Sensor Mandiri, Benteng Keluarga Masa Kini

“Anakku tahu jingle iklan susu itu. lho, padahal di rumah kita nggak pernah nyalain tv. Liat di Youtube, kali, ya?” begitu cerita seorang teman di kantor seminggu yang lalu.

“Ada-ada aja pemerintah sekarang, masak sekarang baju artis di TV pun di-blur. Konyol! Kalau yang nonton nggak suka, tinggal matikan aja, kan?” demikian pendapat lain yang sempat saya baca di dunia maya.

Apa, sih, sebetulnya pengertian dari sensor itu? Kalau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sensor artinya sebagai berikut: sensor1/sen·sor/ /sénsor/ n 1 pengawasan dan pemeriksaan surat-surat atau sesuatu yang akan disiarkan atau diterima (berita, majalah, buku, dan sebagainya); 2 yang menyensor. Sedangkan definisi censor, kata dalam bahasa Inggris yang merupakan asal kata sensor, dalam kamus Merriam-Webster adalah “a person who examines books, movies, letters, etc., and removes things that are considered to be offensive, immoral, harmful to society, etc.” Jadi sensor memang dari sananya terkait dengan persoalan moral dan seberapa besar bahayanya terhadap masyarakat.

Jika ditilik lebih lanjut, wajar bila pemerintah berkepentingan terhadap isi siaran atau media pada umumnya, sebab bisa membawa pengaruh kepada kehodupan masyarakat luas. Pornografi, kekerasan, hal-hal yang sifatnya menghasut, dapat secara langsung maupun tidak langsung merusak pemikiran pemirsa, pendengar, atau pembaca. Untuk tujuan mencegah dampak negatif itulah Lembaga Sensor Film (LSF) didirikan. Kiprahnya memang secara khusus lebih mengarah ke perfilman, yaitu film dan reklame film.

Logo_LSF

Lantas, dengan adanya LSF, apakah masyarakat bisa sepenuhnya bernapas lega? Tentu tidak. Pasti ada saja yang merasa tidak puas. Sebagian tak suka karena sensor seolah menghalangi kebebasan penyiaran atau terlalu ikut campur mengatur kesenangan pribadi, yang lain justru merasa gunting LSF masih tumpul. Lembaga yang dinaungi keberadaannya oleh Undang-undang Nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman ini sejatinya memang tidak maksimal perannya tanpa peran serta aktif masyarakat.

Bayangkan, LSF sudah memberikan batasan usia untuk bisa menjadi penonton sebuah film yang disesuaikan dengan muatan film tersrbut. Namun, pada praktiknya seringkali terjadi di gedung bioskop penonton di bawah umur lolos melihat film untuk usia di atasnya. Sebagian malah diajak oleh orangtuanya, mungkin karena tidak ada yang menjaga di rumah atau tidak sadar bahwa konten filmnya tidak cocok untuk anak-anak (biasanya untuk tema seperti komedi atau film bertokoh superhero yang telanjur identik dengan ‘main-main’ khas anak-anak, padahal terselip adegan syur atau sadis di dalamnya).

Maka, sensor mandiri sudah seharusnya menjadi budaya. Orangtua misalnya, harus aktif mencari tahu rating (dalam hal pengkategorian umur) film yang hendak dinikmatinya bersama anak di sinepleks. Tak terbatas pada sinema layar lebar sebetulnya, media lain pun patut mendapat perhatian. Bajakan film-film box office terbaru baik Indonesia maupun luar negeri banyak beredar dalam bentuk keping DVD/VCD dan dijual di lapak-lapak offline tanpa pengawasan, belum termasuk hasil download alias unduhan yang mudah ditemukan linknya di dunia maya, for free and uncensored. Mau yang gambarnya sudah cling hasil membajak dari edisi blu-ray, extended version, rekaman dari yang nonton langsung, pakai subtitle Indonesia maupun tidak, tinggal pilih. Video di situs penyedia rekaman audio visual gratis pun menjadi contoh yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat masa kini karena bisa diakses lewat gadget di genggaman tangan, di mana pun berada. Bisa jadi film yang diputar oleh anak (balita zaman sekarang canggih-canggih, lho) ‘aman’, channel yang dipilih sudah khusus video edukasi anak, tetapi bagaimana dengan iklan yang lewat? Bagaimana dengan rekomendasi video lain yang acapkali ikut muncul? Ada kemungkinan fitur filter tidak selalu berhasil menghalangi seluruh kata kunci yang berkaitan, salah-salah malah klip xxx yang muncul.

