Beberapa waktu yang lalu saya sudah memposting materi pertama dalam Kelas Matrikulasi Ibu Profesional Batch 2, yaitu yang berjudul Adab Menuntut Ilmu. Satu hal yang belum dibahas secara khusus pada materi tersebut, juga sewaktu sesi diskusi, adalah adab membawa anak ketika ibunya sedang menuntut ilmu.
Ini pertanyaan yang menarik dan relevan dikaitkan dengan kondisi sekarangs. Semakin banyak kegiatan pengajian/seminar/workshop/kelas edukasi dibuka untuk para ibu dengan berbagai tema yang bermanfaat, tetapi bagaimana dengan anak-anak ibu tersebut? Banyak topik acara yang justru cenderung menyasar ibu atau orangtua muda yang biasanya masih punya anak balita, seperti kesehatan keluarga, menyusui, memasak bekal yang sehat, make up praktis, dan pola pengasuhan (parenting).
Ada pula penyelenggara acara yang tegas menyebutkan bahwa peserta tidak diperbolehkan mengajak anak. Wajar, karena anak dengan segala aktivitasnya berpotensi membuyarkan konsentrasi. Peserta lain kan juga berhak mengikuti acara dengan tenang. Saya yakin maksudnya bukan hendak tak ramah anak, tetapi kan memang harus ada yang diprioritaskan.
Nah, kalau ada yang menjaga anak-anak di rumah sementara orangtuanya ikut kegiatan sih tak masalah, misalnya ada anggota keluarga lain yang diajak serta khusus untuk menemani dan tidak masuk ruangan acara jika ada tempatnya, atau memanfaatkan jasa profesional seperti pengasuh atau daycare. Namun, opsi ini tidak selalu tersedia. Sebagian ibu juga beralasan kasihan kalau kehilangan waktu kebersamaan dengan anak, khususnya yang masih ASI, walaupun ada yang memungkinkan dititipi.
Saya sendiri memang akhirnya sering mengajak anak-anak (sekarang 5 dan 2 tahun) ke tempat saya belajar (seminar dll). Biasanya sih suami yang mendorong saya berbuat demikian, karena kasihan hari kerja sudah ditinggal terus, masak libur-libur masih harus berjauhan. Jadinya memang saya tidak selalu bisa fokus pada materi. Kadang saya dan suami sama-sama membayar tiket tetapi kami bergantian menjaga anak di luar. Nggak mau dong ya, jadi mengganggu peserta lain yang ingin serius menyimak.
Alternatif lain, kami mengajak pengasuh anak. Syukur-syukur kalau panitia menyediakan kids corner yang biasanya dilengkapi aneka mainan atau aktivitas bahkan dengan pendamping anak sekalian, jadi anak tidak bosan dan bisa beraktivitas leluasa dalam pengawasan.
Adakalanya walaupun sudah ditemani suami atau pengasuh, anak-anak tetap mencari saya dan ya sudah, saya mengalah keluar ruangan. Dua-tiga kali, saya sendiri atau bersama suami bisa berangkat dengan meninggalkan anak-anak di rumah.
Suatu hari, sebuah postingan di facebook menyentakkan saya. Isinya demikian (sengaja saya copas agar lebih mudah dalam pencarian nantinya, adapun tangkapan layar dan tautan aslinya akan saya sertakan kemudian):
Bismillah…..
Apakah kalian kala kerja, meeting atau kala bertemu orang penting akan bawa anak-anak kalian yang masih kecil ke tempat penting itu? Pasti jawabannya tidak, bukan? Nanti mengganggu kerja atau mengganggu orang lain.
Lalu kenapa kala ada majelis ilmu, kajian ilmiah di mana di sana banyak malaikat, antum bawa anak-anak kalian?
Yang pasti ya namanya anak-anak gak mau diam, gak mau tenang sehingga mengganggu orang lain yang juga sedang menyimak kajian.
Apa ini gak disebut dengan mendzolimi orang lain?
Ini majelis ilmu. Ini majelis Allah yang Allah mengutus langsung malaikat-malaikat-Nya untuk hadir di majelis itu. Malaikat mengepakkan sayap dari ufuk barat sampai timur di majlis ilmu.
Ini taman surga Allah. Ingat, ini majelis ilmu bukan majelis ngobrol. Pulang dari majelis ilmu bukan ilmu yang kita dapat. Tetap…harusnya menjaga ketenangan.
Luruskan kembali niat kalian datang ke kajian.
Apa mau menuntut ilmu?
Apa mau kopdaran?
