Pagi tadi saya dan suami mengambil rapor anak-anak di sekolah. Pembagian rapor ini menandai berakhirnya semester ganjil tahun 2022. Alhamdulillah, nilai-nilai mereka termasuk bagus. Dari obrolan dengan para guru, masih terdapat beberapa aspek dalam diri anak-anak yang perlu ditingkatkan, salah satunya kepercayaan diri. Hasil diskusi ini lalu menjadi masukan juga bagi kami untuk lebih memotivasi anak-anak agar makin berani dalam mengungkapkan pendapat dan tampil di depan apabila memang diperlukan.
Rapor sudah diambil, artinya siap-siap liburan, nih. Penghujung semester ini bertepatan dengan pergantian tahun, yang bagi beberapa keluarga memang menjadi momen untuk berlibur bersama. Kami sendiri jarang secara khusus merencanakan liburan akhir tahun. Penyebabnya, justru pada bulan Desember inilah pekerjaan saya dan suami sedang padat-padatnya. Boro-boro mau cuti, bisa pulang tidak terlalu malam saja sudah sangat bersyukur.
Salah satu board game favorit anak-anak saat ini
Namun, tentu sayang juga kalau hari libur anak-anak tidak diisi dengan kegiatan yang seru. Apalagi setelah berkutat dengan Penilaian Akhir Semester di sekolah yang cukup menguras energi. Sejumlah kegiatan sudah saya siapkan untuk bisa dilakukan oleh anak-anak di rumah, dengan bantuan paket-paket kreativitas yang saya pesan. Ada kit melukis dengan kanvas sederhana, rangkaian percobaan sains yang dikaitkan dengan permainan anak-anak, seperangkat DIY membuat kertas daur ulang, board game, puzzle, juga pastinya banyak buku bacaan.
Mengirim bahkan mengedit dokumen untuk pekerjaan kantor. Meneruskan informasi tugas PJJ anak-anak dan menyetorkan kembali jawabannya, sering pula harus merekam video sesuai dengan instruksi guru di sekolah. Memantau berita baik untuk keperluan pekerjaan maupun pribadi.
Mendokumentasikan kegiatan anak-anak. Mengolah foto dan video menjadi konten yang meski belum secanggih teman-teman lain, tetapi justru dalam masa masih belajar inilah rasanya butuh waktu dan usaha yang lebih. Mengelola media sosial dan blog pribadi. Menonton web series dan film lewat platform OTT. Video call dengan orang tua yang tinggal di kota lain. Berdiskusi dengan orang tua murid lain di grup sekolah, dengan sesama anggota komunitas di grup percakapan. Menelepon petugas antar jemput sekolah. Mengecek CCTV rumah.
Mengecek kebenaran suatu informasi. Mencari tahu tempat rekreasi keluarga yang akan dikunjungi. Menyewa jasa taksi secara daring. Berbelanja di toko favorit. Membaca buku kesukaan. Mengatur keuangan lewat mobile banking. Sebanyak itulah aktivitas yang sering saya jalani sehari-harinya dengan bantuan ponsel, bahkan mungkin masih ada yang belum saya sebutkan.
Plus Jakarta, Kota Kolaborasi. Kata-kata tersebut menyambut para pengunjung Taman Lapangan Banteng yang memasuki area tersebut dari Pintu Barat, termasuk kami semalam. Slogan ini mengandung pesan bahwa pembangunan Jakarta memerlukan keterlibatan warganya dari semua lapisan. Dikutip dari website resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, kota ini diharapkan menerapkan konsep City 4.0.
Jakarta Kota Kolaborasi
Jika dalam tataran City 1.0 pemerintah menjadi administrator sedangkan warga sekadar sebagai penduduk, lalu pada City 2.0 pemerintah sebagai pelayan sementara warga merupakan customer, kemudian dalam City 3.0 pemerintah adalah fasilitator bagi warga yang mengambil peran partisipan, maka City 4.0 dirancang lebih dari itu. Dalam City 4.0, berbagi gagasan adalah suatu kultur, hingga terbentuk ekosistem yang saling mendukung antara pemerintah dengan warga kota yang bergerak bersama.