Nah, apa saja sebetulnya yang perlu dicermati dalam menerapkan budaya sensor mandiri ini, khususnya bagi orangtua?

  1. Miliki prinsip dan pegang dengan teguh. Nilai-nilai di tiap keluarga bisa jadi berbeda satu sama lain, ada yang memilih pijakan agama, ada yang berpatokan pada budaya timur. Tentukan pondasi terlebih dahulu agar ada pegangan dalam menentukan langkah ke depannya. Misalnya, adegan ciuman dianggap biasa sebagai bagian dari keragaman pilihan berekspresi yang ada di masyarakat, atau sepenuhnya tabu? Apa tindak lanjutnya jika menemui hal seperti itu, tutup mata anak, alihkan ke kegiatan lain, langsung ceramahi anak, atau biarkan saja anak berpikir sendiri nanti kalau ‘umurnya udah nyampe‘?
  2. Ajak seisi rumah berkolaborasi. Utamanya pasangan (suami/istri) agar kompak satu suara dalam menerapkan aturan. Jika ada nenek/kakek/pengasuh/penghuni rumah lainnya, sampaikan juga apa yang dirasa perlu untuk mencegah anak mengkonsumsi sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat.
  3. Bicarakan dengan anak sesuai usianya. Anak yang lebih besar sudah bisa diberi penjelasan beserta referensi atau ‘dalil’-nya, juga diberi contoh sebab akibat agar memacunya ikut berperan (bukan hanya didikte), sedangkan anak yang lebih muda mungkin lebih baik diberi benteng secara langsung seperti penjadwalan nonton dan pendampingan.
  4. Usahakan melakukan ‘sensor’ dalam arti yang sesungguhnya, contohnya membaca komik, majalah, tabloid, atau novel yang dibeli anak (termasuk bentuk digitalnya berupa e-book atau versi pdf buku best seller yang sering beredar atau dengan mudah didapatkan di internet) sebelum ia mulai menekuninya, atau menonton duluan DVD yang mau disetelnya maupun game yang hendak dimainkannya (minimal cari review-nya yang umumnya cukup mudah ditemukan di forum-forum atau blog). Keterbatasan waktu mungkin menjadi kendala mengingat sibuknya pekerjaan ayah dan ibu sehari-hari baik di kantor/tempat kerja maupun di rumah, maka kembali lagi ke prioritas keluarga masing-masing: layakkah efek yang mungkin ditimbulkannya kelak jika lolos dari pantauan kita? Pembatasan menyeluruh bisa menjadi solusi kalau belum percaya dengan kemampuan anak menyaring sendiri, dengan konsekuensi orangtua dianggap otoriter.
  5. Bisa juga anak menonton video di luar pengawasan kita, misalnya dari gawai teman, di warnet, saat main ke rumah saudara, dan seterusnya. Kembali lagi ke poin pertama, usahakan anak sudah mengerti akan nilai-nilai yang dianut oleh keluarga beserta konsekuensinya. Menjalin komunikasi yang baik dengan anak sedari dini juga bisa membantu agar anak tidak segan/takut menanyakan atau mengobrolkan hal-hal dengan topik sensitif. Jadilah sahabat terbaik bagi anak.

Beberapa tips di atas semoga bisa menjadi awal dari pembudayaan sensor mandiri di masyarakat. Jika bukan kita yang mulai, siapa lagi? Sebab, pembangunan manusia di negeri ini dimulai dari satuan terkecil masyarakatnya yaitu keluarga yang saling mendukung dalam kebaikan, bukan?

 

Cara Mengatasi Fb Kita Memposting Link Ajaib

Masih berkaitan dengan postingan sebelumnya, tentang apps dalam facebook yang rawan berefek kurang menyenangkan. Pernah nggak melihat ada teman posting sesuatu yang aneh, bukan dia banget, biasanya menjurus ke pornografi? Tapi waktu ditanya, ybs bilang bukan dia yang posting. Apakah artinya akun fb dia di-hack? Atau kena virus?

