Hari ini Perpustakaan Kementerian Keuangan mengundang mas Iwan Setyawan, penulis buku 9 Summers 10 Autumns yang sudah difilmkan dan pendiri lembaga Provetic, dengan tema Jurus Jitu Eksis di Media Sosial. Berhubung tanggal 17 Mei adalah juga Hari Buku Nasional, mas Iwan mengawali uraiannya dengan menyebutkan bahwa anak muda yang keren sekarang sejatinya adalah anak muda yang berani duduk di kafe sendiri sambil membaca buku seperti buku Pramudya Ananta Toer, bukan yang keluar masuk mall. Di sini, budaya itu masih belum berjalan.
Media sosial secara teknologi digital amat membantu, kita bisa tahu perkembangan terkini di belahan dunia lain saat ini juga. Sehingga lifestyle orang meski terpisah jarak cenderung hampir sama, dengan media sosial saat ini kelas C, D, E bisa tahu tren dan kabar terbaru apa yang sedang terjadi di kota metropolitan, di mana saja dan kapan saja. Ini bisa juga mendorong gaya hidup baru seperti menghitung kalori dengan bantuan teknologi. Di sisi lain, media sosial menampilkan yang indah-indah saja, everyone looks perfect in socmed, bisa bikin kita merasa harus mencapai hal serupa padahal belum tentu sesuai dan mampu. Belum lagi kalau waktu kita terlalu banyak dihabiskan untuk kepo sana-sini yang tidak bermakna.
“Kita kini makin banyak menghabiskan waktu untuk sibuk melihat hidup orang lain, sedangkan hidup kita sendiri terancam terabaikan. Iseng baca komen, bisa jadi malah kebawa emosi seharian yang merusak indahnya hari itu bahkan mengganggu pekerjaan. Lihat judul provokatif saja langsung panas. Lalu terpancing ikut berkomentar dengan hati panas. Ini bahaya. Ada baiknya satu dua hari menjauhkan diri dari gadget,” jelas mas Iwan. Kita ini depending on our mood, kan, ujarnya mengingatkan. Saran mas Iwan, belajarlah menahan, nggak semua harus diekspresikan, jangan jadi orang yang reaktif. Dipikir dulu, dimasukkan dalam hati dulu. Ditambah lagi, orang mudah mencaci di medsos karena tidak tahu emosi yang terlibat seperti apa. Status atau postingan kita bisa membuat kita mendapatkan labelling. Rekam jejak digital kita akan selalu ada, termasuk yang sudah dihapus bisa dipulihkan lagi, jadi sekali lagi pikirkan matang-matang.
Pengaruh kurang baik lainnya, anak muda kini jika tidak dibatasi memang bisa ‘mengerikan’ sekali, karena segalanya bisa diakses di internet. Ini masih ditambah lagi dengan karakter mereka yang bisa dengan mudah jumping around dari satu topik ke topik lain alias tidak harus menyimak sesuatu secara runut layaknya generasi sebelumnya. Sisi bagusnya sih mereka ini multitasking memang, tetapi keterampilan literasi mereka bisa jadi terpengaruh. Attention span orang dulu 12 detik, sekarang cuma 7 detik, jadi anak muda sekarang sulit fokus. Membaca atau lebih tepatnya budaya baca yang baik bisa menjadi salah satu solusi, karena membaca itu membuka keinginan untuk maju, sekaligus meningkatkan kapasitas intelektual jika membaca buku-buku literatur, bukan hanya lintasan postingan di medsos yang cenderung singkat dan banyak pengalih perhatian. Ada baiknya di masyarakat dibuat gerakan untuk membuka hati, membuat membaca menjadi sesuatu yang umum dan menyenangkan, dengan cara yang fun juga (mas Iwan mencontohkan gerakan viral dengan tagar tertentu yang membuat kaum muda beramai-ramai posting foto sedang membaca sambil terlihat keren), bukan sekadar lewat ceramah-ceramah yang monoton dan seremonial.
Baca literatur, baca buku, bisa menjadi jalan menjernihkan dan memperluas pikiran. Orang sekarang termasuk di negara maju jadi lebih shallow. Kekuatan digital makin besar, apalagi generasi sekarang dari lahir sudah melek digital. Dulu orang bikin survei dengan cara isi kuesioner (paper and pen), kemudian lewat komputer, berikutnya sudah berbentuk online survey yang secara otomatis sudah menjalankan tugasnya bahkan tanpa kita sadari. Ya, apa yang kita posting, apa yang kita pernah lihat, yang pernah orang cari bisa dipakai untuk mengarahkan kita. Pernah kan sedang baca artikel bertema tertentu lalu tiba-tiba muncul iklan produk yang ada hubungannya (yang bukan merupakan bagian dari konten utama)? Ada pula yang namanya efek bubble filter karena ada motivated reasoning, orang cenderung hanya mencari berita yang dianggap mendukung atau memberi pembenaran untuk pemikirannya, lalu mem-block atau meng-unfollow orang yang tidak sepandangan. Akibatnya terjadilah bubble filter di mana seseorang hanya melihat atau berinteraksi dengan yang pro dengan pendapatnya.
