“Bismillah, kita batalin, ya?”
Saya mengangguk, dan suami pun meneruskan proses yang berlangsung di layar ponselnya.
Pandemi Covid-19 membuat kami jadi harus menahan rindu kepada orang tua lebih lama lagi. Tiket mudik Idul Fitri yang pemesanannya perlu perjuangan bergadang beberapa malam pun harus direlakan. Saat itu, kami berharap penundaan hanya sementara. Semoga pada Lebaran Haji kami bisa meluncur ke kampung halaman di Pati dan Sukoharjo. Sayangnya, ini pun belum memungkinkan.
In sya Allah, Idul Adha ini kami akan tetap di Jakarta. Tetap ada yang bakal berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, karena kami kini menempati rumah baru.
Di lingkungan sebelumnya, biasanya ada acara menyembelih kambing di rumah salah satu tetangga. Daging kambingnya selain dibagikan juga dimasak dan dimakan bersama-sama. Kami belum tahu bagaimana kebiasaan warga sini, ditambah lagi situasi sepertinya belum memungkinkan untuk kumpul-kumpul seperti itu. Pastilah banyak perubahan prosedur dalam penyembelihan hewan qurban juga.
Ini bukan pertama kalinya kami menikmati lebaran haji yang berbeda. Sekitar sepuluh tahun yang lalu, kami berkenalan dengan tradisi lain merayakan Idul Qurban, tepatnya di Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung, kota tempat kami ditugaskan sebelum kemudian dipindahkan lagi ke Jakarta.
Kala itu, sejak beberapa hari menjelang Idul Adha ibu-ibu pegawai kantor sudah rajin mengingatkan kami untuk mampir ke rumah mereka.
“Ke rumeh ok bedue, Ibu lah mikin ketupat kek opor,” begitu kata salah satu dari ibu-ibu senior yang merupakan warga asli Bangka. Malah ada yang sekalian menyebutkan kapan kami sebaiknya datang, karena ada jam-jam acara khusus keluarga. Demikian juga teman-teman kuliah, mereka melontarkan tawaran datang ke rumah. Kami pada waktu itu memang melanjutkan kuliah di sebuah sekolah tinggi dekat kantor.
Awalnya sungkan rasanya. Saya dan suami berpikiran seperti kurang alasan untuk ujug-ujug bertamu. Untuk mempererat kekeluargaan dan menghormati pengundang, sih, pastinya kami mau ya datang. Namun, justru embel-embel makanan yang membuat kami galau. Bukan apa-apa, di tempat asal kami makanan besar khas Hari Raya biasanya hanya disuguhkan pada anggota keluarga dekat atau kerabat dari jauh yang bertandang. Itu pun hanya pada saat Idul Fitri.
Ketika Idul Adha, keramaian paling-paling hanya dari kegiatan penyembelihan kurban dan antre pembagian daging setelahnya. Jarang ada acara saling menyambangi, bahkan ke keluarga dekat atau tetangga kanan kiri, pada Idul Adha. Kecuali mungkin kalau ada yang mumpung bisa mudik Idul Adha, lalu sekalian sowan ke tempat sanak famili lain yang berdekatan. Jika pun ada kegiatan membuat masakan ala keluarga, umumnya dilakukan menunggu sampai jatah daging diterima, bukan mengkhususkan masak atau menyiapkan hidangan untuk tamu yang akan datang sejak sebelum hari-H.
Namun, ya sudah, karena banyak yang sudah sampai membuat kami berjanji untuk datang, saya dan suami pun mulai mengatur jadwal silaturahmi, sekadar memastikan tak ada yang terlewat. Barangkali memang begitulah cara penduduk sini menjaga persaudaraan, lewat perayaan-perayaan yang disertai kunjungan dari rumah ke rumah.
Konon, “lebaran orang Bangka” itu ada lebih dari dua. Hari-hari besar Islam lainnya seperti Maulid Nabi pun diperingati dengan meriah, terutama di kampung-kampung. Lengkap dengan open house-nya, di mana tuan rumah akan mempersilakan tamu untuk mencicipi bukan hanya kue-kue melainkan juga ketupat, lontong, atau nasi dengan segala kelengkapannya.
Ada opor, gulai, malbi, lempah kuning daun kedondong, sup, dan lain-lain. Sebagian menyediakan juga pempek dan tekwan yang menjadi kuliner khas Sumatra bagian selatan, spesial buatan sendiri para nyonya rumah. Seperti tampak pada foto, ini adalah suguhan di sebuah rumah di Desa Mendo Barat pada hari Maulid Nabi tahun 2007. Waktu itu kami diajak teman pergi ke rumah perangkat desa setempat yang merupakan relasinya. Untuk sajian Idul Adha, kami tidak punya dokumentasinya karena sungkan pada pemilik rumah.
Kalau sudah tiba hari besar keagamaan begini, jalan-jalan pun sampai macet karena banyak warga yang pergi berkeliling dengan kendaraan masing-masing. Agar lebih mudah mencari alamat yang dituju, juga supaya tuan rumah tidak harus berkali-kali menerima tamu silih berganti, kami berdua bergabung dengan rombongan teman-teman sekantor yang perantau juga dan umumnya seumuran. Jadi, sama-sama memposisikan diri sebagai “anak”, sementara bapak-bapak dan ibu-ibu pegawai ibarat jadi orang tua yang mengayomi kami, yang sedang berada beratus kilometer jauhnya dari orang tua.