Warga kota yang dimaksud di sini bisa berasal dari berbagai kalangan, mulai dari peserta didik atau mahasiswa, ibu-ibu, aneka komunitas, seniman, UMKM, hingga startup. Kolaborasi dapat dilakukan antara lain dalam enam kategori, yaitu Environmental Resilience, Future of Work, Urban Regeneration, Innovation and Technology, Equality and Empowerment, serta Art and Culture.
Jakarta sebagai ibukota negara adalah kota pusat pemerintahan sekaligus pusat perekonomian, sehingga insan dari berbagai budaya dan latar belakang berkumpul di sini. Beragamnya karakter warga ini merupakan potensi yang jika dikembangkan dengan baik maka akan saling melengkapi dan makin mendukung makin majunya Kota Jakarta yang usianya sudah mendekati lima abad.
Pulsa hp saat ini bisa digolongkan ke dalam salah satu kebutuhan pokok. Survei Sosial Ekonomi Nasional atau Susenas yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016 bahkan menunjukkan bahwa jumlah rata-rata pengeluaran pulsa secara nasional sampai mengalahkan jumlah pengeluaran pembelian buah dan daging. Belum sampai menyamai pengeluaran untuk membeli beras sebagai makanan pokok memang, tapi sudah cukup besar.
Aktivitas sehari-hari kita memang banyak didukung oleh ponsel yang dalam pengoperasiannya memerlukan pulsa maupun paket data. Bagaimana kalau pulsa kita habis? Agak repot juga, apalagi kalau mobilitas kita tinggi. Baru-baru ini, lewat seorang teman, saya memperoleh informasi bahwa di Cermati.com tersedia pula layanan pembelian pulsa. Bukan cuma pulsa, sih, sebenarnya, tapi kita juga bisa membeli paket data, membayar tagihan listrik, membayar tagihan PDAM, membayar tagihan telepon seluler pascabayar, membayar tagihan telepon rumah Telkom, membeli voucher game online, hingga membayar paket roaming luar negeri. Selama ini saya mengira Cermati.com berfokus pada layanan pengajuan kartu kredit, asuransi (termasuk BPJS Ketenagakerjaan), maupun pinjaman seperti KTA, KPR, dan kredit mobil. Yang sudah berizin resmi dari Bank Indonesia dan OJK tentunya.
Nah, untuk membeli pulsa melalui Cermati, kita bisa langsung menuju website https://www.cermati.com/pulsa. Atau jika dibuka dari halaman depan, pilih menu Top-up & Tagihan.
Aplikasi WhatsApp rasanya sudah menjadi salah satu aplikasi standar yang dipasang di ponsel kita. Aplikasi ini memudahkan kita berkirim pesan, termasuk juga gambar, video, dan dokumen. Bahkan kemudian tersedia juga fitur untuk menelepon, baik hanya suara (voice call) maupun beserta gambar bergerak hingga memungkinkan bercakap-cakap sambil bertatap muka (video call). Menghubungi keluarga yang tinggal berjauhan atau sedang bepergian, menerima instruksi pekerjaan, mengirimkan laporan, hingga berkoordinasi dengan rekan satu tim menjadi gampang.
Hanya saja, kalau tidak hati-hati, WhatsApp bisa memakan sangat banyak memori di ponsel. Kalau sudah begitu, jadi susah sendiri kan, mau tambah aplikasi lain memorinya sudah tidak cukup (apalagi kalau di pengaturan aplikasi di-install di memori ponsel, bukan memori eksternal), mau memotret pun tidak bisa karena tidak ada tempat lagi. Inilah yang dulu saya alami, bahkan sampai ada ponsel yang rusak dua kali dan pada kejadian yang kedua teman yang memperbaiki sudah angkat tangan.
Kenapa bisa sampai rusak ponselnya? Saya sih tidak begitu paham teknisnya, tapi intinya sih karena kepenuhan itu tadi sehingga tidak cukup memori untuk memulai operasi sistem ponsel. Kalau ‘cuma’ WhatsApp-nya saja yang tidak bisa jalan karena penuh (atau bahkan sampai restart sendiri atau harus di-install ulang) sih masih mending. Nah, kalau ponsel sampai tidak bisa masuk ke halaman utama, kan gawat, apalagi kalau data yang tersimpan belum sempat di-back up.
