Undangan pengajian bulanan untuk pegawai perempuan dan anggota dharma wanita di kantor beberapa waktu yang lalu bikin saya tak sabar menanti. Betapa tidak, yang disebutkan sebagai pembicara adalah dr. Aisah Dahlan. Potongan rekaman video beliau tentang perbedaan otak laki-laki dan perempuan dengan segala kekhasannya sempat viral di dunia maya, termasuk grup ibu-ibu di whatsapp yang saya ikuti.
Dengan latar belakang sebagai dokter medis dan pernah pula mendalami tentang rehabilitasi pecandu narkoba hingga mendampingi artis yang ‘pemakai’ dan memimpin unit rehab di RS, dr. Aisah belakangan aktif memberikan ceramah terkait keluarga. Lebih spesifik lagi, topik yang sering beliau angkat adalah relasi pasangan suami-istri dan maupun tips mendidik anak dengan basis kerja otak atau neuroscience.
Ibu lima anak ini mengawali sesi berbaginya pada Jumat siang (21/07) dengan menjelaskan bahwa berat otak kita kira-kira adalah 1,5kg (lelaki 1,6kg). Dalam otak terdapat banyak sel syaraf, dan makin banyak silaturahmi akan lebih banyak selnya tersambung.
Otak kita terbagi menjadi dua, ‘belahannya’ tepat garis lurus dari hidung. Otak emosi terletak di tengah, di bagian dalamnya, dan disebut dengan sistem limbik. Di sini ada beragam emosi dari bahagia, bersyukur, marah, kesal, dll. Jadi dari sananya sudah ada sistem, tinggal bagaimana kita mengelolanya.
Melupakan memang lebih sulit terkait emosi, karena secara susunan otak memang dibuat agar tidak mudah dilupakan. Biasanya kita bahkan ingat sampai hari, jam, dan pakaian orang yang menyakiti hati kita. Ada 20% orang yang tidak seperti kebanyakan orang, mereka lebih mudah melupakan. Tapi menurut ilmu neuroscience, emosi yang sangat kuat biasanya juga akan diingat sangat kuat. Baik itu emosi sangat bahagia, sangat marah, maupun sangat sedih. Karena melupakan itu sulit, maka yang diperlukan adalah memaafkan. Bagaimana caranya?
Di tengah otak, kira-kira di bagian belakang dahi kita, terdapat amygdala. Besarnya lebih kurang setara dengan buah almond sesuai asal namanya, atau seukuran jempol kita masing-masing. Amygdala disebut juga dengan gerbang nurani. Karena namanya gerbang maka bisa dibuka dan ditutup. Layaknya pintu, amygdala harus diberi pelumas berupa oksigen. Gerakan bersujud agak lama bisa membantu agar darah yang membawa oksigen sampai pada amygdala, agar amygdala lentur dan mudah dibuka tutup. Bagi yang muslim bisa dengan gerakan sholat, yang non muslim bisa melakukan gerakan yoga atau sejenisnya. Hasilnya, kita bisa lebih bijak menghadapi situasi dan bisa tersenyum kembali dengan amygdala yang terbuka.
Kita sebagai perempuan ada waktu-waktu yang tidak sholat/bersujud, biasanya memang lebih mudah emosi. Kalaupun memang sewaktu-waktu perlu mengendalikan emosi negatif, bantu masukkan oksigen dengan tarik napas dalam lalu embuskan perlahan lewat mulut, bisa diulangi jika sekali dirasa belum cukup.
Kadang timbul kekesalan kita pada suami, entah karena beda pendapat, keliru berucap, atau kesalahan yang dilakukan. Dr. Aisah bikin seisi ruangan senyum-senyum ketika menyebutkan tips untuk menjadi istri sholehah: berdayakan amygdala, jangan lupa banyak tarik napas. Setersinggung-tersinggungnya kita, ingat lagi bahwa lelaki inilah yang bisa membawa kita ke surga. Tentu sambil dibarengi mencari ilmu agama terkait hidup berumah tangga dari majelis taklim. Ilmu ini akan tersimpan di otak bagian depan.
Apabila amygdala tertutup, reaksi kita dalam menghadapi situasi yang ‘mengancam’ cuma dua: fight or flight. Misalnya kita bawa anak ke rumah pimpinan, lalu anak main-main sampai mecahin kristal di ruang tamu beliau. Kalau amygdala tertutup maka reaksi kita biasanya antara cubit anak atau ‘nggak ngakuin jadi anak’ (buang badan).
Tapi, dr. Aisah mengingatkan, amygdala juga tidak bisa dibiarkan terbuka terus, adakalanya diperlukan untuk tertutup. Misalnya fight saat ada orang jahat, flight harus dilakukan di kala terjadi musibah atau situasi berbahaya. Jadi memang ada saat-saatnya sendiri. Amygdala bisa terbuka terus pada saat seseorang tidur lelap atau dalam kondisi koma.
Antara tubuh manusia dengan otak disambungkan oleh sistem syaraf yang bekerjanya seperti kabel listrik atau telepon. Tindakan kita bisa ditentukan oleh ‘sistem kabel’ itu atas perintah dari otak. Cara kerjanya sangatlah cepat. Maka dari itu hati-hati dalam bicara, contohnya dalam mengingatkan anak. Kalau dibilang lambat misalnya, maka tubuh anak malah bisa merespon betulan lama. Ganti dengan kata “Yang cepat yuk, Nak” misalnya, agar responnya juga mempercepat. Demikian juga saat kita sakit, hindari mengeluh “Kok sakit terus ya….”
Lagi, ucapan dr. Aisah mengundang gelak tawa. “Bersyukur, Bu, kalau kita ngaca dan keriput kita nambah. Itu dia ciri orang ikhlas: keriput, karena senyumnya sungguh ikhlas dan ditarik lebar, bukan sekadarnya saja,” sebut beliau.
Tak lupa dr. Aisah juga menjelaskan bahwa kekesalan kita ke orang bisa berdampak ke gejala sakit fisik walaupun sebenarnya tidak ada penyakit, atau biasa disebut dengan psikosomatis. Emosi kesal akan mengirimkan sinyal lalu terasa pusing, sakit perut dst. Jadi, kalau sulit memaafkan dan memendam rasa marah terus, efeknya juga tidak baik untuk kesehatan kita. Bulan Syawal menjadi momentum yang pas untuk saling bermaafan, termasuk memaafkan mereka yang mungkin pernah membuat kita kesal. Sanggup?
Masyaallah mbak.. bagus banget kayaknya kajiannya.. aku pengen banget ikutan kajian yang narsumnya mantap di bidang medis dan agama.. kalau ada yang mirip-mirip, mau ya dikabarin :))
btw, intinya kalau mau amygdala nya terbuka untuk wanita memang caranya hanya sholat aja ya mba? plus yang tarik buang nafas itu?
Siap, Cha, in sya Allah dikabarin :).
Oh iya, lupa disebutin, udah diedit… Buat yang nggak sholat bisa pakai gerakan mirip bersujud misalnya yoga.
MasyaAllah.. thank you resumenya. Aku sudah ikut lama kajian beliau tapi g jadi- jadi resumenya 😋😙
Sama-sama, Mba Vivi… Ini juga sudah lumayan lama ketunda nulisnya :D.
MasyaAllah, ngademin bgt, aku suka suka suka sukaaaa…tfs Mbak Leila udh berbagi 🙂