Tergerak Berburu Salak

dscn1532Beberapa bulan yang lalu, kantor suami kedatangan tamu delegasi dari Kamboja. Beres urusan pekerjaan, ternyata anggota delegasi masih punya keinginan tambahan: berburu beberapa barang khas Indonesia untuk dibawa pulang. Salah satunya yang lumayan bikin takjub adalah balsem dengan merek tertentu yang di sana konon laris manis bahkan sampai ada KW-nya. Padahal harga di sana jelas lebih mahal.

Selain itu, buah salak pun menjadi incaran mereka. Salak Indonesia, tepatnya salak pondoh, amat digemari. Katanya sih, di sana salak yang banyak dijual (dari negara lain) ukurannya kecil-kecil dan tidak manis. Tak tanggung-tanggung, begitu dapat toko yang menyediakan dalam jumlah banyak, mereka memborong hingga puluhan kilo. Barangkali untuk oleh-oleh keluarga dan teman di sana, ya.

img-20160825-wa0041.jpgPenasaran, saya pun mencoba googling soal kesukaan masyarakat Kamboja terhadap salak. Ternyata benar, menurut berita di situs Kementerian Luar Negeri (yang sayangnya saat ini tautan beritanya tidak bisa diakses sehingga saya hapus) bahkan salak pondoh menjadi primadona saat KBRI sana mengikuti ASEAN Cuisine Festival di Phnom Penh. Balai Karantina Pertanian Kelas II Yogyakarta juga jelas menyebutkan bahwa Kamboja merupakan salah satu negara tujuan ekspor (di samping Tiongkok dan Australia) salak pondoh asli Sleman dan salak nglumut asal Magelang.

Pencarian berlanjut, saya menemukan beberapa blog orang luar Asia yang sempat berada di Kamboja atau Indonesia dan mencicipi salak. Menarik membaca reaksi mereka terhadap buah yang juga disebut dengan snake fruit, punya nama latin Salacca zalacca, dan dalam bahasa Khmer disebut lakam/la kham ini. Ada yang menyebutnya sebagai ‘Indonesia’s frightening fruit‘, ada pula yang bilang ‘delicious taste, terrifying nightmare‘.  Bentuk luarnya memang rada serem, sih, ya, hahaha, nampak macam ular mungkin sesuai dengan nama yang disematkan.

Ada juga yang bilang kapok mencoba sebab rasanya aneh dan tidak enak di perut, tetapi jika menilik dari foto yang dipajang ya pantas saja, yang ia makan itu salak yang sudah mendekati busuk. Menanggapi yang ini, beberapa komentator khususnya dari Indonesia dengan semangat mengajak sang penulis menikmati salak dalam kondisi terbaiknya, bukan yang sudah terlalu matang seperti itu.

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s