
Bulan ini, mumpung ada waktu, saya kembali mengikuti kegiatan #TUMNgopiCantik. Masih mengambil tempat di fx Sudirman, pada tanggal 4 Maret ini yang diundang adalah kang Adhitya Mulya, penulis yang juga suami dari founder The Urban Mama teh Ninit Yunita. Sebelumnya saya juga sudah pernah mengikuti acara The Urban Mama di mana kang Adhit didaulat mengisi, tapi kali itu yang disajikan lebih spesifik ke helicopter parenting.
Penting, ya, mengelola bagaimana kita memuji anak? Penting lho ternyata, karena jika salah memuji maka risikonya bisa macam-macam, yaitu:
1. Anak jadi takut mencoba, karena khawatir gagal padahal sebelumnya sudah dipuji dan berpuas diri.
2. Anak jadi cepat frustrasi menghadapi kegagalan, ini masih berhubungan dengan no. 1.
3. Anak merasa tidak berharga dan tidak dicintai bila tidak dipuji.
Mindset anak jadi dipuji = dicintai, tidak terpuji = tidak berharga. Anak jadi haus pujian dari orang luar karena itu menjadi satu-satunya validasi dari keberadaan mereka. “Are you proud of me?”. Anak jadi tidak terlatih untuk belajar menghargai dirinya dan proses yang dirinya harus/sedang/telah ia lakukan. Sementara lingkungan sekitar anak, apalagi seiring dengan bertambahnya usia, tidak akan selalu ramah dan bebas kritikan. Ibarat air zam zam yang bisa kembali terisi sendiri, seyogyanya anak tidak menunggu kebutuhan terhadap pengakuan akan kemampuan dirinya diisi oleh orang lain.

Jadi, apa yang harus orangtua lakukan?
Ajari anak untuk menghargai proses. Misalnya dengan mengatakan “Nggak belajar aja dapet 8, apalagi kalau belajar…”
Cepat atau lambat, dia akan sadar bahwa akan selalu ada perkara yang lebih berat. Jika kita puji suratannya, dia akan sadar bahwa akan selalu ada orang yang lebih superior dari dirinya. Jika kita puji usahanya, dia tumbuh dengan mengetahui bahwa perkara apa pun dapat dikerjakan jika rajin belajar.
Kang Adhit lalu mengutip kata-kata Malcolm Gladwell: the 10,000 hours rule. Jadi ingat deh sama materi Mendidik Anak dengan Kekuatan Fitrah dari Institut Ibu Profesional yang juga menyebutkan hal yang sama. Dikatakan oleh Gladwell dalam bukunya yang berjudul Outliers, seseorang dapat mencapai world-class mastery jika dia berlatih lebih kurang 10.000 jam dalam hidupnya. Berlatih tiap hari bisa 5 jam. Jadi memang latihan atau usaha itu sangat penting. Iringi dengan doa juga pastinya.
Lantas, apa tidak boleh memuji anak? Boleh, tapi ada caranya. Triknya adalah mengemas pujian kita sebagai orangtua dengan tepat, misalnya dengan sedikit mengubah kalimat. Daripada bilang “Kamu pinter, ya…”, lebih baik katakan, “Wah, kamu nggak belajar aja dapat 8 ya, gimana kalau kamu belajar?” atau “Kamu bisa, asal kamu tidak menyerah untuk berusaha.”

Sebaiknya kita dorong anak untuk berusaha sebagai upaya agar ia mampu menghargai diri sendiri, bukan hanya menunggu pengakuan orang lain. Jadi jangan biarkan anak mengusahakan sesuatu hanya untuk membanggakan kita sebagai orangtua, akan lebih baik jika dia proud of himself, sehingga ia tidak mengejar pengakuan orang lain.
Sebaliknya, dalam rangka menjaga ego anak juga kita perlu memilah kata dalam mengkritik, misalnya “This is ok, you can do better, let’s practice more.” kalau gambarnya menurut kita masih belum bagus. Sesuaikan ekspektasi kita, contohnya kalau lego kan terbatas, wajar kalau anak mengkreasikan sesuatu tidak terlalu mirip dengan bentuk aslinya, beda dengan gambar. Kalau mau membandingkan kemampuan anak dengan anak lain, bandingkan dengan populasi (biasanya anak punya gengsi di situ), bingkai dengan positif. Jangan bandingkan dengan individu lain atau tunjuk anak lain misalnya temannya, “Lihat tuh si itu bisa….”.