Bagaimana tips agar ‘hp gak penuh’? Yang saya sebutkan ini dari pengalaman saya nan gaptek aja sih, hanya sebagian yang saya cari dulu ‘landasan ilmiah’-nya, jadi sila koreksi yaa kalau salah.
Minggu lalu saya menyimak acara bincang-bincang parenting yang disiarkan live di instagram. Salah satu pembicaranya adalah mama Tascha Liudmila yang selama ini dikenal sebagai pembaca berita di televisi. Tema besar acara pada hari itu adalah perlunya pembatasan penggunaan gadget untuk anak-anak, terutama dari segi waktu. Selain sharing tentang pengalamannya, mama Tascha juga beberapa kali menyebutkan buku Screen Time yang ia tulis sendiri. Penasaran, saya pun memesan buku terbitan tahun 2015 ini.
Pada pemirsa acara tersebut, mama Tascha sudah menyampaikan peringatan: jangan bacakan buku Screen Time ini ke anak jika belum siap dengan konsekuensinya, yaitu diprotes oleh anak-anak ketika kita sibuk sendiri dengan gadget. Ya, buku Screen Time ini adalah buku cerita anak-anak yang dilengkapi dengan ilustrasi menarik karya Inez Tiara. Melalui buku ini, mama Tascha ingin mengajak sesama orangtua untuk memahami risiko pemakaian gadget yang berlebihan, dan bertindak untuk mengurangi dampaknya.
Tuntutan pekerjaan baru mengharuskan saya beradaptasi dengan penggunaan istilah-istilah yang juga baru bagi saya. Bukan istilah yang baru-baru amat sih, karena sebetulnya sudah lama dipakai. Saya aja yang ketinggalan berita.
Salah satu istilah yang saya maksud adalah narasi tunggal. Ketika saya mencari tahu lebih jauh tentang istilah ini, yang ternyata merupakan produk pemerintah, saya menemukan penjelasan yang mengena, yaitu:
Menurut Kepala Pusat Informasi dan Humas, Kementerian Kominfo Ismail Cawidu yang disampaikan dalam Pertemuan Tematik Bakohumas di Function Room Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (18/9) penyampaian informasi harus dilakukan dengan cepat dan akurat meskipun tidak lengkap. “Karena kita berpacu dengan waktu. Siapa yang pertama mengisi ruang ruang publik dengan baik maka dialah yang memenangkan persoalan. Tapi siapa yang terlambat itu akan tergilas dengan informasi meskipun dia benar, jadi faktor kecepatan menjadi sangat penting,” tegasnya.
Dalam sambutan mewakili Ketua Badan Koordinasi Humas (Bakohumas), Ismail mengingatkan kembali tentang pelaksanaan Government Public Relations (GPR) di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Menurutnya, Kementerian Kominfo sudah menyebarluaskan konten kebijakan pemerintah untuk pelaksanaan GPR ke seluruh jaringan humas di daerah sejak 27 Juli 2015. “Melalui pertemuan hari ini kita berharap semakin luas penyebarannya. Bagaimana kita menyampaikan sebuah kebijakan yang diambil pemerintah melalui humas pemerintah dan pranata humas,”.
Sejalan dengan Inpres Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik, Ismail Cawidu meminta kepada seluruh kementerian dan lembaga agar mengirimkan berbagai macam data kebijakan. Data itu kemudian diolah Kemkominfo menjadi narasi tunggal. Narasi tunggal itu dipublikasikan melalui kementerian dan lembaga. “Jadi narasi tunggal dibuat berdasarkan data yang kami terima dan analisis. Sehingga setiap informasi kebijakan yang keluar adalah sifatnya resmi official dari Pemerintah,” tambahnya.
Tajuk #TUMNgopiCantik kali ini adalah Better and Safer Internet at Home. Sejak awal acara dimulai di Eat & Eat fx Sudirman, mas Ilya Alexander S selaku pembicara yang diundang oleh The Urban Mama sudah menyampaikan sesuatu yang menohok: internet bukan diciptakan untuk anak-anak. Tidak ada yang aman, kalau mau aman ya jangan kasih internet. Nah, saya mengikuti acara yang diadakan tanggal 11 Februari ini juga sebenarnya mau tahu sih, seperti apa sudut pandang bapak-bapak praktisi. Selama ini yang saya ikuti kan lebih banyak tulisan dan seminar bu Elly Risman yang berbicara selaku pakar parenting, psikolog, eyang, dan pemilik yayasan yang menyuplai data riset dari berbagai daerah. Mas Ilya memang menyampaikan juga kalau tidak akan bahas dari segi parenting karena bukan ahlinya.