Istilah fb di-hack atau kena virus memang menjadi sebutan gampang untuk akun yang mendadak posting aneh-aneh begitu. Ada memang yang di-hack betulan, tapi untuk kasus yang hendak dibahas ini sebetulnya istilah di-hack tidak tepat. Soalnya pemilik akun masih bisa mengakses akunnya dengan normal, bukan sepenuhnya diambil alih oleh orang lain (biasanya melibatkan penggantian password dst). Adapun virus, salah satu jenis malware, sasarannya adalah komputer, bukan hanya menyerang akun maya.

Seperti sudah disebutkan di atas, pemilik akun umumnya justru tidak sadar akunnya sudah menyebarkan link aneh-aneh alias spamming atau nyampah ke grup-grup maupun wall teman. Memang wall pemilik akun sendiri biasanya bersih. Link yang disebar pun tidak selalu berbau porno, bisa jadi berjudul berita terkini (kasus kopi sianida Jessica akhir-akhir ini sering dipasang di judul), update gosip yang mengundang rasa ingin tahu (yang sering saya dapati belakangan ini adalah rumor Raffi Ahmad-Ayu Tingting bahkan Ariel), pokoknya yang memancing orang untuk meng-klik, disertai foto ilustrasi yang mendukung.

Seorang teman pernah penasaran men-tap sebuah link yang dikirimkan member grup. Awalnya sih bermaksud mau menghapus postingan yang jelas-jelas OOT alias out of topic/keluar dari tema grup itu tapi pingin lihat dulu isi beritanya. Akibatnya ia sendiri kemudian secara otomatis mem-post link yang sama ke grup-grup lain yang ia ikuti. Yang lebih bikin gemes adalah kalau kejadiannya tidak disengaja, misalnya terlalu cepat scroll atau tap-nya meleset (risiko jadi admin grup nihh, suka deg-degan juga mau tap remove malah ke-klik preview linknya…moral of the story harus fokus dan hati-hati huhuhu).

Bagaimana cara mengatasinya agar akun kita berhenti mengirim link aneh bin ajaib? Tidak ada tips khusus sebenarnya untuk menghentikannya. Cara menghapusnya kira-kira seperti ini: Masuk ke pengaturan/setting facebook, cari applications/aplikasi, hapus aplikasi yang mencurigakan atau sekiranya jarang dipakai (game-game nggak jelas itu contohnya, buat apa juga, kan?).

Untuk postingan yang sudah telanjur ke mana-mana, bisa cek di activity log fb, hapus satu-satu. Kalau perlu, bikin semacam pengumuman minta maaf. Ganti password, cek add-ons di browser yang dipakai (utamanya di PC) boleh juga kendati kemungkinan pengaruhnya tidak besar. Masalah autopost selesai (semoga), postingan spam stop, tapi bagaimana dengan reputasi? Teman yang sering berinteraksi sih rasanya bisa maklum bahkan mungkin langsung mengabari ketika akun kita melakukan aktivitas di luar kebiasaan. Namun, bagaimana dengan yang lain?

Ada grup di facebook yang adminnya super-tegas, sekali posting OOT maka member tersebut akan di-ban alias diblokir dari keanggotaan grup. Mungkin masih bisa diusahakan dengan cara dilobi langsung (japri) ke admin ya, kalau terjadi seperti ini dan masih merasa perlu jadi anggota grup tersebut yang banyak manfaatnya.

Sekali waktu ada salah satu admin grup yang saya ikuti yang ngomel-ngomel atas postingan cabul yang masuk di grup, malah sampai menuduh anggota tersebut sebagai penyusup yang hendak mengacau. Waktu itu memang sedang ramai dibicarakan adanya akun fetish yang suka inbox ummahat berjilbab rapat untuk memuaskan hasratnya, dengan diawali menyamar sebagai muslimah dan masuk ke grup-grup misalnya grup jual beli hijab. Beberapa anggota grup termasuk saya lalu menjelaskan adanya kemungkinan yang lain, termasuk kena aplikasi autopost.

