Ustadz Fauzil Adhim: Meluangkan Waktu Beda dengan Menyisakan Waktu

Sejak sebelum saya menikah, saya suka membaca buku-buku parenting karya Ustadz Fauzil Adhim. Menurut saya, uraian beliau enak dibaca, banyak sudut pandang tentang peran orangtua yang tergolong amat maju untuk masa itu, kala belum terlalu banyak tokoh parenting yang beredar di media sosial. Salah satu tulisan beliau di majalah yang mengangkat kebiasaan menonton televisi juga sempat saya kutip di postingan tentang disimpannya TV di rumah kami.

Setelah sekian kali tahu info kajian Ustadz Fauzil Adhim tetapi tidak kesampaian mengikuti, akhirnya kami bisa menyimak langsung penjelasan beliau di Islamic Center Jakarta Utara, 5 Mei lalu. Sebetulnya ada dua pembicara sih dalam acara bertajuk Mempersiapkan Orang Tua di Era Digital dalam Mendidik Anak Zaman Now ini, tetapi kali ini catatan saya fokuskan pada sesi Ustadz Fauzil.

 

Mendidik anak zaman old dengan zaman now, sama atau berbeda? Menurut Ustadz Fauzil, mungkin ada yang berbeda, tetapi secara mendasar sebetulnya banyak hal yang sama. Sarananya memang yang banyak berubah.

Satu hal yang perlu dipegang, kata Ustadz Fauzil, jangan pernah bilang ke anak bahwa gadget itu jelek, sementara kita masih menggunakan, bahkan mungkin punya banyak. Lalu, sesuatu yang baik juga belum tentu baik untuk dipakai kapan saja. Jangan sampai kita mengingatkan anak misalnya, “Nggak boleh, masih kecil.” Sebab nanti kalau sudah besar apakah berarti boleh main gadget tak kenal waktu? Nanti lama-lama beranggapan juga bahwa melihat video porno itu boleh, asal sudah dewasa. Standar seperti ini harus jelas, disampaikan kepada anak dengan jelas dan dialogis.

Selambat-lambatnya usia 7 tahun, anak sudah harus mumayyiz, mampu membedakan benar salah dan baik buruk dengan akalnya. Secara fisik, mumayyiz ditandai dengan kemampuan istinja’ atau bersih-bersih dengan sempurna setelah berhajat. Pada level ini, anak seharusnya sudah bisa menggunakan akalnya untuk membedakan baik buruk, mana bermanfaat mana berbahaya, juga mengatur prioritas mana yang penting dan kurang penting. Menjadi tugas orangtua untuk mendampingi anak-anaknya agar mereka sebisa mungkin mencapai mumayyiz pada usia 6 atau 7 tahun.

Ustadz Fauzil memaparkan, anak perlu dibimbing agar tak mudah ikut-ikutan. Latih reasoning-nya sejak dini, misalnya kenapa pilih pakaian warna ini dan bukan yang itu? Awalnya mungkin yang muncul argumen pribadi, tetapi dengan bekal yang kita bimbingkan, anak akan mampu memberikan landasan yang lebih sesuai dengan perannya sebagai hamba Allah. Hingga nanti tidak ada alasan bagi kita untuk memberikan sesuatu karena kasihan anak cuma bisa melihat barang milik teman-temannya. Jadi kalau teman-temannya punya sedangkan dia tidak, seharusnya tidak masalah. Hp misalnya. Ustadz sendiri rumahnya full wi-fi, tetapi hp hanya diberikan untuk yang sudah kuliah, bahkan hp yang hanya sekadar bisa sms dan telepon pun tidak diberikan ke anak yang lebih kecil. Memberikan hp bukan kewajiban orangtua.

Kalau anak bangga terhadap dirinya sendiri, kata Ustadz Fauzil, ketika melihat anak lain yang lebih hebat maka anak bisa baper. Namun jika anak bangga terhadap amalan tertentu, kalau bertemu dengan yang sama-sama rajin dengan amalan tersebut, maka dia akan senang. Contoh saja orang yang bangga dengan klub bola tertentu, saat ketemu sesama fans pasti akan ngobrol seru. Demikian pula kala bertemu dengan orang yang ahli, teman yang bagus sholatnya misalnya, anak pun ikut senang dan termotivasi.

Setiap anak pasti punya cita-cita. Ingatkan anak untuk berfokus pada orientasi, apa yang ingin mereka wujudkan, bukan hanya ekspektasi atau harapan/ingin apa. Bukan ingin mendapat apa, tetapi ingin berbuat apa. Dengan demikian, maka perilaku anak akan lebih terarah. Ini termasuk juga untuk hal-hal kecil seperti ketika anak browsing. Kalau tanpa arah, sekali browsing bisa ke mana-mana karena tidak fokus pada apa yang hendak dihasilkan.

Nah, omong-omong soal browsing, di Jepang tahun 2013 sempat terjadi 518.000 anak mengikuti internet fasting camp gara-gara kecanduan internet. Jadi, bagaimana seharusnya kita mengenalkan teknologi informasi untuk anak?

Ustadz Fauzil mengingatkan, meluangkan waktu beda dengan menyisakan waktu. Yang diperlukan adalah betul-betul suasana kebersamaan, bukan hanya sama-sama berada di tempat yang sama. Gugah anak. Jadikan anak lebih tertarik bermain bersama kita, bahkan ketika menggunakan gadget pun, gugah anak untuk senantiasa mendekat pada kita. Berikan perhatian penuh dan tanggapan yang sesuai, ini lebih bernilai bak pujian. Dan jika anak melakukan kegiatan mengkhawatirkan dengan gadget, itu saatnya anak harus sepenuhnya bersama kita.

Untuk anak usia 5-7 tahun, jelas Ustadz Fauzil, kita boleh kenalkan manfaatnya. Jadi gadget sebagai sarana memperoleh pengetahuan, sambil kita tekankan pentingnya ilmu. Dengan catatan, kualitas kedekatan orangtua dengan anak harus selalu dijaga. Dan ini bukan sekadar seberapa sering kita bermain dengan anak.

Indikator kedekatan kita dengan anak ada dua: trust (tsiqoh) dan respect. Kepercayaan dan rasa hormat ini kadang bisa membingungkan antara orangtua dan guru kalau ada prinsip yang berbeda, ini tinggal bagaimana mengelolanya. Ketaatan ini perlu dipupuk bukan hanya ketika orangnya ada. Jadi kalau yang memberi aturan pergi, anak juga tetap menjaga ketaatannya, ketaatannya tidak ikut pergi.

Prinsip nasihat itu disampaikan dengan cara santai, sambil mengobrol. Termasuk dalam mengenalkan manfaat gadget. Anak melihat bahwa gadget bisa untuk aktivitas mencari ilmu, tetapi juga harus punya dulu dasar ilmu yang baik. Sebab yang Maha Tahu itu Allah swt, bukan Google. Anak zaman now dikenal kritis, banyak bertanya. Seringkali kita pun gelagapan dibuatnya, apalagi kalau kita tidak tahu apa jawabannya. Dalam menjawab pertanyaan anak, Ustadz Fauzil membaginya menjadi dua: yang kita tahu dan tidak tahu. Bisa kita tunjukkan caranya ke anak, cari di internet boleh tetapi kita bilang, harus punya bekalnya dulu. Bertanya pada Google boleh, tetapi pengalaman langsung, misalnya melalui praktik merawat/melihat tanaman, juga penting. Sebagai acuan awal boleh, tetapi bukan sebagai sumber informasi sepenuhnya. Ustadz Fauzil mencontohkan ke anak-anak pencarian atas namanya sendiri, ternyata tidak semua foto adalah foto dirinya. Jadi, anak harus tahu bahwa informasi dari internet bisa saja salah.

Untuk gawai yang dipakai bersama, lakukan proteksi HP dan piranti lainnya. Aktifkan parental control, batasi playstore di smartphone agar tidak dapat dipakai untuk mengunduh aplikasi buruk. Memilih lokasi negara yang lebih ketat pengaturannya juga bisa, untuk menyaring aplikasi yang menjurus negatif. Histori pencarian kita sendiri juga bisa berpengaruh pada iklan-iklan yang muncul dan seringkali tidak terduga saat sedang digunakan oleh anak. Ajarkan pada anak agar tidak bermudah-mudah menyebarkan gambar diri ke media sosial. Kendalikan diri, foto ini bisa saja disalahgunakan.

Ingatkan anak, meski orangtua tidak melihat, ada Allah yang mengawasi, malaikat yang mencatat. Mengetahui password anak bisa menjadi salah satu cara orangtua memantau. Adapun pembatasan hari libur sebagai hari bebas malah berpotensi jadi bumerang, misalnya anak jadi membenci hari lain. Pembebasan dengan maksud sebagai sarana rekreasi juga kurang tepat, karena rekreasi kan bisa dilakukan dalam bentuk jalan-jalan bersama.

Adapun untuk usia 8-11 tahun, batas waktu tetaplah harus jelas dan tegas. Ini masih tetap belum saatnya memberikan gadget kepada anak. Tegakkan aturan dengan tegas dan konsisten. Anak kadang menangis sebagai senjata agar kita luluh, janganlah kita terbunuh dengan senjata itu.