Persiapan tentang berinternet perlu karena yang terjadi kalau tidak hati-hati adalah antara stupid parents atau anak durhaka. Yang ditugaskan jadi orangtua itu kita, jadi tanggung jawab ada di kita. Coba bayangkan kita suka melarang anak main gunting, pisau, diumpetin, gak boleh ke dapur, tapi sama internet kita lepas begitu saja. Anak mau belajar menggunting kertas dibimbing, tapi medsosan dibiarin, atau papa mamanya lempar-lemparan tanggung jawab ngajarin. Aneh, kan? Sementara anak-anak kita digital native, dari lahir sudah dihadapkan dengan kecanggihan teknologi.
Mei lalu, saya dan beberapa orang pegawai lain se-Indonesia yang lolos seleksi pegawai bertalenta di bidang jurnalistik berkesempatan terlibat dalam proyek penulisan annual report organisasi kami. Untuk penyelesaian proyek tersebut, kami sempat dikumpulkan selama sepekan di kantor pusat. Ketika bertemu teman-teman lain untuk pertama kali, terus terang reaksi pertama saya adalah agak minder. Bagaimana tidak, saya paling senior (untuk menggantikan kata ‘tua’ :D) di antara mereka, dengan jarak usia cukup lumayan. Apalagi saat mereka mengeluarkan perangkat masing-masing. Waah, canggih-canggih, pikir saya.
Saya tatap netbook berwarna hitam yang juga sudah ikut duduk manis di depan saya, di meja perpustakaan kantor pusat. Perangkat ini sungguh penuh kenangan. Jadi ceritanya suami saya mendadak dapat SK mutasi ke Jakarta tahun 2011, saat saya sedang hamil anak pertama. Divisinya yang terhitung baru sehingga sarana komputer juga masih terbatas, serta pekerjaan yang menuntut mobilitas membuat suami merasa perlu membawa notebook sendiri, notebook yang jadi milik kami bersama. Sebetulnya saat itu saya juga sedang ada kerjaan menulis yang cukup lumayan dari segi asah pengalaman (karena dibimbing langsung oleh para editor penerbit kenamaan) maupun bayaran (honor terbesar yang pernah saya terima), tapi saya juga tak sampai hati bilang mau ‘menahan’ agar laptop tetap saya gunakan di Pangkalpinang. Kejutan, ternyata suami saya kemudian membelikan Acer Aspire One untuk saya yang dititipkannya lewat rekan lain. Dengan netbook inilah saya menuntaskan beberapa tulisan di kala itu, beberapa di antaranya berhasil diterbitkan dalam buku atau memenangkan lomba.
Kini, putri pertama kami sudah bukan balita lagi. Episode long distance marriage kami baru saja memasuki babak berikutnya setelah sempat lima tahun bekerja di kota yang sama. Kali ini saya di Jakarta dan suami di Jogja. Netbook itu masih setia menemani saya, termasuk menyimpan memori kegiatan keluarga kecil kami. Setelah putri kedua melewati usia setahun, saya mulai lebih aktif menulis lagi. Mencoba ikutan event ini-itu, lagi-lagi dengan bantuan netbook kesayangan. Kebetulan awal tahun ini saya juga dimutasikan ke kantor dengan job desc baru: membuat beberapa macam laporan dan analisis. Ditembah dengan tugas mengelola website kantor.
Jika sebelumnya saya menjadi pengguna sistem terotomatisasi, kali ini saya dihadapkan pada pekerjaan yang sebetulnya merupakan hobi saya yaitu menulis, tetapi dengan tantangan baru yaitu menganalisis secara ilmiah. Artinya, makin sering saya berhubungan dengan aktivitas ketik-mengetik, mengirimkan surel, browsing rilis laporan dari lembaga lain maupun berita ekonomi, dan sejenisnya. Tentunya sudah tersedia fasilitas di kantor, tetapi adakalanya saya perlu menulis atau menyampaikan sesuatu di perjalanan. Sebab pekerjaan ini juga menuntut kami bertemu untuk berkoordinasi dengan banyak pihak ataupun melaksanakan survei di lapangan agar laporan yang tersusun lebih akurat dan bermanfaat. Ponsel pintar cukup membantu di waktu-waktu tertentu, tapi sering saya berharap punya gawai yang lebih bisa diandalkan untuk mendukung beragam aktivitas saya. Netbook kesayangan cukup mungil untuk ditenteng ke sana kemari dan cukup memadai untuk beberapa keperluan, tapi saya mulai browsing juga mengenai laptop lain.
Display 12″ beresolusi tinggi QHD (2160 x 1440)
Baca di sana-sini, saya menemukan tulisan tentang Switch Alpha 12, Notebook Hybrid Intel Core Pertama Tanpa Kipas. Kenapa Acer? Jelas, karena ketangguhan perangkat sebelumnya yang saya miliki sudah menjadi bukti. Kata-kata “tanpa kipas” langsung menarik perhatian saya. Bisa, ya, tidak pakai kipas? Ternyata dengan teknologi LiquidLoop, suhu mesin netbook bisa tetap dingin tanpa kipas. Meminimalisir suara berisik juga, sekaligus mencegah debu masuk ke dalam badan netbook karena tanpa ventilasi, hingga netbook jadi lebih awet. Ukurannya sendiri tipis dengan bobot yang ringan, dengan display 12″ beresolusi tinggi QHD (2160 x 1440). Cocok nih dipakai untuk bekerja dengan spreadsheet atau mengutak-atik tampilan website maupun blog. Cocok juga untuk video call dengan suami atau eyang anak-anak yang nun jauh di sana (penting, lho!). Fitur Acer BlueLight Shield mampu melindungi mata pengguna, aset karunia Tuhan yang penting untuk tetap dijaga. Processor-nya sixth-generation Core i5 lho, dengan RAM 8GB, baca di review luar sih katanya bikin kerja sambil buka banyak tab terbuka sekaligus tetap lancar tanpa hang. Problem ngadat seperti itulah yang sering saya alami selama ini, mengingat saya merasa lebih mantap kalau membuka banyak referensi untuk cek dan ricek ketika menulis (biar hasil karya valid dan bisa dipertanggungjawabkan, kan).
Switchable, bisa dikonversikan menjadi laptop maupun tablet
Hal lain yang bikin saya makin antusias adalah adanya kickstand yang bisa dimiringkan hingga 165 derajat supaya lebih nyaman digunakan. Keyboard docking Switch Alpha 12 terkoneksi melalui engsel magnetik, jadi bisa dikonversikan menjadi laptop maupun tablet, plus dilengkapi backlit untuk memudahkan pemakaian di tempat minim pencahayaan. Tahu aja nih, ibu-ibu kalau malam kadang masih perlu nulis sesuatu tapi kalau lampu dinyalakan semua si kecil ikut bangun, hehehe. Switchable banget, kan? As switchable as yang saya butuhkan, mengingat aneka keperluan saya yang kadang menuntut ‘gaya’ yang berbeda dalam mengoperasikan netbook.
USB 3.1 Type-C dengan port bolak-balik dan transfer data lebih cepat
Bekerja dengan gawai acapkali juga berarti munculnya keperluan untuk memindahkan data. Nah, Switch Alpha 12 sudah pakai USB 3.1 Type-C, nih, yang port-nya bolak-balik dan transfer data juga bisa lebih cepat yaitu mencapai 5 Gbps (10 kali lebih kencang dibandingkan dengan USB 2.0). Tersedia juga stylus pen (dijual terpisah) untuk membantu presentasi menjadi lebih praktis. Kemudahan-kemudahan itu bisa menghemat waktu juga, demi kelancaran pertukaran peran working mom yang juga butuh me time seperti saya.
Jelas kan, Acer Switch Alpha 12 ini pas banget untuk saya. Masuk wish list pokoknya, semoga segera ada rezeki untuk mendapatkannya. Kalau sudah dapat, netbook yang lama dikemanakan, dong? Bisa dipakai anak pertama, lah, biar nggak hanya terbiasa dengan layar sentuh :).