Sang admin lalu menyadari memang hal tersebut mungkin terjadi. Sayangnya sudah lupa siapa yang tadi ia hapus postingannya sekaligus ia blokir tersebut (kalau pakai komputer bisa sih ya cek daftar blokiran anggota grup), jadi kesulitan juga mau add lagi apalagi klarifikasi langsung. Ini contoh saja terkait ‘nama baik’ di dunia maya, kalau tidak peduli soal itu mari kita lanjut saja ke perkara berikutnya, hehehe.

Buat apa sih, orang bikin aplikasi begituan? Iseng banget kalau tujuannya cuma buat senang-senang. Eits, jangan salah, tujuan yang ingin dicapai biasanya jelas, kok. Meningkatkan klik ke website tertentu, misalnya, yang membuat reputasi website tersebut di mesin pencari jadi tinggi. Ujung-ujungnya situs tersebut bisa dijual lagi dengan harga tinggi.

Contoh kejadian dengan motif serupa untuk akun facebook bisa dibaca di sini https://iwanyuliyanto.wordpress.com/2013/11/20/apakah-anak-durhaka-itu-memakai-foto-anakmu/ dan di sini http://hai-online.com/Feature/Stuffs/Fakta-Mengejutkan-Di-Balik-Post-Komen-Angka-9-Dan-Lihat-Apa-Yang-Terjadi-Di-Facebook. Atau ‘sesederhana’ supaya jualannya yang dipajang di laman itu banyak dilihat orang dan meningkatkan kemungkinan orang beli, setidaknya tahu. Enak banget, yaaa…tapi merugikan orang lain kan kalau caranya begitu.

Tambahan referensi untuk metode atau trik lain yang bisa dilakukan:

https://www.thatsnonsense.com/is-your-facebook-account-sending-spam-messages/

http://www.thatsnonsense.com/beware-click-baity-spammy-facebook-apps/

Hati-hati Mengisi Kuis di Facebook!

Siapa yang paling sering mengintip profil facebook Anda? Apa arti nama kita? Bagaimana karakter kita kalau dilihat dari wajah? Siapa sahabat terbaikmu kalau dilihat dari postingan facebook? Princess Disney mana yang paling mirip sama kamu?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas memang biasanya mengundang rasa penasaran. Umumnya sih ada kontak facebok yang duluan memposting hasil yang ia peroleh, lalu kita tertarik ikut mencari tahu. Cukup dengan beberapa kali klik (atau tap), jawabannya sudah bisa diketahui. Nah, di antara sekian klik/tap tersebut, umumnya akan ada permintaan izin dari aplikasi ‘kuis’ untuk mengakses informasi tertentu di profil kita. Kalau kita menolak/klik tidak setuju, maka permintaan kita tidak bisa diproses lebih lanjut. Pertanyaannya sekarang, sebandingkah ‘kunci’ akses yang kita berikan dengan kepuasan mendapatkan ‘ramalan’ akan sifat atau teman kita?

Sebuah artikel di BBC (http://www.bbc.com/news/technology-34922029) mengingatkan akan perlunya berhati-hati. Walaupun pada artikel yang membuat tulisan di BBC tersebut dibuat (https://www.comparitech.com/blog/vpn-privacy/that-most-used-words-facebook-quiz-is-a-privacy-nightmare/) sudah disertakan tanggapan dari salah satu perusahaan yang membuat kuis yang dimaksud, bahwa data yang diambil tidak akan disimpan maupun digunakan untuk keperluan lain tanpa izin, tapi pesan-pesan di situ layak diresapi. Saya kutip di sini:

“Perilaku orang-orang terhadap privasi itu tidak tetap. Rumah kita pasangi tirai, tapi memakai fb dan google biasanya tanpa mengubah pengaturan privasi,” kata Dr Stuart Armstrong, peneliti dari Oxford University.

Yah, kalau dipikir-pikir kita mau install aplikasi android pun hampir selalu dimintai persetujuan akses terhadap buku telepon, galeri dsb-nya, ya. Dan karena memang kita sekarang susah jauh dari aplikasi tertentu yang sudah bagaikan bagian hidup sehari-hari, plus kalau dilogika pastinya aplikasi tersebut memang butuh akses untuk bisa menyimpan nomor telepon, mengunggah foto dll, akhirnya kita terima-terima aja.

Oh ya, sebelum lanjut lagi, ‘kuis’ yang dimaksud di sini maksudnya ya seperti disebutkan di awal tulisan. Kalau di majalah dulu biasanya diawali dengan pertanyaan-pertanyaan yang kemudian dihitung skornya dari jawaban, lalu bisa dilihat hasilnya berdasarkan skor tersebut. Bukan kuis berhadiah/kontes/giveaway, walaupun pernah juga saya menemukan ada kuis berhadiah yang mengharuskan peserta ‘memasang’ apps tertentu dalam fb, dengan persetujuan akses profil pula. Kuis berhadiah begini, apalagi jika penyelenggaranya bonafid, lazimnya rajin mencantumkan syarat dan ketentuan di awal (untuk mengurangi risiko efek hukum di kemudian hari), dan yang perlu digarisbawahi, dalam bahasa setempat, jadi lebih mudah dipahami pembacanya.

Trus, memangnya data kita bisa diapain, sih? Kok kayaknya parno banget, gitu. Well, kalau kata comparitech sih, “Companies who you have never met can now access your entire Facebook profile–friends, photos, statuses and all–and use them in ways you never directly agreed to. ”

Worth it nggak, tuh?

(astaga, kenapa saya jadi pakai bahasa campur-campur sih ya di sini ;D).

Menyamarkan Alamat E-Mail

Sekitar dua minggu yang lalu pihak Tabloid Nova menghubungi saya melalui kolom komentar blog, meminta alamat e-mail saya. Tulisan saya dinyatakan sebagai salah satu pemenang blog competition dalam rangka ulang tahun Tabloid Nova yang ke-28. Saya sempat maju-mundur hendak membalas dengan langsung mengetikkan alamat e-mail saya apa adanya di kolom komentar. Soalnya, saya ingat bahwa hal tersebut bisa berisiko alamat e-mail kita jadi ditangkap oleh pihak-pihak yang punya niat tidak baik, lalu digunakan untuk mengirimi kita e-mail sampah atau penipuan.

Salah satu trik yang biasanya dianggap paling praktis dilakukan demi mencegah inbox kita diberondong e-mail gak jelas adalah dengan menyisipkan kata-kata sebagai pengganti tanda baca. Diharapkan web-crawlers (ini terjemahannya yang pas apa sih, hahaha) akan terkelabui dan menganggap kata-kata tersebut bukanlah alamat e-mail yang bisa ‘dipanen’. Namun, apakah sekarang cara tersebut masih efektif?

Pencarian saya membawa ke sini https://www.quora.com/Is-writing-out-the-at-in-email-addresses-effective-to-prevent-spam

That advice was once good, but anti-spam measures have advanced a lot since.

  • we now have massive  public blacklists of known spammer IP addresses to prevent spam being delivered in the first place
  • we have SPF domain name records which allow a website to indicate exactly what servers are allowed to send mail for it, to avoid spoofing
  • mailservers have more memory, and can remember senders that they have seen before recently. If they haven’t seen a sender before, they can “greylist” it by rejecting the connection temporarily. If the sender behaves properly, it should try again in a few minutes and the mailserver will accept the next connection. A spammer sending bulk mail is unlikely to retry sending the message.
  • heuristic spam filtering is much better at filtering spammy messages based on the content and other signals

These days, as long as the mailserver is configured correctly, the impact of spam is a lot lower. You also have to consider that “name at domain dot com” is inconvenient to users who could otherwise click on a mailto link to start a new e-mail without having to type or correct the address in manually. Ultimately, you have to decide if the inconvenience to your users is a bigger pain than receiving spam.

Fortunately, there are some methods that can prevent the stupidest web-crawlers without affecting human users. For example, use HTML entities in the e-mail text or link

    link href: mailto:contact@example.org

    link text: contact@

Kamera Ponsel, si Pencair Kebekuan

Asus Zenfone Laser giveaway

“Mau foto, nggak?”

Sejenak aku tercenung. Bimbang antara menerima tawarannya atau bersikukuh jual mahal. Ah, tapi dia memang tahu saja bagaimana meluluhkan hatiku.

***

Keterampilan fotografiku tergolong payah. Aku tak kunjung menguasai teknik menyajikan gambar dengan indah, bahkan memotret makanan agar ‘instagrammable‘ kekinian pun aku tidak sanggup. Beberapa kali ikut pelatihan jurnalistik yang memuat materi singkat jurnalisme foto hanya sedikit meningkatkan kemampuanku (dan bukan salah pengajarnya).