Orangtua juga perlu menguasai teknik menahan emosi. Tegas bukan lawan dari lembut, keduanya perlu dimiliki. Al-Qur’an punya beberapa istilah yang berarti lembut, dan semuanya perlu dimiliki oleh kita sebagai orangtua.
1. Ar Rifqu, lembut yang berarti keramahan. Kadang nadanya lantang tapi maksudnya bukan marah, melainkan meluapkan semangat atau antusiasme.
2. Hilm, kemampuan menahan diri, menjaga intonasi dan fokus. Contoh, bila anak berbuat sesuatu yang mengganggu atau menangis, jangan langsung menghakimi. Tanyai dulu kenapa dilakukan, dan kalau ada lebih dari satu pihak, misalnya kakak dan adik, kita tanyai semua untuk klarifikasi.
3. Al Anah, kemampuan untuk tidak tergesa-gesa. Termasuk dalam menegur anak atas aduan orang lain. Biasakan tabayyun/mengklarifikasi dulu, memastikan maksud.

Kunci mendidik anak bukanlah percaya diri, tetapi khasyah, rasa takut kalau yang kita berikan itu belum memenuhi kualifikasi, sehingga dengannya kita senantiasa berbenah. Bekal lainnya adalah taqwa, kemudian juga qaulan syadida, berbicara dengan perkataan yang benar dan komunikasinya pun benar. Mau mengakui kesalahan dan meminta maaf juga penting.

Ustadz Fauzil juga penulis, maka seringkali perlu bekerja dengan ponsel. Namun prinsipnya, gadget tidak digunakan saat anak tidak siap. Kalau memang sangat diperlukan maka minta izin pada anak, jelaskan memang untuk urusan pekerjaan. Keterbukaan yang diterapkan juga sekaligus menjadi contoh, bahwa bapaknya internetan untuk hal yang memang diperlukan dan tidak terus-menerus dilakukan.

Anak telanjur kecanduan gadget? Tips dari Ustadz Fauzil, hentikan sama sekali pemakaian gawai dan ajak anak lebih banyak bermain ‘sungguhan’. Ceritakan keasyikan kita bermain dengan teman di masa kecil dulu.

Bagaimana kalau ada teman-teman anak yang memberikan pengaruh dalam ber-gadget? Jika teman-teman anak main ke rumah bawa gadget, terapkan aturan kita dan fasilitasi. Misalnya temani bermain, dongengkan ke anak-anak dan teman-temannya. Jangan bilang anak terpengaruh teman, karena kalau demikian justru kita jadinya harus introspeksi, kenapa anak lebih mudah terpengaruh temannya, kenapa bukan dia yang memengaruhi temannya? Artinya kepercayaan anak pada kita, yang merasa sudah memberikan bekal, ternyata masih rendah.

Bagi orangtua bekerja yang acapkali di rumah sudah merasa sangat lelah untuk menemani anak, Ustadz Fauzil punya pesan lain. “Tunjukkan kepada anak betapa Anda ingin bersamanya dan melakukan yang terbaik untuknya. Biarkan anak mengenali kelelahan Anda. Benahi juga niat saat bekerja, karena kelelahan itu lebih banyak berkaitan dengan bagaimana kita menikmati kegiatan kita bekerja. Kerja serius atau tidak itu gajinya sama, tapi kalau tidak serius akan lebih mudah terasa lelah.” Itikad baik kita, tegas Ustadz, akan ditangkap oleh anak, jadi jangan langsung buka front dengan angkuh “Jangan ganggu”. Tunjukkan keinginan menyenangkan anak-anak, tunjukkan kondisi kita sehingga anak lebih mudah berempati.

Di bagian akhir, Ustadz Fauzil mengupas singkat tentang mendidik anak remaja, selengkapnya sama dengan yang dikutip di situs Kemendikbud ini sehingga tidak saya salin ulang.

 

9 thoughts on “Ustadz Fauzil Adhim: Meluangkan Waktu Beda dengan Menyisakan Waktu

  1. Mendidik anak remaja butuh pendekatan khusus ya mbak. Jangan dijauhi. Alagi anak remaja skarang pengaruh lingkungannya cukup kuat. Jadi sudah sepantasnya kita lebih dekat dan mengarahkan remaja kita ke arah yg lbih baik

  2. Terima kasih sudah sharing tausiah Ustadz Fauzil Adhim ini, Mbak..
    Memang ada pada orang tua kuncinya. Tinggal kita mau membimbing atau membiarkan anak jadi korban kemajuan teknologi yang tak terbendung lagi. Semoga kita menjadi orang tua yang selalu ingat akan tugas dan kewajiban mengemban titipan anak-anak suci milik Allah SWT. Aamiin

  3. Ya betul, meluangkan waktu dan menyisakan waktu itu beda banget. Terimakasih sudah berbagi Mbak Leila.

  4. Pingback: Ustadz Fauzil Adhim: Meluangkan Waktu Beda dengan Menyisakan Waktu – Honey's Garden

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s