Meningkatkan Etos Kerja dengan Spirit Ramadhan

Selama ini membaca saja tulisan-tulisan ustadz Salim di buku maupun internet atau juga menonton video ceramahnya, Rabu lalu salah satu kantor di kompleks perkantoran saya mengundang beliau untuk berceramah. Saya tentu tidak mau ketinggalan menyimak Berikut catatan saya.

Meningkatkan Etos Kerja dengan Spirit Ramadhan

Ustadz Salim A. Fillah, DJKN, 7 Juni 2017


Output yang diharapkan dari berpuasa yaitu:

1. Al Baqarah 183, supaya semua bertaqwa

2. Al Baqarah 185, supaya bersyukur

3. Al Baqarah 185, supaya mendapatkan bimbingan atau petunjuk.

Etos yang diharapkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk bekerja, berbangsa, bernegara meliputi ketiga hal di atas.

1. Taqwa jika diringkas dalam satu kata singkat mencakup kehati-hatian. Kehati-hatian ini di atas ketaatan karena bukan hanya membedakan halal dan haram, baik dengan buruk, melainkan juga menjaga jarak agar tidak terjatuh pada yang salah dan bermasalah.

Khususnya di bulan Ramadhan ini kita berhati-hati di segala hal, di rumah, di kantor, di mana saja. Hadits: yang benar jelas, yang buruk jelas, tapi di tengah-tengah ada yang abu-abu. Maka kata kuncinya adalah berhati-hati terhadap yang samar-samar itu, sehingga seseorang yang berhati-hati berarti telah menjaga agama dan kehormatannya. Sebagaimana seseorang yang menggembala kambing perlu mengikat agar tak masuk dan memakan tanaman kebun tetangga. Termasuk dari berhati-hati bisa dalam bentuk menjaga aurat misalnya bagi lelaki, meski dada bukanlah aurat, tetapi Imam Syafii tidak pernah keluar tanpa baju atasan untuk menjaga kehormatan.

Taqwa menurut Imam Al Ghazali bertumpu pada empat sendi:

1. Berhati-hati karena muroqobatullah, merasa diawasi selalu oleh Allah swt. Apalagi Allah swt memang sudah mengutus malaikat untuk mengawasi kita. Di akhirat nanti orang-orang yang ingkar kepada Allah swt akan kaget betapa detailnya buku catatan perbuatan kita di dunia. Kalau isinya perkara-perkara baik maka bagus, tetapi bagaimana jika catatan itu berisi perbuatan maksiat?

Ramadhan merupakan bulan tarbiyah. Banyak amalan yang masih bisa dipamerkan, dihitung-hitung tetapi puasa tidak. Allah swt-lah yang akan menghitungnya. Hal ini jika dibawa ke konteks pekerjaan, dengan merasa diawasi maka seharusnya tidak akan ada lagi korupsi, di konteks rumah tangga tidak akan ada lagi selingkuh.

2. Berhati-hati karena mu’ahadah, kita sudah pernah mengikrarkan diri di alam ruh bahwa Allah swt adalah Rabb kita, tiada Illah sesembahan selain Allah swt, berjanji mengabdi hanya kepada Allah dan berlindung kepada Allah dari kejelekan perbuatan, mengakui semua nikmat maupun dosa serta mohon ampun atas perbuatan dosa tersebut. Dengan doa tersebut, bisa meringankan kita di hari audit alias yaumul hisab nanti.

Konsekuensi mu’ahadah, maka seorang muslim dalam upaya untuk menjadi orang bertaqwa maka akan selalu mengisi niat dengan kebaikan. Bahkan niatnya orang beriman lebih bagus daripada amalnya. “Allah tidak melihat rupamu, tetapi melihat amal dan hatimu.”

Hadits: Hamba Allah dibagi menjadi 4 golongan:

(1) diberi ilmu dan harta berlimpah dia bertaqwa kepada Allah, hartanya untuk berbagai kemaslahatan, inilah sebaik-baik hamba.

(2) Ada yang diberi ilmu, hartanya pas-pasan, tiap melihat yang no.1 ingin bisa beramal seperti itu, mengisi hati dengan niat yang lebih besar. Pahala dua orang ini sama di sisi Allah swt. Contohnya ada haji di Jogja, saking cinta dengan harta maka dititipkan ke orang miskin, masjid, jalan, jembatan..karena toh memang harta miliknya tidak akan ia bawa mati, melainkan berharap amal dari situ.

