Awal bulan Agustus selalu membawa kenangan tersendiri bagi keluarga kami. Apalagi tahun ini tepat satu dasawarsa sejak peristiwa tersebut berlalu.
Tahun 2010, sekitar empat tahun setelah menikah, untuk pertama kalinya saya mendapati dua garis merah pada alat uji kehamilan mandiri yang saya beli. Campur aduk rasanya, senang sekaligus deg-degan. Berhubung sudah menunggu lama, kami pun berupaya menjaga kehamilan ini sebaik-baiknya. Namun, Allah SWT punya rencana lain saat kandungan saya menginjak usia 9 pekan.

Gambar: 123rf
Malam pada bulan Agustus itu saya sedang membereskan rumah sambil menunggu kepulangan suami dari penugasannya ke Jakarta. Tiba-tiba saya merasakan sakit perut yang amat sangat. Nyerinya melebihi nyeri haid yang biasa saya alami.
Esok paginya, karena rasa sakit makin intens, kami segera meluncur ke dokter kandungan. Ternyata janin di rahim saya tidak berkembang. Saya pun harus menjalani prosedur kuretase setelah menunggu perkembangan sampai sore yang ternyata justru semakin memburuk. Pembahasan lebih teknis mengenai sebab-sebab keguguran dan penanganannya pernah saya tulis di sini.
Salah satu hal yang saya syukuri adalah suami sudah kembali ke Pangkalpinang saat itu. Tidak terbayang kalau saya harus menghadapi semuanya sendiri, misalnya dalam kondisi pandemi seperti saat ini ketika di sejumlah tempat masih diterapkan pembatasan penerbangan dan juga keharusan menjalani rapid test bagi yang ingin bepergian.
Memulihkan Badan, Mengobati Hati
Sakit di rahim, sakit pula di dalam hati. Begitulah saya menyebut pengalaman tersebut dalam beberapa tulisan mengenainya yang sempat saya susun. Setidaknya meski proses melahirkan itu adakalanya menyakitkan, pulangnya kita bisa membawa serta buah hati yang telah dinanti-nanti.
Ya, bukan hanya tubuh ibu yang perlu waktu untuk pemulihan pascakeguguran, baik melalui proses kuret maupun tidak. Psikis ibu juga. Bisa jadi, ada perasaan bersalah yang muncul, disertai dengan segala andai-andai. Saya sendiri contohnya, waktu itu terpikir, mungkin kalau kehamilan tersebut kami sadari sejak awal, tentu saya tidak akan menerima tawaran ditugaskan untuk mengurus pemberkasan ke kantor pusat di Jakarta.
Beberapa ibu lain mungkin punya trauma yang lebih mendalam sehubungan dengan kondisi ini. Ada yang memilih untuk memendam luka itu sendiri, sebagian menyalurkan kegundahan lewat karya.
Tahun lalu saya baru menyadari bahwa salah satu lagu lama Tori Amos yang sempat menjadi favorit saya semasa SMP, Spark, ternyata bercerita tentang kepedihan saat harus merelakan janin dalam kandungan. Yah, maklum, dulu saya menikmati musik dan cara bernyanyinya saja yang tergolong unik, tidak sampai mencari tahu makna di balik lagunya.
She’s convinced she could hold back a glacier
But she could’nt keep baby alive
Doubting if there’s a woman in there somewhere, here, here, here
Perasaan bersalah maupun tak berdaya karena gagal mencegah kejadian kehilangan orang yang disayangi (bahkan meski baru berwujud janin) sebagaimana diungkapkan oleh perempuan kelahiran tahun 1963 ini dalam lirik lagunya memang menjadi salah satu hal yang umum ditemui pada ibu yang baru keguguran.
Dalam sebuah wawancara dengan majalah Deluxe tahun 1998, Tori Amos menjelaskan bahwa ia sempat marah kepada Tuhan. Apalagi lalu ia menyaksikan seorang ibu memukul anaknya di sebuah pusat perbelanjaan. Ini tidak adil, pikirnya.
You say you don’t want it, again and again, but you don’t, don’t really mean it
“Sekali kamu pernah merasakan adanya kehidupan dalam dirimu, kamu tidak bisa kembali lagi menjadi perempuan yang seperti sebelumnya. Ada perasaan bahwa ada yang meregang nyawa dalam tubuhmu, dan kamu malah tetap masih hidup,” demikian lebih kurang diceritakan oleh pemilik nama asli Myra Ellen Amos ini pada majalah Q.
Menghibur diri sebagaimana kutipan lirik di atas lazim dilakukan oleh sejumlah orang tua, terutama istri atau pihak perempuan. Bahkan saya pernah mendengar ada yang mengatakan bahwa, “Yah, mungkin kalau lahir nanti jadi anak nakal atau bagaimana, sehingga Allah memang menakdirkan cukup sampai sini saja.” Terkesan berpikir positif dan menerima suratan nasib, tetapi sesungguhnya dalam hati masih ada ganjalan, alias don’t really mean it.
