Hari Tanpa Ponsel

Pagi tadi saya mendapati telepon seluler yang biasa saya pakai mati total. Padahal malam sebelumnya ponsel keluaran Korea ini masih bisa saya gunakan dengan baik. Terus terang, reaksi pertama saya adalah panik. Bagaimana tidak, ponsel rasanya sudah menjadi kebutuhan hidup. Komunikasi dengan suami, orangtua, pengasuh anak, rekan-rekan kantor, teman-teman lama, tetangga dijalin lewat situ. Ada ide tulisan, coret-coretnya di notes atau aplikasi Writer. Catat daftar belanjaan juga di notes ponsel. Butuh informasi mengenai sesuatu, tanya sama mbah google pakai ponsel. Mau mengabadikan momen-momen istimewa, lebih sering pakai ponsel yang gampang diambil. Baca ayat suci di perjalanan, biarpun kecil-kecil hurufnya tapi ponsel tampak lebih praktis dibawa ke mana-mana. Saya juga sudah lama tidak memakai jam tangan dan mengandalkan ponsel ketika perlu penunjuk waktu.

Di sisi lain harus diakui juga ponsel punya dampak negatif dalam kehidupan sosial saya. Saya memang jadi ‘gaul’ di dunia maya, ikut grup ini-itu, tak ketinggalan berita terbaru. Tapi saya juga jadi abai dengan sekitar. Karena terbiasa terpaku mengamati layar segiempat mungil itu, saya sering luput memerhatikan apa yang terjadi di sekitar saya. Melewatkan rincian obrolan teman-teman, tak menyimak sepenuhnya ocehan putri saya, tidak melihat peristiwa-peristiwa unik yang bisa jadi bahan tulisan. Bahkan ponsel dengan sukses membuat saya mengacuhkan buku-buku yang sebelumnya setia menemani di waktu-waktu luang. Memang sih, sama-sama baca. Namun, tetap saja beda ya antara baca novel tebal atau buku pengasuhan anak dengan baca berita singkat atau jurnal online (kayak yang sering baca jurnal aja :D).

Yah, ini sepertinya teguran juga buat saya. Tapi saya tetap berharap ponsel yang saya beli Januari lalu (baru setengah tahun, kan… sementara ponsel-ponsel saya sebelumnya baru bermasalah setelah hitungan tahun, dan beli baru karena biaya perbaikannya tidak sebanding) ini dapat segera dipakai lagi. Soalnya ada beberapa transaksi jual-beli yang masih menggantung. Terlalu lama tidak menjawab bisa bikin calon pembeli potensial kabur. Sebaliknya, konon katanya beberapa penjual di internet zaman sekarang galak-galak: telat respon bisa dianggap hit and run. Mending kalau cuma diomeli dalam hati, dikeluhkan di status, atau bahkan dicoret dari daftar pelanggan. Kalau dimasukkan ke daftar hitam di grup-grup penjual online itu gimana, huhuhu…. Semoga nanti sempat untuk meminjam ponsel suami atau buka netbook guna menindaklanjuti pesanan-pesanan tersebut. Tadi kami sudah ke pusat layanan di Roxy dan ponsel saya ternyata harus ditinggal di sana. Karena ternyata ada suku cadang terkait IC power yang perlu diganti, sementara suku cadang dimaksud saat ini sedang tidak tersedia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s