(3) Tidak diberi harta berlipat, ilmu juga tidak, hartanya untuk maksiat, seburuk-buruknya manusia.

(4) Tidak diberi ilmu, tidak diberi harta, tetapi setiap hari melihat yang ketiga berkeinginan berbuat maksiat juga, bahkan mungkin mengangankan lebih parah. Artinya dia mengisi hati dengan niat jelek. Timbangan orang ketiga dan keempat ini sama.

3. Berhati-hati karena senantiasa ber-muhasabah, bisa mulai dengan menghisab diri sendiri, memperhatikan apa yang sudah diperbuat untuk bekal hari akhir. Kesimpulannya harus: nikmat Allah cukup, dosa kita masih banyak, ibadah kurang. Kalau kesimpulannya masih bukan tiga hal itu, pasti ada yang salah dalam muhasabahnya. Inilah yang mendorong etos kerja kita agar lebih berhati-hati.

Umar RA: Seorang hamba tidak boleh merasa aman dari makar Allah swt hingga kedua telapak kakinya berada di surga. Muhasabah tidak bisa dilakukan tanpa rencana, maka di bulan Ramadhan kalau bisa memang punya program, jangan hanya menjalani sebagaimana air mengalir. Bukan hanya ibadah seperti sholat, tapi juga sedekah, latihan menahan diri dari hal-hal tercela seperti menggosip atau marah-marah tidak jelas. Program sebulan ini tujuannya agar kita juga menjadi manusia yang lebih baik selepas Ramadhan.

4. Berhati-hati dengan muaqobah, berani memberikan konsekuensi hukuman pada diri sendiri. Seperti para sahabat Rasulullah yang jika melanggar komitmen biasa melakukan sesuatu untuk menghukum diri sendiri. Umar RA bahkan pernah menyedekahkan kebun yang sudah siap panen yang keindahannya sudah membuatnya ketinggalan shalat Ashar bersama Rasulullah. Kalau kita berhati-hati sejak awal, tentu kita bisa menghindar dari konsekuensi menghukum diri.

5. Berhati-hati dengan mujahadah, perjuangan untuk istiqomah karena kita tidak tahu ujung hidup kita seperti apa.

Hadits tentang takdir harus dipahami bahwa Allahswt  Maha Adil dan tidak akan pernah mendzalimi hamba-Nya. Kalau ada hamba yang terdzalimi, maka ialah yang sudah mendzalimi dirinya sendiri.

Kita simak kisah dari bani Israil, ada seorang ibu yang hanya mendoakan anak kedua yang suka bermaksiat agar kembali ke jalan yang benar sedangkan anak pertama yang ahli ibadah tidak didoakan karena merasa sudah aman. Allah swt berkenan mengabulkan, sang adik merasa tidak nyaman di tempat maksiat, malu pada ibu dan kakaknya. Sedangkan sang kakak di saat yang hampir bersamaan justru terpikir untuk mencoba berbuat maksiat, dengan berpikiran tabungan amalnya sudah banyak dan toh nanti bisa taubat. Di tengah jalan di tangga menara tempat ibadah, mereka bertabrakan dan meninggal di tempat.

Janganlah mati kecuali dalam keadaan muslim (QS.Ali Imran:102), maksudnya adalah agar senantiasa kita upayakan berada dalam keadaan baik, dalam niat yang baik agar kalaupun mati maka dalam keadaan baik.

Amal yang paling disukai Allah adalah yang dirutinkan, terus-menerus meskipun sedikit, karena biasanya lebih memudahkan kita berlatih ikhlas. Contohnya pada zaman Rasulullah adalah sahabat yang dikatakan dijamin masuk surga. Para sahabat lain ingin tahu, amalan apa yang membuatnya dijamin demikian, sebab kalau dari shalat berjamaah misalnya, sahabat yang ini malah seringkali datangnya mepet dengan saat shalat dimulai, boro-boro shalat sunnah dulu. Ternyata, beliau setiap malam merutinkan diri memaafkan tiap orang yang pernah menyakitinya sebelum tidur. Jadi, kalau bisa, ada satu amalah rutin yang kita jaga dan kita sembunyikan dari orang lain.