Dulu seorang teman pernah berkomentar di blog lamaku, bahwa foto-foto yang kupajang di salah satu postinganku, saat itu isinya tentang pasar malam, termasuk kategori foto liputan. Memang, aku suka merekam berbagai peristiwa lewat lensa kamera. Bagiku, foto bisa menjadi kenang-kenangan yang berharga, bukti bahwa aku pernah berada di suatu tempat, alat bantu memantau tumbuh kembang anak, sekaligus sebagai sarana berkabar pada sanak saudara dan kawan yang terpisah jarak.

Aku suka menulis dan mulai ngeblog sejak tahun 2006. Keberadaan foto bisa menjadi ilustrasi tulisan atau blogpost-ku agar lebih sedap dipandang dan lebih ‘valid’. Foto juga bisa membantu mengingat sebuah kejadian, contohnya lewat keterangan tanggal foto tersebut diambil. Bahkan hasil jepretan bermanfaat sebagai sumber informasi, jadi tidak perlu terburu-buru mencatat pemaparan di slide dengan konsentrasi terpecah atau keterangan pada display di museum.

Yah, intinya sih aku bisa dibilang ‘asal’ memotret. Tak peduli komposisi, fokus, pencahayaan, dan seterusnya. Lebih sering ‘hajar’ saja, pokoknya ada yang bisa difoto.

Tentu saja, yang jadi andalanku di banyak kesempatan adalah kamera ponsel. Bukan aku tak punya kamera digital, tapi rasanya kok kurang praktis. Ponsel lebih mudah kuraih sewaktu-waktu, apalagi saat ini ketika ke mana-mana seringkali aku menggendong anak. Kamera biasanya tersembunyi di sudut tas, akibat khawatir hilang.

Hasil foto kamera ponsel juga lebih mudah langsung diunggah ke blog atau media sosial, baik apa adanya maupun diedit (sederhana, sih) terlebih dahulu, tanpa perlu ribet mencari kabel data atau card reader. Hanya saja memang sejauh ini aku harus puas dengan kualitas kamera ponsel yang kurang prima dibandingkan dengan kamera digital. Padahal kamera digitalku juga kamera saku biasa, bukan DSLR.

Keinginanku tak muluk sih sebetulnya, toh kami jarang mencetak foto yang memerlukan resolusi bagus, tapi setidaknya hasil foto yang prima akan lebih ‘bercerita’… dan keunggulan alat mungkin akan membantu menutupi kekuranganku di bidang teknik pengambilan foto.

Berkaitan dengan keinginan menyimpan (dan berbagi :p) foto yang ‘bagusan’ ini, dua bulan terakhir ini aku jadi sering merepotkan suami. Ia baru saja membeli hp baru, yang kameranya menurutku jauh lebih baik ketimbang punyaku. Bagiku juga lebih gampang meminta tolong ia mengulurkan ponsel berkamera miliknya, daripada sibuk merogoh sakuku sendiri (yang seringnya tergencet gendongan anak) guna meraih ponsel.

Tapi kelak kalau sudah punya ponsel yang lebih baik seperti Zenfone 2 Laser ZE550KL yang spesifikasi mumpuninya sempat kubaca, aku akan rela repot sedikit demi hasil foto yang lebih bagus pula. Ponsel keluaran ASUS ini kamera depannya saja sudah 5MP (belakangan –kadang dengan bantuan tongsis– terasa penting karena susah berfoto komplet berempat, hahaha), kamera belakangnya yang 13MP jelas lebih dari cukup untuk keperluanku.

***

“Nih,” suamiku mengulurkan ponselnya.

Aku tak bisa menolak. Seperti kubilang tadi, sepuluh tahun pernikahan telah membuatnya hafal apa saja hal yang bisa melumerkan kekesalanku. Ceritanya, aku memang lagi ngambek pagi itu karena beberapa hal yang sepele sih sebetulnya. Kelelahan badan akibat perjalanan mudik di waktu puasa sambil membawa dua balita (plus sedang PMS) rupanya membuat mood-ku berantakan.

