Sekitar tahun lalu, seorang teman kantor saya bilang bahwa yang sedang tren adalah jilbab monokrom. Saat itu saya jadi penasaran, maksudnya seperti apa, sih? Maklum lagi riweuh sama kerjaan sampai nggak sempat shopping *soksibuk. Belakangan setelah mengecek beberapa toko online khususnya di Instagram, terbukti motif yang menggunakan dua warna ini, biasanya warna gelap dan putih, berseliweran di sana-sini. Muncul di gamis, blus, kerudung, syal, kulot, rok, celana, cardigan, tas, sepatu, sprei, sarung bantal…. Awalnya kalau tidak salah booming-nya busana monokromatik ini memang dalam bentuk jilbab dulu, mungkin sekalian semacam tes pasar sebab motifnya yang cenderung tegas dan terkadang besar-besar belum tentu disukai jika muncul dalam bentuk baju berbahan banyak seperti gamis.
Seorang teman lain pernah bertanya, “Kalau hijab monokrom gitu panas nggak sih ya? Kan kayaknya bahannya kaku…”
Jilbab/hijab atau lebih seringnya berbentuk ‘pashmina’ (kapan-kapan akan saya bahas juga soal ini) monokrom yang wira-wiri di IG rata-rata berbahan katun yang agak kaku, trennya waktu itu sepertinya sengaja dipilih bahan sedemikian agar bisa dibentuk lancip di depan dahi, jadi tidak menempel luwes mengikuti bentuk wajah pemakai. Tren yang entah kebetulan bersamaan atau saling mempengaruhi ini rupanya bikin rancu. Monokrom jadi dikira nama jenis bahan/kain, alih-alih nama pola motif dengan kombinasi warna tertentu. Tapi menerangkan monokrom sebagai pola/motif pun tidak terlalu mudah.
Pengertian monokrom menurut KBBI: monokrom/mo·no·krom/n lukisan atau reproduksi berwarna tunggal.
Kalau kata Wikipedia:
Monochrome[1] describes paintings, drawings, design, or photographs in one color or values of one color.[2] A monochromatic object or image reflects colors in shades of limited colors or hues. Images using only shades of grey (with or without black or white) are called grayscale or black-and-white. However, scientifically speaking, monochromatic light refers to visible light of a narrow band of wavelengths (see spectral color).
Mono maksudnya satu dan chroma artinya warna (bahasa Yunani). Jadi, sebetulnya monochrome berarti melibatkan satu warna atau suatu warna dengan warna turunannya mungkin, ya. Dicontohkan pula bahwa hasil kamera night vision dengan gradasi warna hijau adalah salah satu bentuk citra dengan warna monokrom. Kalau di fotografi memang cenderungnya ke hitam putih sih, lalu kalau pakai kode biner 1 dan 0..
Yang terjadi sekarang, monokrom identik dengan motif yang terdiri dari paduan antara warna putih dan warna gelap, lebih khususnya lagi hitam. Motif paduan antara warna putih dengan coklat tua dan biru gelap biasanya juga disebut monokrom oleh pedagang barang fashion, sedangkan paduan putih dengan hijau botol, ungu manggis, atau merah marun misalnya, sependek pengetahuan saya jarang dipajang dengan embel-embel monokrom meski ada. Apalagi jika warna putih disandingkan dengan warna yang lebih muda seperti pink, biru pastel, atau kuning lembut. Atau kombinasi pink-merah, kuning-oranye, biru langit-biru benhur, meski warna-warna tersebut masih satu keluarga (mohon koreksi jika saya salah, belum sampai mempelajari mengenai panjang pendek gekombang warna 🙂 ). Sekali lagi, ada, tapi tidak terlalu banyak.
Bukan hanya perkara pilihan warna yang mengalami penyempitan warna, pola motif yang digunakan pun jadi punya batasan sendiri. Jika suatu busana dibilang monokrom, pola motifnya pada umumnya menggunakan garis-garis geometris tegas. Kotak, garis lurus, segitiga, segilima, segienam, bintang, zig zag, monogram, dan seterusnya. Motif bintik-bintik alias polkadot, hati, apalagi bunga, paisley, dan batik tidak banyak ditampilkan sebagai wakil busana ala monokrom walaupun hanya menggunakan warna hitam dan putih. Analisis sotoy saya sih, mungkin karena motif-motif tersebut sudah punya penggemarnya sendiri, ya, jadi tidak perlu diangkat lagi dengan ‘label’ monokrom nan trendi. Eh, tapi motif tartan dan garis sebetulnya kan cukup klasik dan banyak yang suka juga, ya? *mikir
Perhatikan kedua foto di bawah ini, foto yang atas cenderung lebih mewakili apa yang disebut sebagai ‘monokrom’ dalam definisi fesyen mutakhir dibandingkan dengan foto yang bawah, kan? Bukan? Hihihi, mohon maaf, namanya juga analisis seadanya.
Iya, saya pada akhirnya terjerumus juga mengoleksi beberapa busana dan pelengkapnya dengan ‘motif monokrom’ ini. Itu buktinya di atas (sebagian dapat dari kado atau sudah dimiliki sejak lama, sih). Konon, salah satu risiko punya baju macam ini adalah…pusing waktu menyetrika :D. Habis, motifnya memang menghadirkan ilusi optik yang riskan bikin keliyengan. Lawan bicara yang memandang saja rawan ‘terhipnotis’, lebih-lebih yang harus melototin biar bajunya licin. Mending pilih bahan yang antilecek saja mungkin ya, apalagi motif yang ramai dan warna gelap monokrom umumnya sukses menyembunyikan kekusutan kok. Cuci kering pakai, bebas gosok, hemat listrik dan tenaga *eh.
Salah satu di antara motif-motif yang populer untuk pola monokrom adalah kotak-kotak. Ternyata setiap jenis motif kotak ini punya namanya sendiri. Apa bedanya tartan (ini yang paling familiar bahkan nyaris jadi kata generik untuk menyebut kotak-kotak di sini, ya), gingham, plaid, checkered (yang bagi saya intinya sih semua itu kotak-kotak gitu lah ya), lalu bagaimana pula kok sebuah motif yang masih nyerempet kotak-kotak itu bisa sampai dinamakan houndstooth alias gigi anjing? Dulu saya belajar dari majalah Femina…dan sudah lupa lagi :D. Kalau mau tahu juga, selengkapnya dapat dibaca di link-link di bawah ini: