Apakah kau masih di sana, Sayang? Aku tahu, kala itu kau masih terlampau mungil untuk memberikan tanggapan. Ruhmu bahkan belum lagi ditiupkan. Anggota tubuhmu barangkali juga belumlah lengkap diciptakan. Tak sempat kami ketahui apakah jantungmu sudah sempat menunjukkan denyut kehidupan. Tapi, tak salah kan, jika dalam menanti kehadiranmu kami mulai menyusun aneka persiapan? Merangkaikan sederet nama indah untuk kelak disematkan, membeli seperangkat baju untuk dipakaikan, memesan kain gendongan, mencermati cara pemberian ASI agar hakmu tertunaikan, menumpuk buku-buku cerita berhikmah untuk nantinya dibacakan, meminta doa keselamatan dari mereka yang berkenan khususnya yang dituakan, mengoleksi alat-alat edukatif berupa mainan, mendatangi ahlinya untuk mendapatkan saran kesehatan, menyusun jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kritismu yang kira-kira bakal dilontarkan, sambil menunggu engkau benar-benar datang. Tak kami hiraukan mitos yang menyebutnya sebagai pantangan. Sebab kami ingin segalanya dalam keadaan baik tatkala kau dihadirkan.
Apakah kau masih di sana, Sayang? Agustus itu, tujuh tahun silam, begitu muram oleh hujan seharian. Waktu yang kita habiskan bersama untuk berjuang sejak kontraksi hebat itu menyapa sudah mendekati 24 jam, dan pada penghujung hari kita pasrahkan keadaan. Tirai malam yang ditutupkan seolah sekaligus menjadi ucapan salam perpisahan. Entah di hati atau di rahimku ngilu itu lebih kuat kurasakan. Sakitnya cuma mampu tersamarkan oleh ayat-ayat-Nya yang ayahmu lantunkan. Di meja operasi, hanya asma Allah yang sanggup kusebut di sela jerit tertahan, melawan pengaruh bius yang tak sepenuhnya mempan. Ada sesuatu yang hilang, lenyap di tengah deraan rasa sakit dan tangisan. Lantas ketika semuanya usai, rasanya bak disentakkan. Tak sanggup kusebut sanubari atau badan ini yang lebih hampa dan kosong akibat ditinggalkan oleh serpihan kenangan. Karena kau sempat mengisi tubuhku dengan kehangatan, memenuhi pikiranku dan ayahmu dengan keceriaan, juga menghiasi tiap doa yang terpanjatkan pagi siang dan malam.
Apakah kau masih di sana, Sayang? Tak kuasa kusaksikan ayahmu mengubur sebentuk calon jasadmu di halaman depan rumah kontrakan. Meski pastinya sangat berterima kasih, separuh jiwaku kebas menerima aliran salam dan ucapan dari para kerabat dan kawan. Delapan minggu jelas kelewat singkat untuk sebuah kebersamaan. Atau barangkali masa selama itu pun sesungguhnya sudah cukup panjang, mengingat kami sebelumnya telah melalui lebih jauh penantian? Nyatanya nyaris empat tahun kami pernah bisa bersabar menunggu salah satu dari kalian dikirimkan. Menahan rindu padamu bahkan sebelum tahu kapan akan dipertemukan.
Apakah kau masih di sana, Sayang? Kalau boleh jujur, belum puas kami mereka-reka, seperti apa esok diterapkan aturan, untukmu mana yang boleh mana yang jangan. Belum sempat kurasakan gerakanmu, tendanganmu, yang konon katanya amat menakjubkan. Bahkan belum kami lihat penampilanmu di layar perangkat dokter membentuk suatu perwujudan. Sepertinya baru saja aku melihat dua garis merah berderet di alat berwarna kekuningan, lalu mengirimkan fotonya ke ayahmu yang sedang bertugas beberapa hari di tempat berjauhan. Tapi barangkali memang tak semestinya kami kelewat berpanjang angan. Yang pasti kami bersyukur Allah pernah memberikan dan menitipkan kesempatan. Sejenak bisa merasa memilikimu kendati sesungguhnya kau adalah anak zaman seperti kata Kahlil Gibran. Kami sayang, amat sayang padamu, tapi Sang Pemilik telah menentukan.
Pulanglah, Nak, ke tempatmu berasal dengan tenang. Kami melepasmu pergi, atau lebih tempatnya kembali, dengan seulas senyuman. Memang tak mungkin sering-sering kami menengok tempat mana engkau untuk selamanya disemayamkan, karena kini samudra memisahkan. Tapi dengan izin Allah, kami akan selalu mengingatmu yang pernah menjadi bagian dari keluarga impian, juga mengenalkanmu pada adik-adikmu yang hadir kemudian.

Sepertinya ini satu dari sangat sedikit foto yang diambil saat saya hamil untuk pertama kalinya,malah tes uji kehamilan mandiri yang ternyata menampakkan hasil positif baru saya lakukan sehari sesudahnya. Ini juga merupakan foto berdua perdana di depan kampus tempat kami sama-sama pernah menuntut ilmu (tapi sepertinya kami belum pernah berinteraksi di sana sih selama masa kuliah).
Tulisan ini diikutsertakan dalam Giveaway Uni Dian #GADianOnasis, info lebih lanjut bisa dibaca di http://www.dianonasis.com/2017/02/ga-perdana-dian-onasis-tema-anak-itu.html. Penjelasan yang lebih teknis pernah saya tulis di sini https://ceritaleila.wordpress.com/2016/08/16/ketika-harus-berpisah-dengan-calon-buah-hati/
Duuuh terharuuu… turut berdukacita yaa Leila & suami…
Makasih, Mba Shinta :).
Aku juga pernah mengalaminya sembilan tahun dan lima tahun yang lalu 🙂 thanks for sharing ya mbak 🙂
Sama-sama, Mbak Marita, terima kasih sudah mampir :). Malah sampai dua kali ya, Mbak….
Mbak, tulisannya bagus sekali. Semoga segera diberikan momongan ya.
Btw, kampusnya gak jauh sama rumahku. Hehe.
Alhamdulillah sudah ada dua sekarang, Mba :). Iya kah, tinggal di sekitaran Bintaro ya Mba berarti?
Embaaaak, berat berpisah dengan anak yang begitu dinantikan. Namun kita cuma bisa ikhlas karena anak hanya titipan.
Betul, Mba Helena. Memang harus diikhlaskan, meski kadang-kadang terpikir begini-begitu :).