Apa mau reunian?
Atau menjadikan majelis ilmu ini ajang playgroup?
(ringkasan kajian Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, ditulis oleh seorang ummahat (akun an. Andriani) yang menghadiri bedah buku ‘Adab dan Akhlaq Penuntut Ilmu’ tulisan beliau di Masjid Mujahidin Surabaya, 3 April 2016).
Fokusnya tidak hanya ke keberadaan anak-anak sih ya, juga menyentil orangtuanya yang tidak kalah heboh mengobrol antarsesamanya, dan kurang bisa mengkondisikan anak-anaknya. Konteksnya juga lebih ke arah majelis ilmu agama, walaupun mungkin bisa diterapkan juga ke acara lain yang sebetulnya memerlukan ketenangan.
Kemudian ternyata ada peserta kelas matrikulasi juga di grup lain yang bertanya terkait hal serupa, dan sudah dijawab langsung oleh ibu Septi.
ADAB MEMBAWA ANAK KE MAJELIS ILMU
Kelas matrikulasi Institut Ibu Profesional batch #2 sedang berjalan, dan pekan ini sedang membahas tentang adab menuntut ilmu. Ada satu pertanyaan menarik, yang saya pikir menjadi kegalauan banyak ibu. Kebetulan saya diberi amanah mengampu kelas koordinator kota dan pengurus rumah belajar.
Tanya:
Bu Septi, kalau kita menuntut ilmu dengan membawa anak itu bagaimana? Karena tidak ada yang dititipi. Memang hasilnya tidak maksimal… tapi daripada tidak sama sekali. Makasih.Jawab:
➡ Seorang ibu yang semangat menuntut ilmu tentu saja segala rintangan akan dihadapinya untuk mendapatkan ilmu tersebut. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana kalau kita memiliki anak kecil-kecil, yang tidak bisa ditinggal. Mari kita pelajari adabnya:1⃣ Tanyakan ke penyelenggara apakah kelas ini mengizinkan anak-anak masuk di ruangan atau tidak?
DON’T ASSUME
misal:
“Ah, pasti boleh, ini kan komunitas Ibu-ibu/keluarga dan pasti punya anak kecil, jelas boleh lah.”ini ASSUME namanya.
harus di-CLARIFY (klarifikasi) di awal. Tidak semua guru ridha kelasnya ada anak-anak dengan berbagai alasan kuat masing-masing.
2⃣ Apabila tidak diizinkan anak-anak di dalam kelas, maka kita tidak boleh memaksakan diri. Memilih alternatif untuk tidak berangkat, kalau memang tidak ada kids corner atau saudara yang dititipi.
3⃣ Apabila diizinkan, maka kita harus tahu diri. Tidak melepas anak begitu saja, berharap ada orang lain yang mengawasi, sedangkan kita fokus belajar. Ini namanya EGOIS. Dampingi anak kita terus menerus. Apabila Anda merasa sikap dan suara anak-anak mengganggu kelas, maka harus cepat tanggap untuk menggendongnya keluar dari kelas dan minta maaf.
Meskipun tidak ada yang menegur, kita harus tahu diri, bahwa orang lain pasti akan merasa sangat terganggu. Jangan diam di tempat, hanya semata-mata kita tidak ingin ketinggalan sebuah ilmu.
KEMULIAAN ANAK KITA DI MATA ORANG LAIN, JAUH LEBIH TINGGI DIBANDINGKAN ILMU YANG KITA DAPATKAN.
Maka jaga kemuliaannya, dengan tidak sering-sering membawa ke forum orang dewasa yang perlu waktu lama. Karena sejatinya secara fitrah rentang konsentrasi anak hanya 1 menit x umurnya.
Untuk itu andaikata kita punya anak usia 5 tahun, menghadiri majelis ilmu yang perlu waktu 30 menit, maka siapkan 6 amunisi permainan atau aktivitas yang harus dikerjakan anak-anak. Kalau ternyata anak cepat bosan dari rentang konsentrasinya, segera undur diri dan fokus ke anak kita.✅
Semoga manfaat.
#adabmenuntutilmu
#matrikulasiIIP
#kemuliaananak
✒Septi Peni Wulandani
Inilah yang sering saya praktikkan juga, membawa mainan dan kertas, alat tulis, dan pensil warna saat mengajak anak mengikuti acara, baik tersedia kids corner maupun tidak. Tuh fotonya, anak-anak dengan santai menggambar di bagian belakang ruangan penyelenggaraan seminar menyusui yang saya ikuti.