Orang masa kini juga makin sulit menentukan pilihan saking banyaknya pilihan yang tersedia di media maupun pasaran. Bagaimana kita bisa mencerdaskan diri kita untuk memilih, itu dia tantangannya. Medsos pun membuat kita cenderung lebih konsumtif. Jadi kita harus bisa mengendalikan diri, harus pintar, jangan sampai terjerumus ikut arus. Kita ini sesungguhnya sedang dikomersialisasi oleh industri, semacam dijerumuskan dengan segala kemudahan termasuk kemudahan belanja. Orang Indonesia masih kagetan dengan lompatan teknologi ini. Inilah yang membuat mas Iwan jarang menerima endorse barang, karena kalau sudah endorse harusnya ya memang pakai barang dan percaya akan barang tersebut, kalau setengah-setengah nanti kan rawan ikut menjerumuskan orang lain.
Mas Iwan sebetulnya dulu tidak suka membaca, baru di masa kuliah di AS ia berubah. Perubahan ini diawali dengan ajakan temannya, Roby Muhamad ke Virgin Union Square. Di sana, mas Iwan cari CD sedangkan temannya cari buku. Temannya mendorong untuk membaca sebuah buku, tadinya mas Iwan menolak karena merasa orang yang baca novel are stupid people, ngapain orang baca sesuatu yang dikarang-karang? Tapi mas Roby terus mendesak, dan malam itu mas Iwan menamatkan The Catcher in the Rye karya JD Salinger yang selamanya mengubah pandangannya terhadap buku, ibaratnya direvolusi untuk membaca. Ia merasa related dengan tokoh Holden di situ. Dari situ mulai membaca buku-buku lain seperti tulisan Dostoyevsky.
Mas Iwan kemudian berkeinginan menuliskan sejarah keluarga yang diawali dengan kegemasan pada generasi muda kerabatnya yang abai akan sejarah perjuangan generasi sebelumnya. Kemudian jadilah buku. Sebetulnya mas Iwan malah sedang berencana ambil kelas untuk jadi guru yoga di India, tetapi kemudian buku yang ditulisnya ternyata lumayan laris di pasaran. Lalu ketika mas Iwan iseng cek twitter (yang awalnya tidak aktif dipakai walaupun punya akunnya) banyak yang mengucapkan terima kasih, dibalas dst, hingga buku dicetak ulang sampai 16 kali. Dari situ mas Iwan merasakan the power of social media, lalu lebih aktif menggunakan akun medsosnya, dan jadi ingin meriset bagaimana media sosial bekerja (latar belakang pendidikannya memang dari statistik, dan sempat bekerja di perusahaan besar internasional pengolah data untuk survei). Ini seperti mundur ke zaman dulu, katanya, terjadi pergeseran cara promosi. Dari awalnya orang tahu suatu mengenai suatu produk lewat words of mouth, lalu muncul promosi di media massa yang cenderung searah dan seragam, kini di medsos penjual bisa kirim message yang sesuai dengan audiens masing-masing. Medsos memungkinkan untuk berinteraksi langsung dengan luwes dengan orang banyak, merancang promosi yang menarik dst. Pemikiran bahkan bisa diciptakan dan digerakkan dari media sosial, jadi banyak dipakai untuk memengaruhi opini. Makanya laku sekali pemakaian medsos di masa pemilu/pilkada untuk kepentingan politik.
Dalam buku 9 Summers 10 Autumns, mas Iwan menceritakan kembali hal-hal yang pernah ia lewati. Menuliskan kisah pribadi dalam buku artinya ada risiko cerita hidup kita diketahui banyak orang, kemudian apa ya bakal laku? Pemikiran tersebut sempat disampaikan oleh mas Iwan pada ibunya, lalu ibunya menjawab, “Orang mau baca mau kagak, hidup kita begini-begini aja. Tapi siapa tahu di luar sana ada satu dua anak supir angkot yang baca juga dan jadi tercerahkan.” Dan ini sungguh-sungguh terjadi ketika ada seorang mahasiswa UI mengirimkan e-mail, menyatakan rasa terima kasih atas inspirasi mas Iwan sehingga satu lagi anak supir angkot yaitu dirinya sendiri bisa berangkat menuntut ilmu ke Amerika.
