“Mau foto, nggak?”
Sejenak aku tercenung. Bimbang antara menerima tawarannya atau bersikukuh jual mahal. Ah, tapi dia memang tahu saja bagaimana meluluhkan hatiku.
***
Keterampilan fotografiku tergolong payah. Aku tak kunjung menguasai teknik menyajikan gambar dengan indah, bahkan memotret makanan agar ‘instagrammable‘ kekinian pun aku tidak sanggup. Beberapa kali ikut pelatihan jurnalistik yang memuat materi singkat jurnalisme foto hanya sedikit meningkatkan kemampuanku (dan bukan salah pengajarnya).
Dulu seorang teman pernah berkomentar di blog lamaku, bahwa foto-foto yang kupajang di salah satu postinganku, saat itu isinya tentang pasar malam, termasuk kategori foto liputan. Memang, aku suka merekam berbagai peristiwa lewat lensa kamera. Bagiku, foto bisa menjadi kenang-kenangan yang berharga, bukti bahwa aku pernah berada di suatu tempat, alat bantu memantau tumbuh kembang anak, sekaligus sebagai sarana berkabar pada sanak saudara dan kawan yang terpisah jarak.
Aku suka menulis dan mulai ngeblog sejak tahun 2006. Keberadaan foto bisa menjadi ilustrasi tulisan atau blogpost-ku agar lebih sedap dipandang dan lebih ‘valid’. Foto juga bisa membantu mengingat sebuah kejadian, contohnya lewat keterangan tanggal foto tersebut diambil. Bahkan hasil jepretan bermanfaat sebagai sumber informasi, jadi tidak perlu terburu-buru mencatat pemaparan di slide dengan konsentrasi terpecah atau keterangan pada display di museum.
Yah, intinya sih aku bisa dibilang ‘asal’ memotret. Tak peduli komposisi, fokus, pencahayaan, dan seterusnya. Lebih sering ‘hajar’ saja, pokoknya ada yang bisa difoto.
Tentu saja, yang jadi andalanku di banyak kesempatan adalah kamera ponsel. Bukan aku tak punya kamera digital, tapi rasanya kok kurang praktis. Ponsel lebih mudah kuraih sewaktu-waktu, apalagi saat ini ketika ke mana-mana seringkali aku menggendong anak. Kamera biasanya tersembunyi di sudut tas, akibat khawatir hilang.
Hasil foto kamera ponsel juga lebih mudah langsung diunggah ke blog atau media sosial, baik apa adanya maupun diedit (sederhana, sih) terlebih dahulu, tanpa perlu ribet mencari kabel data atau card reader. Hanya saja memang sejauh ini aku harus puas dengan kualitas kamera ponsel yang kurang prima dibandingkan dengan kamera digital. Padahal kamera digitalku juga kamera saku biasa, bukan DSLR.
Keinginanku tak muluk sih sebetulnya, toh kami jarang mencetak foto yang memerlukan resolusi bagus, tapi setidaknya hasil foto yang prima akan lebih ‘bercerita’… dan keunggulan alat mungkin akan membantu menutupi kekuranganku di bidang teknik pengambilan foto.
Berkaitan dengan keinginan menyimpan (dan berbagi :p) foto yang ‘bagusan’ ini, dua bulan terakhir ini aku jadi sering merepotkan suami. Ia baru saja membeli hp baru, yang kameranya menurutku jauh lebih baik ketimbang punyaku. Bagiku juga lebih gampang meminta tolong ia mengulurkan ponsel berkamera miliknya, daripada sibuk merogoh sakuku sendiri (yang seringnya tergencet gendongan anak) guna meraih ponsel.
Tapi kelak kalau sudah punya ponsel yang lebih baik seperti Zenfone 2 Laser ZE550KL yang spesifikasi mumpuninya sempat kubaca, aku akan rela repot sedikit demi hasil foto yang lebih bagus pula. Ponsel keluaran ASUS ini kamera depannya saja sudah 5MP (belakangan –kadang dengan bantuan tongsis– terasa penting karena susah berfoto komplet berempat, hahaha), kamera belakangnya yang 13MP jelas lebih dari cukup untuk keperluanku.
***
“Nih,” suamiku mengulurkan ponselnya.
Aku tak bisa menolak. Seperti kubilang tadi, sepuluh tahun pernikahan telah membuatnya hafal apa saja hal yang bisa melumerkan kekesalanku. Ceritanya, aku memang lagi ngambek pagi itu karena beberapa hal yang sepele sih sebetulnya. Kelelahan badan akibat perjalanan mudik di waktu puasa sambil membawa dua balita (plus sedang PMS) rupanya membuat mood-ku berantakan.
Maka suamiku berinisiatif membawa kami ke landmark kota kelahirannya yang beberapa hari sebelumnya sempat kami bicarakan, pagi-pagi sekali tanpa memberitahukan tujuan sesungguhnya saat berangkat. Kami memang belum pernah ke ‘Keran Raksasa Tergantung’ di gerbang masuk Kota Pati yang dijuluki Hogwarts van Java (aku baru tahu tentang sebutan itu saat googling informasi soal kran raksasa) ini.
Suamiku tahu, tempat unik adalah salah satu objek foto favoritku. Mengajakku ke lokasi yang ‘blogable‘ macam itu dapat menjadi pendongkrak semangatku. Well, si ponsel berkamera sukses bertindak sebagai juru damai. Aku tersenyum sambil meraih hp yang ia berikan. Klik!
Giveaway Aku dan Kamera Ponsel by uniekkaswarganti.com