Menghadapi Kehilangan
Saya kutip dari Babycenter, berikut adalah beberapa hal yang bisa dilakukan oleh ibu yang mengalami keguguran.
Pahami bahwa kejadian tersebut bukanlah salah kita. Keguguran maupun komplikasi kehamilan dapat terjadi pada siapa saja. Komunikasikan apa yang terjadi dan pengaruhnya terhadap diri kita secara terbuka dan jujur dengan pasangan. Terima perasaan yang muncul dan jangan menghakimi.
Berikan waktu untuk memulihkan diri. Jangan memaksakan diri untuk segera melewati fase kesedihan. Rasa sedih itu pun bisa jadi akan muncul lagi kemudian, misalnya sekitar hari perkiraan lahir andai saja kehamilan berjalan lancar.
Ambil cuti jika bekerja. Bahkan meski rasanya badan sudah enakan, rehat sejenak akan bermanfaat. Saya pun sempat mengalami pendarahan lagi setelah sebelumnya sudah merasa kuat, pada hari pertama ke kantor gara-gara naik tangga. Kadang, orang-orang kantor juga ada yang kepo akan apa yang terjadi (sebagian mungkin dengan niatan mencegah hal serupa terjadi pada dirinya), dan menceritakan peristiwa sedih berulang kali tidaklah semudah itu.
Jangan berharap suami berduka dengan cara yang sama. Kalau suami kita tidak terlihat “sesedih diri kita”, sadarilah bahwa setiap orang memang punya cara sendiri dalam mengadapi kehilangan. Apalagi lelaki yang memang takaran logika dan emosinya berbeda, ditambah lagi pemahaman akan apa yang terjadi mungkin tidak sebanyak ibu hamil yang umumnya rajin membaca-baca seputar kesehatan kandungan.
Laki-laki terkadang juga merasa bahwa dia harus lebih kuat untuk bisa melindungi istrinya, oleh karena itu memilih untuk tidak menampakkan kesedihan. Jadi, jangan keburu menganggap bahwa suami tidak peduli akan berpulangnya calon anak kita, atau sebaliknya menyalahkan diri kita kenapa kok tidak bisa setegar suami.
Jangan menutup diri sepenuhnya dari dunia luar. Seperti yang sudah disebutkan pada poin soal kembali bekerja, menceritakan ulang kejadian yang tidak mengenakkan memang berpotensi membuka luka kembali. Namun, bercerita juga dapat menjadi sarana penyembuhan.
Bisa jadi kolega atau teman kita ternyata pernah punya cerita duka yang serupa meski tak sama. Tanpa bermaksud “senang melihat orang lain susah”, berbagi kisah yang punya kemiripan bisa membantu agar kita tidak merasa sendiri. Waktu itu, saya baru tahu bahwa setidaknya tiga senior sekantor ternyata pernah pula mengalami keguguran, bahkan ada yang sudah mengalami sebanyak tiga kali.
Adapun jika ada yang mengatakan hal-hal yang kurang nyaman didengar, kita juga harus paham bahwa tidak semua orang tahu bagaimana rasanya. Jadi, memang mungkin sekali teman kita mengungkapkan perhatian dalam bentuk saran-saran yang kesannya tidak pas, saking bingungnya harus mengungkapkan turut berbela sungkawa dengan cara apa.
Demikian pula kalau sampai ada yang bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Dulu saya sempat baper karena atasan-atasan saya bahkan tidak menyebut apa-apa ketika saya kembali masuk, padahal seluruh atasan suami berkenan menyempatkan diri menjenguk ke rumah. Sekarang saya sadar, memilih kata-kata yang tepat memang tricky, apalagi bagi bapak-bapak. Makanya beliau-beliau memilih untuk tidak mengungkit kedukaan saya sama sekali dan menunjukkan perhatian dalam bentuk lain.
Keikhlasan memang penting, bukan hanya dalam merelakan calon amanah kita yang dijemput kembali ke sisi-Nya. Rasa ikhlas pun diperlukan dalam menerima keadaan, termasuk saat tanggapan dan dukungan orang lain barangkali tidak sesuai dengan ekspektasi kita.
Artikel ini diikutsertakan dalam minggu tema komunitas Indonesian Content Creator
Like this:
Like Loading...
Related
Memang berat jika harus kehilangan apa yang kita nanti pun sayangi. Namun, kita harus belajar menerimanya dan hidup.
Insyaallah jadi tabungan pahala untuk mba dan suami ya.. betapa berat ujian itu. Membayangkannya aja aku beneran ga kuat sedihnya.
Sabar dan ikhlas Insyaallah jadi kekuatan kita besar kita ya.
Insyaallah jadi tabungan pahala untuk mba dan suami ya.. betapa berat ujian itu. Membayangkannya aja aku beneran ga kuat sedihnya.