Maka suamiku berinisiatif membawa kami ke landmark kota kelahirannya yang beberapa hari sebelumnya sempat kami bicarakan, pagi-pagi sekali tanpa memberitahukan tujuan sesungguhnya saat berangkat. Kami memang belum pernah ke ‘Keran Raksasa Tergantung’ di gerbang masuk Kota Pati yang dijuluki Hogwarts van Java (aku baru tahu tentang sebutan itu saat googling informasi soal kran raksasa) ini.

Suamiku tahu, tempat unik adalah salah satu objek foto favoritku. Mengajakku ke lokasi yang ‘blogable‘ macam itu dapat menjadi pendongkrak semangatku. Well, si ponsel berkamera sukses bertindak sebagai juru damai. Aku tersenyum sambil meraih hp yang ia berikan. Klik!

image

Giveaway Aku dan Kamera Ponsel by uniekkaswarganti.com

Hari Tanpa Ponsel

Pagi tadi saya mendapati telepon seluler yang biasa saya pakai mati total. Padahal malam sebelumnya ponsel keluaran Korea ini masih bisa saya gunakan dengan baik. Terus terang, reaksi pertama saya adalah panik. Bagaimana tidak, ponsel rasanya sudah menjadi kebutuhan hidup. Komunikasi dengan suami, orangtua, pengasuh anak, rekan-rekan kantor, teman-teman lama, tetangga dijalin lewat situ. Ada ide tulisan, coret-coretnya di notes atau aplikasi Writer. Catat daftar belanjaan juga di notes ponsel. Butuh informasi mengenai sesuatu, tanya sama mbah google pakai ponsel. Mau mengabadikan momen-momen istimewa, lebih sering pakai ponsel yang gampang diambil. Baca ayat suci di perjalanan, biarpun kecil-kecil hurufnya tapi ponsel tampak lebih praktis dibawa ke mana-mana. Saya juga sudah lama tidak memakai jam tangan dan mengandalkan ponsel ketika perlu penunjuk waktu.

Di sisi lain harus diakui juga ponsel punya dampak negatif dalam kehidupan sosial saya. Saya memang jadi ‘gaul’ di dunia maya, ikut grup ini-itu, tak ketinggalan berita terbaru. Tapi saya juga jadi abai dengan sekitar. Karena terbiasa terpaku mengamati layar segiempat mungil itu, saya sering luput memerhatikan apa yang terjadi di sekitar saya. Melewatkan rincian obrolan teman-teman, tak menyimak sepenuhnya ocehan putri saya, tidak melihat peristiwa-peristiwa unik yang bisa jadi bahan tulisan. Bahkan ponsel dengan sukses membuat saya mengacuhkan buku-buku yang sebelumnya setia menemani di waktu-waktu luang. Memang sih, sama-sama baca. Namun, tetap saja beda ya antara baca novel tebal atau buku pengasuhan anak dengan baca berita singkat atau jurnal online (kayak yang sering baca jurnal aja :D).

Yah, ini sepertinya teguran juga buat saya. Tapi saya tetap berharap ponsel yang saya beli Januari lalu (baru setengah tahun, kan… sementara ponsel-ponsel saya sebelumnya baru bermasalah setelah hitungan tahun, dan beli baru karena biaya perbaikannya tidak sebanding) ini dapat segera dipakai lagi. Soalnya ada beberapa transaksi jual-beli yang masih menggantung. Terlalu lama tidak menjawab bisa bikin calon pembeli potensial kabur. Sebaliknya, konon katanya beberapa penjual di internet zaman sekarang galak-galak: telat respon bisa dianggap hit and run. Mending kalau cuma diomeli dalam hati, dikeluhkan di status, atau bahkan dicoret dari daftar pelanggan. Kalau dimasukkan ke daftar hitam di grup-grup penjual online itu gimana, huhuhu…. Semoga nanti sempat untuk meminjam ponsel suami atau buka netbook guna menindaklanjuti pesanan-pesanan tersebut. Tadi kami sudah ke pusat layanan di Roxy dan ponsel saya ternyata harus ditinggal di sana. Karena ternyata ada suku cadang terkait IC power yang perlu diganti, sementara suku cadang dimaksud saat ini sedang tidak tersedia.