Menulis juga punya manfaat psikologis, terang mas Iwan. “Ketika beban hidup sudah terlalu berat, rasanya entah mau dibawa ke mana, menulis itu such a release dan berefek healing. Healing dengan pesta-pesta efeknya artifisial dan sementara, sedangkan healing dengan menulis dampak positifnya akan lebih panjang, bahkan bisa jadi menginspirasi orang lain. Biarlah mungkin ada yang menertawakan postingan nan mellow, kan orang lain tidak tahu hidup kita yang sebenarnya.” Tambahnya, menampilkan segala yang terlalu manis malah akan terlihat palsu. Keluarkan saja apa yang membuat kita bahagia. Jangan sampai medsos merusak dignity hidup kita.
Kembali ke topik sesuai tema acara, mas Iwan menyebutkan tips. “Mau terkenal di media sosial? Simpel. Just be stupid, atau lebih jauh lagi go physical. Tapi ini kan merendahkan harga diri ya, tidak elegan. Gunakanlah cara yang positif,” tegas mas Iwan.
Prinsipnya, eksis boleh, tapi itu ada konsekuensinya yaitu orang jadi tahu hidup kita dan kita jadi susah punya privasi. Kecuali kalau tujuan utamanya memang mau dikomersialkan, ada sesuatu yang dijual dari keterbukaan kita. Jadi kalau ditanya tentang trik agar eksis di medsos maka kembalikan ke tujuannya, untuk apa? Sebetulnya lebih bagus living in the moment, nikmati kegiatan yang sedang dilakukan, kalaupun mau posting di medsos lebih untuk tujuan capturing the moment, jadi semacam menyusun album hidup. Ada juga orang-orang yang butuh medsos untuk keep in touch, bikin komunitas, lahan jualan, atau sarana untuk networking. Medsos juga membantu para pemilik kepribadian introvert untuk mengekspresikan diri mereka. Pada umumnya, orang extrovert dianggap lebih stand out dan berkemampuan karena memang lebih luwes menunjukkan apa yang dia bisa. Dengan medsos, orang yang introvert mendapatkan rumah atau tempat untuk mengekspresikan diri. Contohnya mas Iwan sendiri yang aslinya tidak terlalu suka medsos dan cenderung introvert, tetapi medsos membantunya berekspresi.
Memang media sosial membuat banyak hal jadi ‘terbuka’. Dari postingan di medsos, kita bisa menilai karakter orang, misalnya yang posting foto hitam putih biasanya pribadi yang solitary. Dari tata bahasanya ketahuan apakah orang ini punya manner atau tidak, ketika bertindak selaku buzzer dari hati atau tidak, dst. Orang-orang terkenal biasanya punya strategi tersendiri, termasuk dari sudut pandang pengambilan gambar, gaya komunikasi di medsos, hampir nggak mungkin posting sedang galau tengah malam. Kalau tujuan kita memang untuk seseruan saja, tidak ada pakem yang wajib diikuti memang, tapi jika ingin maju, harus pertimbangkan matang-matang apa yang ingin diposting. Misalnya pertimbangkan dari sisi architype kita. Gunakan fitur analytics, misalnya kapan waktunya viewer paling ramai, tipe-tipe karakter subscriber, lokasi pembaca dll, gunakan untuk menyesuaikan konten.
Di balik ketenaran para blogger dan vlogger yang memukau, perjuangannya luar biasa, lho. Mereka punya totalitas dari awal, termasuk pemilihan alat, pendekatan ke pihak yang tepat. Mengutip ucapan ibu mas Iwan, kebahagiaan akan terasa lebih manis jika dicapai dengan berdarah-darah. Kalau mau eksis, ya bikin ritual. Siapkan content management, misalnya tiap Senin tentang apa, apakah perlu ada admin khusus untuk menanggapi komentar, dst.