Alfatiha.. semoga selalu diberi sabar dan tabah untuk mbak Leila dan keluarga ya. Sehat selalu buat kita semua, aamiin..
Bener banget, “jangan menutup diri dari luar” inilah yang bikin kita ngga kunjung move on dan sembuh yaa. Kata orang sih time will heal everything, tinggal kitanya harus mengikhlaskan karena ngga ada lagi yang bisa dilakukan selain ikhlas.
Ikut sedih baca kak meski ovi belum pernah ngalamin tapi sama-sama perempuan, hatinya pastilah sama ya. Semoga Allah segerakan memberi mahluk pelengkap keluarga kecil kakak ya. Aamin
Ya ampun Mbak Laila, saya jadi keinget temen jg yg mengalami hal kayak gitu.
InsyaAllah sudah ada makhluk mungil yang jadi tabungan di akhirat nanti. Kehilangan hal seperti di awal pernikahan pasti berat banget yaa. Apalagi lingkungan yang belum support penuh. Perlu ikhlas dan sedikit lebih cuek pada omongan orang. Emang nggak perlu menutup diri terlalu lama, tapi menjadi pribadi yang terlalu peduli pada omongan jg malah membuat kita sakit hati.
Semoga sehat selalu Mbak Laila sekeluarga.
So sorry to hear mba…Aku ikut sedih juga…dulu sempat nyaris divonis BO alhamdulillah ternyata nggak. Itu aja sedihnya udah bangeut bangeut. Take care ya mba
Turut berduka kak. Tapi jangan sedih ya kak, insyaAllah menjadi malaikat kecil penolong kita nanti di akhirat.
Memang berat ya, ujian hidup tiap orang juga beda2. Tapi ya kita harus percaya kalau Allah hanya akan ngasih kita ujian sesuai kemampuan kita š
dear kak leila,
turut sedih dan ikut merasa kehilangan mba leila. iām so sorry to hear that, thougt it was the past. But it will makes you stronger than ever.
sakit anak ā anak aja udah bikin saya senewen dan mikir yang gak-gak, apalagi benerbener kehilangan, i cant imagine that. you are strong and brave mother. insyaallah ketemu dengan almarhum di surgaNYA Allah nanti ya.
peluuk virtula
salam hangat,
eka artjoka
Walaupun telat tau, tapi Ikut berduka cita ya mom… semoga Allah mempertemukan kembali dengan buah hati pertama di surga-Nya.
Sending virtual hug š¤
Ya Allah turut berduka Mbak Leila. Banyak sekali yang saya bisa pelajari dari tulisan Mbak. BMulai dair bagaimana menghadapi kondisi psikis diri sendiri, memahami karakter suami, hingga memaklumi apa yang terjadi di sekitar.
Kalimat āmenceritakan peristiwa sedih berulang kali tidaklah semudah ituā membuat saya sadar, jika saya di posisi orang lain. Dan mengangguk jika saya di posisi yang ditanya orang.
Semoga Mbak dan suami kembali segera mendapat momongan. InsyaaAllah yakin sama Allah akan diberi waktu yang tepat. Melewati ujian ini juga menjadikan Mbak dan suami sudah naik lagi satu tingkat InsyaaAllaha akan dibalas yang lebih baik. Meski saya pribadi tidak tahu jika saya berada di posisi Mbak, tapi menurut saya Mbak sangat kuat dan sabar.
So sorry to hear mbaā¦Aku ikut sedih juga⦠semoga jd tabungan kita di akhirat ya š
Turut berduka mbak⦠Semoga kehilangannya tidak menjadi trauma ya mbak. Masya Allah betapa kuat mbak dan suami š
Turut berduka ya Mba. Aku juga pernah baca di Baby Center, bahwa yang paling penting Ibu harus paham bahwa hal tersebut bukanlah kesalahan dia dan di luar kuasanya, sehingga tidak terus menerus menyalahkan diri.
Peluuuk mbak Leila. Aku turut berduka ya mbak. Semoga rasa ikhlas dan bersabar digantikan dengan hal yang lebih indah di kemudian hari.
Virtual hug untuk mbak Leila, insya allah ikhlas ya mbak dan diberikan kesabaran.
Mba Leila terimakasih ya untuk ceritanya, ya Allah semoga mba selalu diberikan kesabaran dan kebahagiaan selalu. Anak adalah titipan ya mba, tapi kalau Allah memang belum berkehendak kita ikuti alurnya. Aku juga dah 3 tahun menantikan buah hati mba. Semangat untuk kita
Thanks artikelnya.. qadarullah saya habis keguguran sekitar 3minggu lalu, alhamdulillah nemu artikel ini hehe..
Semoga lekas pulih kembali, ya Mbak, dan tetap diberi kekuatan serta kesabaran š
Aamiin, makasih ya mbaaak š