan berbentuk manusia. Kalau Anda tidak setuju, tidak apa. Mungkin pabrik kita berbeda, mungkin wafernya beda rasa, dengan level quality control yang juga tidak sama. Mungkin anak Anda sudah bisa membedakan yang mana yang boleh ditiru dan yang mana yang hanya dilihat saja. Mungkin juga Anda punya rinso pembersih otak anak yang saya tidak punya. Cuma, karena anak Anda adalah anak saya juga, saya berharap semoga sebelum Anda melempar anak Anda keluar rumah, minimal pastikan bungkusan wafernya tertutup rapat pula.

#sarrarisman

**jika dirasa manfaat, silakan membagikan artikel ini
***jangan khawatir, semua nama di artikel ini sudah diubah untuk perlindungan identitas mereka.

Saya sendiri belum secara ketat membatasi pergaulan anak-anak. Namun, (walaupun saya tidak selalu setuju dengan apa yang busar tulis di kesempatan lain) saya sepakat bahwa melindungi anak dengan cara membatasi pergaulan tidaklah berlebihan, mengingat dahsyatnya tantangan masa kini. Lebih baik berjaga-jaga, kan. Tentu, perlu upaya juga dari orangtua untuk membekali anak karena tidak selamanya orangtua mampu mengendalikan dan mengawasi, misalnya bagaimana agar anak bisa menahan diri dari godaan melihat hal-hal terlarang atau mengucapkan kata-kata kotor, bagaimana supaya tetap luwes bertegur sapa dan mengobrol dengan orang lain, juga berempati ke sekitar, tanpa meninggalkan kewaspadaan. Semoga sih tak sampai jatuh ke helicopter parenting di mana orangtua terlampau ikut campur dan membantu (yang sebetulnya malah menjerumuskan) anak, ya. Di sinilah naluri orangtua berperan, jangan segan menimba ilmu kepada ahlinya dan berbagi dengan mereka yang tepercaya.

One thought on “Seberapa Perlu Membatasi Pergaulan Anak di Lingkungan Rumah?

  1. Pingback: Sisi Lain: Yakin Mau Kekepin Anak? | Leila's Blog

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s