Judulnya panjang amat, sih? Hehehe, ceritanya postingan ini kelanjutan dari postingan terdahulu tentang nilai TOEFL. Jadi ceritanya awal tahun ini (lama banget baru sempat pegang komputer buat nulis ini) saya berkesempatan mencicipi tes IELTS. Gratis, karena sebetulnya merupakan rangkaian tes beasiswa AAS. Ini pertama kalinya saya ikut tes IETS, jadi saya mencari gambaran dulu tesnya seperti apa. Minimal biar tahu bentuk-bentuknya, karena sebelumnya pengetahuan saya tentang IELTS sangat minim. Buku latihan IETS yang saya beli tipis saja dan memang hanya sempat dibaca sekilas, tetapi cukup membantu.
Oke… jadi IELTS ini ada tes speaking (harinya waktu itu dipisah), listening, reading, dan writing. Waduh, speaking saya kan lumayan… lumayan ancur maksudnya. Lebih karena tidak terbiasa sih sebetulnya. Kemudian writing, nah ini dia, tulisan bahasa Inggris saya masih cenderung berupa terjemahan dari bahasa Indonesia, kaku dan seringkali tidak taat struktur. Tapi saya memang tak menarget dapat nilai sekian. Maka saya juga belajar sekadarnya, cukup tahu kira-kira apa sih yang diharapkan dari tes ini, perintah apa yang biasanya muncul, pembobotan nilainya bagaimana, dan waktu yang tersedia. Tapi saya tak sampai mencoba mengerjakan latihan soal lalu mengkalkulasi perkiraan nilainya.
Tes speaking dengan native speaker saya lalui dengan terbata-bata, dan seperti sudah saya duga saya ditegur tentang volume suara :-D. Untuk tiga tes lainnya yang dilaksanakan berturutan, seperti biasa saya panik di beberapa bagian listening, lalu kesulitan pula mencari padanan kata yang variatif agar esai saya tak monoton.
Beberapa hari kemudian, hasil IELTS keluar. Nilai speaking dan writing saya pas-pasan, tapi nilai rata-rata dari keempat band tersebut masih 7. Lengkapnya saya memperoleh skor 8,5 untuk reading, 7,5 untuk listening, 6,5 untuk speaking, dan 6 untuk writing. Alhamdulillah — walaupun tidak ngaruh juga ke penerimaan beasiswanya karena saya tidak lulus wawancara (JST interview).
Jadi sekali lagi, semoga menjadi motivasi bagi rekan-rekan yang lain juga, tidak wajib kok ikutan kursus ini-itu demi meraih skor impian nan tinggi. Jika ada fasilitas dan dananya (plus waktu, mengingat kantor di kota besar –di mana banyak tersedia lembaga kursus– biasanya punya load kesibukan yang jauh lebih tinggi atau singkatnya sering lembur atau dinas ke kota lain, mau kursus kadang sayang bayarnya karena rawan sering bolos), tentu bagus sekali dimanfaatkan secara optimal. Biar lebih fokus dan terarah belajarnya, kan.
Namun, kalau kebetulan tidak ada (seperti cerita beberapa teman yang sedang penempatan di daerah), masih banyak jalan kok. Memang kalau untuk tes resminya tetap harus usaha lebih ya (ke kota yang ada penyelenggaranya dan seringkali menunggu kuota penuh pula, menabung untuk biaya tes dan akomodasi, dll), tapi untuk persiapan dan membekali diri, ada cara-cara lain yang bisa ditempuh. Ikut kursus online, membeli buku atau mengunduh kumpulan soal-soal latihan misalnya. Atau seperti saya sebutkan di tulisan terdahulu, gunakan setiap kesempatan untuk belajar. Saya tak mengkhususkan diri belajar bahasa Inggris, tapi membaca artikel-artikel kesehatan keluarga, tips menata rumah, aneka permainan anak, dan sejenisnya dalam bahasa Inggris ternyata bisa juga menambah perbendaharaan kata dan membiasakan mengenali struktur yang ‘aneh’, hasilnya nilai reading saya bisa mendekati skor maksimal.
selamat 😀
Pingback: AcEPT, Tes Bahasa Inggris Khusus UGM | Leila's Blog
Pingback: English iS FuN | Hikmah Surah