Sekarang orang kalau jual sesuatu akan bawa story-nya, misalnya ini resep nenek moyang, warisan, dibawa dari daerah tertentu, dst, jadi bukan jual ingredients. Kalau dibandingkan dengan produk sejenis biasanya satu sama lain pun bisa jadi sesungguhnya mirip-mirip, tapi harus ada yang membuat tampil beda. Ini bisa diterapkan juga di media sosial. Bangun karakter kita, apakah memang representasi dari kehidupan nyata atau ada yang mau ditampilkan. Tidak bisa misalnya hanya sekadar tampilkan produk jualan kita. Jadi idealnya suatu postingan bisa menggerakkan hati maupun pikiran viewer. Dari my story jadi the story of us. Setelahnya baru bangun personality khas yang diinginkan di medsos, apakah mau soft, lucu, serius, bijak, atau apa. Kalau hanya average, nggak akan ke mana-mana. Antar-postingan juga perlu konsisten karakternya. Karakter kita bisa saja dikeluarkan dalam bentuk posting random, atau posting teratur seperti tiga-tiga, terserah, yang penting karakternya kelihatan.
Bagaimana agar medsos kita ‘ramai’? Tujuan interaksi di medsos adalah untuk listening, dua arah, bukan hanya kita yang lempar informasi. Interaksi yang meaningful dan edukatif kebih oke. Jadi dari listening itu kita bisa dapat feedback, dan feedback seburuk apa pun bisa menjadi inspirasi kok. Butuh hati yang lapang memang untuk mendengar komentar di medsos, karena pendapat orang berbeda-beda, kan. Untuk memancing interaksi, ada juga yang namanya social media activation, misalnya dengan menyelenggarakan kuis atau lomba di medsos kita. Kuis yang unik lebih menarik, makin konyol malah bakal ramai biasanya. Syarat kuis yang terlalu panjang berderet malah bikin orang cenderung malas ikutan.
Branding diri di medsos harus menunjukkan juga sisi manusiawi yang menarik dan tidak garing, misalnya dengan memperlihatkan aktivitas pribadi seperti saat sedang melakukan hobi, sehingga tidak selalu memuat laporan acara tertentu (ini malah jadinya membosankan). Viewer perlu relate, melihat bahwa tokoh ini juga membumi dan real, just a human being, mendekati banyak orang tanpa harus pencitraan, sehingga tercipta attachment, dan lebih jauh tokoh dimaksud syukur-syukur bisa menjadi inspirasi. Di sisi lain sosmed itu has to be natural, kalau dipaksa ya nggak enak. Seorang tokoh yang menginspirasi tapi postingannya masih kaku, sayang sebetulnya. Kontennya bisa dibuat lebih kreatif, penyampaian informasi harus indah. Tapi jangan sampai jadi hanya kosmetik saja, misalnya revitalisasi pasar, pembangunan infrastruktur tetap harus betul-betul jalan dengan baik, bukan cuma indah di postingan. Salah satu strategi brilian di mata mas Iwan adalah langkah para pejabat negara merangkul vlogger untuk mengabarkan tugas atau kegiatan yang sedang dijalani, dengan kemasan yang kreatif. Gebrakan ini membuat informasi yang disajikan jadi lebih seru untuk disimak, karena orang sekarang juga lebih visual jadi desain atau foto yang bagus akan sangat menolong.
Kemudian ada peserta yang menanyakan pemanfaatan teknologi untuk membaca secara digital. Era sekarang, orang beralih dari buku fisik ke buku digital. Ada toko buku yang tutup, ada media cetak yang berhenti terbit. Transisinya luar biasa. Tapi aroma buku cetak, menurut mas Iwan tidak terkalahkan. Di sisi lain, buku versi digital membantu untuk daerah terpencil yang akses untuk buku fisiknya sulit, misalnya akibat jarak perpustakaan yang jauh. Maka di Indonesia sebetulnya tergusurnya buku cetak oleh buku digital belum menjadi isu, karena membaca itu sendiri saja belum menjadi sesuatu yang menyenangkan buat semua orang.
Menjelang akhir acara hari ini, Mas Iwan menyajikan rangkaian kalimat penutup yang mengena, “Hidup ini sudah susah, kebahagiaan bukan untuk dikejar tapi jalani saja kehidupan, nanti tiba-tiba ketemu kebahagiaan ya syukur.” Lebih jauh lagi, lewat eksis di medsos, empati tentang kehidupan bisa tumbuh. Mas Iwan memandang bahwa lewat medsos kita jadi bisa tahu ada kehidupan orang yang seperti ini dan itu (bukan berarti harus mengejar semua yang tampak indah ya), berikutnya muncul empati, dan pada akhirnya empati tersebut akan membuat kita lebih bersyukur akan kehidupan kita sendiri.
mbak.. panjang-nyaaaaa 😀
😀 😀 iya nih Cha, mas Iwan-nya memang ngobrolin banyak hal soalnya selama acara itu. Lebih enak dibaca mungkin kalau dipecah ya jadi dua tulisan atau lebih.