Pada dasarnya saya suka menulis dan mewartakan. Saya sepertinya punya semacam naluri suka berbagi informasi. Bukan dalam rangka pamer, ya. Dan tentu pilih-pilih kontennya dulu (plus cek dan ricek), apalagi kalau bentuknya forward dari pihak lain. ‘Hobi’ yang ini mendapat penyaluran ketika saya mengenal weblog atau lebih sering disebut dengan blog. Biarpun tidak kesampaian jadi wartawan betulan, saya berharap apa yang saya tulis bisa memberi manfaat. Yaaah, siapa tahu saja ada yang ternyata memerlukan referensi sebelum membeli sebuah buku, memutuskan metode pengasuhan yang tepat untuk anak, menentukan destinasi liburan, memilih media penyajian ASI perah untuk bayi, melewati daerah tertentu, atau butuh cara menghentikan aplikasi yang menyebalkan di gadget. Saat ini bahkan blogging bisa jadi kegemaran yang membuahkan imbalan materi.
Fathia di Istiqlal, foto diambil dengan Samsung Galaxy Chat
Sejak dulu saya lebih sering nge-blog di ponsel. Belum sampai tingkatan ponsel pintar tentunya, tapi lumayanlah sudah bisa posting dengan mudah, tidak harus menyalakan komputer/notebook dulu. Apalagi seringkali saya memanfaatkan foto-foto jepretan sendiri untuk ilustrasi blog. Tentu lebih mudah mengunggahnya langsung dari ponsel ketimbang harus mencari kabel data atau menyalakan bluetooth dulu. Dengan ponsel, blogging bisa dilakukan di mana dan kapan saja. Makanya saya senang sekali ketika layanan blogging yang saya gunakan waktu itu mengeluarkan tampilan versi mobile, juga memberi fasilitas cepat posting melalui e-mail. Kalau dibandingkan dengan zaman sekarang sih mungkin masih belum praktis-praktis amat, tetapi untuk masa itu sudah sangat membantu.
Kini eranya smartphone, kegiatan blogging juga terfasilitasi menjadi lebih mudah. Beberapa fitur yang saya anggap harus ada dalam ponsel untuk bisa disebut mempermudah blogging di antaranya adalah:
Layar yang lebih lega untuk kenyamanan membaca dan mengetik. Namun, tetap harus enak digenggam, tidak licin maupun terlalu berat ditenteng.
Penerangan tambahan (flash light) untuk memotret, karena saya dan keluarga sering mengunjungi berbagai museum yang pencahayaannya minim, atau kadang-kadang datang ke event malam hari.
Resolusi foto dan video yang prima hingga hasilnya cantik dipajang sebagai pendamping tulisan maupun muatan utama, misalnya dijadikan vlog. Klien atau penyelenggara kegiatan senang kan pastinya kalau foto atau tayangan yang kita posting mengundang ketertarikan pembaca. Untuk disimpan sendiri pun, maunya suatu peristiwa diabadikan semaksimal mungkin agar kian manis dikenang.
Ketahanan baterai yang mumpuni supaya nggak keburu mati ketika harus meliput kegiatan yang berdurasi cukup lama atau kita sedang dalam perjalanan mudik misalnya (banyak lho hal baru yang bisa jadi sumber ide tulisan ketika sedang pulang kampung).
RAM dan prosesor yang handal agar aktivitas pengguna tak dikit-dikit ngadat. Tentu harus disertai juga dengan manajemen ponsel yang bagus, ya, oleh pengguna sendiri.
Memori lega supaya segala arsip dan aplikasi pendukung blogging (termasuk media sosial dan messenger) tersimpan dengan rapi.
Kemampuan menangkap koneksi yang menyokong kecepatan pencarian informasi tambahan agar tulisan makin ‘kaya’ (juga mendukung postingan menang lomba livetweet, nih).
Baterai tahan lama mendukung aktivitas sebagai blogger
Hasil baca sana-sini, semua kriteria itu ada di Samsung Galaxy J5 dan J7, lho. FYI, brand Samsung ini yang paling saya percaya untuk urusan ponsel. Dari zaman belum berkamera (lebih tepatnya saya nggak enak minta dibelikan yang berkamera), sampai berkamera (dibeli pakai rapelan gaji pertama), dan smartphone android saya, ya dari Samsung ini. Apalagi sekarang ada program Galaxy Gift Indonesia, ya, jadi pengguna bisa memperoleh berbagai pilihan hadiah menarik yang berbeda setiap harinya.
Samsung Galaxy J5 punya CPU Quad-Core dengan kecepatan 1.2GHz, jadi kalau ada adu cepat dan adu banyak postingan berbasis microblogging bakal nggak ada cerita lag kelamaan yang bikin kita tertinggal mencuitkan apa kata narasumber atau kehilangan objek foto menarik. Ada Signal Max yang menolong agar sinyal panggilan telepon bisa ditangkap maksimal. Baterainya berkapasitas 3100 mAh, jadi kita tidak dibikin ribet dengan kabel powerbank ketika kegiatan belum lama dimulai. Bisa lebih irit juga lho, dengan dukungan Ultra Data Saving yang mampu menghemat kuota data hingga 50% (berdasarkan tes lab Opera, untuk aplikasi-aplikasi tertentu). Pernah sulit membaca layar ponsel di tempat terang, misalnya saat kegiatan outdoor di mana matahari bersinar terik? Super Amoled Display Samsung Galaxy J5 membuat layar ponsel tetap jelas terlihat.
Perbendingan ukuran Samsung J5 dan Samsung J7
Kamera utama Samsung Galaxy J5 ini 13MP sedangkan kamera depannya 5MP, daaaann bukan hanya kamera belakang yang disertai dengan flash, ada front flash-nya juga! Flash di bagian depan ini perlu, soalnya wefie dengan pengisi acara atau tokoh yang ditemui hasilnya kan kurang oke kalau pencahayaan kebetulan sedang minim (not to mention kalau sewaktu-waktu ada kesempatan candle light dinner sama suami, ya :D). Dukungan 4G-nya juga memungkinkan untuk live reporttalk show, mengunggah jepretan narsis-narsis ria (meskipun blogger kelihatannya bekerja di balik layar tapi adakalanya pengin tampil, dong), maupun mengirimkan e-mail ke klien atau penyelenggara kontes dengan cepat.
Browsing website lebih cepat, bermain game,dan melihat video HD dengan mudah tanpa lagging dengan prosesor andal Galaxy J
Sedangkan Samsung Galaxy J7 menawarkan kecepatan yang lebih wow, dengan Octa-Core 1,5GHz. Sebagai produk seri J, tipe ini pun dipersenjatai dengan quick launch. Cukup tekan tombol home dua kali untuk bisa mengakses kamera dengan cepat. Momen penting seringnya tidak datang dua kali, kan? Sayang sekali kan kalau ekspresi lucu penampil di pentas hiburan, detik-detik terakhir menuju kemenangan lomba lari anak, atau penyerahan hadiah terlambat kita tangkap. Ukuran Samsung Galaxy J7 yaitu 5.5″ sedikit lebih besar dibandingkan dengan Galaxy J5 yang 5.2″. Tampilan layar yang dimiliki leluasa disimak tanpa meninggalkan aspek kenyamanan untuk digenggam. Spesifikasi lainnya mirip dengan Samsung Galaxy J5, misalnya memori internal yang sama-sama 16GB (expandable up to 128GB), RAM juga 2GB. Hanya saja baterai Samsung Galaxy J7 3300 mAH, bisa lebih lama bertahan tanpa perlu sedikit-sedikit diisi ulang.
Kamera beresolusi tinggi yang mudah dioperasikan, fitur wajib untuk mendukung tampilan blog atau postingan di media sosial
Mengingat status saya sebagai ibu dua anak (yang satu baru saja menanggalkan titel balita), efisiensi waktu is a must. Blogging bagi saya termasuk salah satu me time yang menyenangkan (dan terkadang menghasilkan :)). Dengan adanya ponsel seperti Samsung Galaxy J5 dan J7, saya bisa menghemat banyak waktu hingga kepuasan menulis dapat, kebersamaan dengan anak pun dapat. Blogging semakin mudah dan fun. Tentunya ponsel ini juga bisa menjadi andalan saya ketika mendokumentasikan langkah demi langkah tumbuh kembang anak-anak, sekaligus menjembatani komunikasi dengan suami (ya, saya sedang LDR-an) dan orangtua yang tinggal berlainan kota.
Foto-foto ponsel dari web resmi Samsung Indonesia, foto Fathia di Istiqlal saya ambil menggunakan Samsung Galaxy Chat yang masih awet dipakai.