“Ambik bai, dak sah ka malu-malu. Lebaran Bangka begini lah, dak same ok kek di Jawe.” Melihat kami masih sungkan, dengan semangat ibu-ibu empunya rumah mempersilakan kami makan.
Sungguh merupakan hal yang sangat baru bagi kami sewaktu akhirnya kami bisa mengunjungi hingga sepuluh keluarga dalam sehari Idul Adha. Kenyang, pastinya. Bahkan ada yang berbaik hati membungkuskan makanan untuk kami bawa pulang, khususnya sewaktu kami mengaku (dan memang sejujurnya) kapasitas perut sudah tidak muat lagi. Adanya tambahan hidangan khas tanah kelahiran atau kota penugasan yang pernah ditinggali oleh masing-masing tuan rumah, dari Sumatra Utara sampai Maluku, juga menambah wawasan akan kekayaan kuliner di Indonesia ini.
Kadang kami agak kewalahan juga menyimak obrolan kalau sudah ada yang berbicara dengan bahasa asli setempat yang mirip bahasa Melayu dan Betawi, tetapi toh kendala ini tidak mengurangi kehangatan silaturahmi. Anggap saja sekalian ajang belajar keterampilan bahasa di luar bahasa ibu kami. Itulah romantika menjelajah di tanah rantau, berkenalan dengan kebiasaan baru dan menikmati keragaman budaya nusantara.
Artikel ini diikutsertakan dalam minggu tema komunitas Indonesian Content Creator
Menunya lengkap sekali ya mbak. Nasi, lontong, ketupat, kalo saya sih suka semua, hihi..
Sama kayak di Lombok, hari-hari besar Islam juga diperingati cukup meriah, termasuk Maulid Nabi, acaranya udah kayak hajatan gitu deh, hehe..
Meriah ya idul adha di Bangka, melihat sajiannya kayak tak kalah ramai dari lebaran idul fitri. Huhu jadi pengen makan ketupat😅
Wah maulid Nabi pun ada open housenya.
Berasa pengen ke Bangka ikut perayaan di sana. Pasti lebih meriah yaaa.
belum apa apa saya udah ngiler duluan ngebayangin sajian istimewa khas idul adha yang teteh jambangi, haduuhh jadi pengen lebaran idul adha nanti juga masak opor sama ketupat. teteh beruntung deh bisa menjelajah nusantara, bisa tau kebudayaan dan adat istiadat sampai makanana. bisa bikin kita lebih open sama banyak hal yang berbeda. saya juga ingin keliling indonesia jadinya, hehehehe
pengalaman lebaran di Bangka tentu jadi pengalaman tak terlupakan ya, apalagi masyarakatnya ramah dan hidangannya lengkap sekali
Jadi ga sabar menanti idul adha. Kangen sama masakan dan suasananya. Apalagi di pulau rantau ya mba. Jadi bisa ngerasain suasana dan hal-hal baru di daerah itu saat hari raya. Pasti selalu ada perbedaan.
Seruuuuu kak 🤩 perayaan di kota kecil memang lebih meriah ya daripada di kota besar, lebih berasa kekeluargaannya..belum lg makanannya 🤩
Aku dua kali lebaran ini nggak makan opor ayam, padahal pingin banget. Pinginnya tuh lbih ke, kangen masakan ibu juga. Tapi harus menahan rindu karena belum bisa pulang kampung. hikss.. semoga segera berlalu yaa pandemi ini
Di tangerang pun cukup ramai idul adha ini. Bisa ngumpul bareng keluarga bercengkrama sambil bakar-baksr sate. Seru ya alhamdulillah
kebayang ya mba rindu sekali sama kumpul sama keluarga saat lebaran idul fitri maupun idul adha
Wah aku jadi kangen deh lebaran Idul Adha bersama keluarga, tahun ini memang jadi beda banget untuk kita semua. Biasanya aku pun bersama keluarga besar merayakan di rumah mamahku, semua saudara datang kesana tapi sekarang kita hanya lewat online saja.
Maulid Nabi ada open housenya juga ya mba. jadi pengen ke Bangka 🙂
Aku juga kangen sama keluarga di Banyuwangi nih kak, udah setahun lebih gak pulang. Semoga tahun depan keadaan semakin membaik dan bisa mudik pas hari raya. Aamiin aamiin
Selamat menempati rumah baru. Biarpun sekarang ini sulit ya lebaran gak bisa kumpul keluarga besar, tapi tetap harus disyukuri dengan sepenuh hati karena masih bisa berlebaran.
Waah capeknya kyak gmna itu mba sehari bisa berkunjung ke 10 keluarga, tpi dgn berkumpul dgn sodara pasti terobati lgsg lelahnya yaa
Idul Adha ditempatku masih belum bisa rame-rame. Padahal biasanya suka bakar sate di malam nya. Jadi kangen deh.