Ponsel dengan koleksi video dan permainan sepertinya memang lebih praktis, tapi takut aja malah jadi kebiasaan memakai gadget tanpa pendampingan (selain itu, biasanya memang saya pakai juga sih hp-nya untuk mencatat materi :D). Memang sih, tidak mungkin juga ya dua jam mereka betah hanya mewarnai semata. Setidaknya, ada kesibukan lah.
Namun, ini juga sebetulnya belum pas, ya. Kesentil ketika baca tulisan Abah Ihsan:
Saat Anda melakukan kegiatan pengajian di masjid sebaiknya tidak membawa anak ke masjid. Bagaimana pun pengajian orang dewasa bukanlah pengajian anak. Ada banyak kegiatan orang dewasa yang bukan kepentingan anak, tapi anak dibuat “menunggui” kegiatan orang dewasa. Sesekali mengajak anak ke kegiatan pengajian agar anak dapat “chemistry” kegiatan majelis ilmu, boleh-boleh saja. Tapi sesekali lho ya. Itu pun dengan beberapa pengondisian.
Mengapa tidak dianjurkan? Bayangkan Anda jadi anak. Anak harus bengong nunggu orangtua “ngaji” selama beberapa jam. Membawa anak berlama-lama mengikuti orang dewasa yang bukan kepentingan anak dapat memberikan peluang bagi anak untuk tidak nyaman dan akhirnya membuat anak bosan, rewel, ribut, bermain-main saat orang dewasa melakukannya kegiatannya. Akhirnya orangtua dan orang dewasa lainnya berpeluang “mendzalimi” anak tak sengaja ketika meminta anak yang tidak bisa tenang ini untuk diam.
Padahal anak normalnya makhluk bergerak, tidak diam, aktif. Memang berapa jam sih anak mampu konsentrasi dengan sebuah kegiatan? Apakah anak tahan mewarnai selama 2 jam pengajian? Padahal anak-anak di bawah 7 tahun rentang pemusatan perhatiannya tidak lama. Umumnya anak-anak 3 tahun, dapat mempertahankan fokus dengan dengan 1 kegiatan hanya 3 menit, 4 tahun selama 4 menit, 5 tahun selama 5 menit dan seterusnya.
Ada sebagian orangtua yang proaktif tetap membawa anak ke tempat pengajian dan mengantisipasinya dengan menyibukkan anak-anak dengan mewarnai. Apakah anak akan tahan beraktivitas mewarnai selama 2-3 jam?
Yang lebih parah, ada orangtua yang tengah mencari “ridho Allah” ini, anaknya malah justru dihadiah “gadget, tab atau ipad” agar tenang. Kita tahu dampak gadget dan alat-alat itu untuk tumbuh kembang lebih banyak keburukannya dibandingkan kebaikannya. Saya tidak akan bahas di sini karena sering dibahas di kajian-kajian saya secara panjang lebar.
Atau orangtua ada pula yang saat pengajian ke masjid kemudian membiarkan anak bermain di luar ruangan masjid bersama teman-temannya. Ini juga diperbolehkan, tetapi tetap harus ada pengawasan demi “safety”. Nah jika orangtua yang lagi ngaji ini juga harus mengawasi, akhirnya informasi yang di dapat pengajian pun bisa sepotong-sepotong.
Kan lebih baik dapat meski sedikit daripada tidak sama sekali? Ya belum tentu baik. Tak jarang informasi yang berbahaya justru adalah informasi yang diterima sepotong-sepotong.
Saya menyarankan, sebaik-baiknya, jika ada melakukan kegiatan untuk kepentingan Anda, seperti pengajian dan lain-lain dan bukan kepentingan anak, tinggalkan anak Anda dengan pasangan atau orang dewasa lain yang mengawasinya. Jika Anda seorang ibu, maka menjadi positif jika momen ini dimanfaatkan untuk mendekatkan anak pada sang ayah tanpa pendampingan Ibu. Biarkan ayah berinteraksi dengan anak, bermain di taman, melakukan aktivitas bersama di rumah dll.
Tulisan Abah Ihsan terkait hal ini selengkapnya bisa dibaca di postingan ini: Masjid Ramah Anak atau Ramah Ibadah? atau aslinya di https://www.facebook.com/abahihsanofficial/posts/262866214051031
Pingback: Kids Corner di Double Tree by Hilton | Leila's Blog
Pingback: Tantangan Level 12 Kelas Bunda Sayang IIP Hari ke-10 | Leila's Blog
Pingback: Masjid Ramah Anak atau Ramah Ibadah? | Leila's Blog