Tuntutan pekerjaan baru mengharuskan saya beradaptasi dengan penggunaan istilah-istilah yang juga baru bagi saya. Bukan istilah yang baru-baru amat sih, karena sebetulnya sudah lama dipakai. Saya aja yang ketinggalan berita.
Salah satu istilah yang saya maksud adalah narasi tunggal. Ketika saya mencari tahu lebih jauh tentang istilah ini, yang ternyata merupakan produk pemerintah, saya menemukan penjelasan yang mengena, yaitu:
Menurut Kepala Pusat Informasi dan Humas, Kementerian Kominfo Ismail Cawidu yang disampaikan dalam Pertemuan Tematik Bakohumas di Function Room Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (18/9) penyampaian informasi harus dilakukan dengan cepat dan akurat meskipun tidak lengkap. “Karena kita berpacu dengan waktu. Siapa yang pertama mengisi ruang ruang publik dengan baik maka dialah yang memenangkan persoalan. Tapi siapa yang terlambat itu akan tergilas dengan informasi meskipun dia benar, jadi faktor kecepatan menjadi sangat penting,” tegasnya.
Dalam sambutan mewakili Ketua Badan Koordinasi Humas (Bakohumas), Ismail mengingatkan kembali tentang pelaksanaan Government Public Relations (GPR) di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Menurutnya, Kementerian Kominfo sudah menyebarluaskan konten kebijakan pemerintah untuk pelaksanaan GPR ke seluruh jaringan humas di daerah sejak 27 Juli 2015. “Melalui pertemuan hari ini kita berharap semakin luas penyebarannya. Bagaimana kita menyampaikan sebuah kebijakan yang diambil pemerintah melalui humas pemerintah dan pranata humas,”.
Sejalan dengan Inpres Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik, Ismail Cawidu meminta kepada seluruh kementerian dan lembaga agar mengirimkan berbagai macam data kebijakan. Data itu kemudian diolah Kemkominfo menjadi narasi tunggal. Narasi tunggal itu dipublikasikan melalui kementerian dan lembaga. “Jadi narasi tunggal dibuat berdasarkan data yang kami terima dan analisis. Sehingga setiap informasi kebijakan yang keluar adalah sifatnya resmi official dari Pemerintah,” tambahnya.
Walaupun sudah dua tahun berlalu, pernyataan mengenai faktor kecepatan ini masih relevan. Sedikit banyak, hal ini juga yang menyemangati saya menulis. Termasuk memotivasi saya untuk memasukkan semacam kliping (dengan mencantumkan sumber) dari sumber tepercaya ke dalam blog untuk berjaga-jaga kalau situs aslinya bermasalah.
Meski konon katanya copas semacam ini bisa menurunkan rating blog sehingga tidak muncul di halaman awal mesin pencari…tapi ya sudahlah, saat ini saya belum ingin fokus ke peringkat situs, yang lagi-lagi katanya bisa berpengaruh ke kemenangan lomba blogging atau peluang kerja sama yang menghasilkan bonus materiil maupun immateriil. Walaupun kadang kepikiran juga sih, kalau yang di halaman pertama malah informasi dari situs abal-abal kan sayang bener itu waktu dan kuota internet para pencari. Belum lagi kalau isinya banyak pop up iklan gak jelas, belum lagi kalau sarannya justru menjerumuskan…
Ah tapi kan masih banyaakkk pejuang pena (atau pejuang papan ketik) yang jauh lebih ahli, aktif, informatif, dan ‘bener’ mengelola situsnya ketimbang saya. Beliau-beliau ini bisa diandalkan, lah, untuk melawan hoax. Saya sendiri juga belum tentu selalu update kabar terbaru kok, dan yang jelas jauh dari kata sempurna. Yang bisa saya lakukan adalah berupaya, dengan apa yang saya bisa.
Selain faktor ‘keburu dipanggil Allah, nanti sayang ada potensi berbagi yang terlewatkan’ seperti disampaikan oleh Ummu Balqis, menuliskan dan mengunggah informasi lebih cepat pun bisa berarti mengungguli pihak lain yang punya kepentingan beragam. Maksudnya bukan lomba siapa cepat dia keren sih, hanya saja kini makin marak berita-berita hoax yang menjadi viral dengan kecepatan luar biasa. Kalau tulisan ‘benar dan baik’ bisa viral juga, kenapa tidak, kan? Semoga pembacanya juga makin banyak, jadi kian sedikit yang termakan hoax.
Memang benar kita perlu berprasangka positif bahwa masih banyak orang baik di dunia ini. Tapi banyaknya hoax menyesatkan yang masih saja beredar hingga bertahun-tahun lamanya menunjukkan bahwa ada juga orang yang mau untungnya sendiri, atau iseng tapi berbahaya, atau minimal orang yang tingkat kepeduliannya kurang terasah.
Baca juga: Adab dan Hukum di Media Sosial
Salah satu yang saya lakukan ketika mendengar berita tertentu biasanya adalah mengecek google. Kalau memungkinkan ya klarifikasi langsung menggunakan sarana yang ada. Tidak melulu harus langsung bertatap muka, jalur pribadi di media sosial pun bisa dipakai, seperti yang saya lakukan pada kasus buku mba Fita Chakra kemarin. Intinya, berupaya mencari penjelasan baik berupa penguatan maupun bantahan dari pihak yang berwenang atau kompeten.
Nah, kalau belum ada tulisan klarifikasi atau penjelasan yang valid khususnya dari yang berwenang (atau ada tapi belum terjaring google), agak sulit untuk membantah hoax karena seolah tanpa bukti pendukung. Padahal mungkin secara logika saja kabar hoax itu sudah aneh. Tapi menjelaskan dari segi logika saja kadang tidak dengan mudah diterima oleh si penerus kabar hoax, malah kita yang kena marah. Wong kita jelaskan pakai dalil agama yang terang benderang saja kadang ditanggapi dengan “Lha kan tidak ada salahnya berhati-hati” *tepok jidat. Padahal jelas kan ya dalam Al-Qur’an:
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al Hujurat: 6).
Sumber : https://rumaysho.com/7891-jangan-mudah-menerima-berita-media.html