Orang mati dengan kebiasaan selama hidupnya. Bahkan yang sederhana, seperti kejadian terakhir di Jogokariyan, ada ibu yang selalu semangat membantu memasak untuk takjil bahkan saat bukan gilirannya, meninggal dalam keadaan sedang memotong pelengkap bumbu.

Demikianlah, etos kerja sesuai hikmah Ramadhan yang bisa kita terapkan adalah hati-hati dengan semua hal, termasuk pekerjaan kita, kita juga bisa terjerumus ke dalam dosa karena lalai atau tidak teliti. Jangan sampai kesalahan karena kelalaian yang tidak disengaja itu kita anggap biasa-biasa saja. Termasuk di bulan Ramadhan syaithan dibelenggu, kita memang bisa mengusir syaithan dengan dzikir tapi jangan sampai kita justru di sisi lain sediakan makanan untuk syaithan. Misalnya adsnya sifat ujub atau kesombongan dalam diri kita.

2. Ramadhan mendidik kita menuju etos orang-orang pandai bersyukur.

Persamaan orang yang tenggelam dan menyelam, sama-sama sekelilingnya ada pemandangan indah. Tapi yang menyelam menikmati, sedangkan yang tenggelam tentu merasa sesak. Dunia ini sesungguhnya adalah lautan nikmat Allah. Orang yang tenggelam lebih banyak sumpah serapah dan merasa sakit atau menderita di dunia, sedangkan orang yang menyelam banyak bersyukur. Memang bersyukur itu sepertinya agak lebay, misalnya melihat segelas air minum pun bisa saja tafakurnya luar biasa sampai ke kuasa Allah swt dalam siklus air di bumi. Makan nasi dengan lauk sederhana, sudah membuat berpikir tentang siapa saja yang terlibat dalam pengolahan sejak dalam bentuk tanaman atau garamnya sekalipun, bagaimana Allah menggerakkannya. Tapi itulah orang yang bersyukur.

Banyak di antara kita yang take it for granted, beranggapan bahwa memang sudah seharusnya begitu, dari sananya, hingga lupa bersyukur. Rezeki sesungguhnya sudah dijamin oleh Allah swt, bahkan bagi cicak sekalipun, nyamuklah yang mendatanginya (sampai ada lagunya, kan, yang diajarkan pada kita sejak kecil). Rezeki tak hanya berupa gaji, tapi juga ada hal lain seperti kesehatan. Nikmatnya tidur bahkan, itu Allah yang tentukan. Rezeki bukan hanya apa yang kita punyai, jangan sampai etos kerja kita dipengaruhi oleh rezeki. Bekerja itu mencari pahala, karena pahala itu belum dijamin sedangkan rezeki sudah. Itqon, ihsan, ikhlas. Bayaran berupa sakinah mawaddah dan rahmah di keluarga, itu bisa jadi karena yang dia kerjakan di kantor sesungguhnya dibayar jauh lebih rendah.

Dahulu ada seseorang yang datang kepada Imam Syafii. Ia merasa hidupnya begitu sempit, istrinya tidak menyenangkan, anak-anaknya tidak menurut. Gaji 5 dirham menurutnya tidak cukup. Imam Syafii lalu menyuruh lelaki ini meminta gajinya diturunkan jadi 4 dirham. Agak aneh memang, tapi dilakukan dan bosnya juga setuju. Selang beberapa waktu, lelaki ini kembali menemui Imam Syafii untuk minta nasihat lagi. Menurutnya ada perubahan tapi hanya sedikit. Imam Syafii memintanya mengajukan penurunan upah lagi menjadi 3 dirham. Walaupun heran, laki-laki itu lagi-lagi menurut. Beberapa waktu berjalan, dan lelaki tadi menghadap Imam Syafii menceritakan bahwa uang 3 dirham tadi justru cukup untuk kebutuhan hidupnya, bahkan istrinya jadi semakin baik, anak-anaknya penurut dan tidak bandel lagi. Ia tentu ingin tahu apa maksudnya Imam Syafii dulu menyuruh minta turun gaji. Imam Syafii menjelaskan bahwa pekerjaan yang lelaki itu jalani sebetulnya layak menerima 3 dirham. Jika gajinya lebih dari itu, maka hartanya tak lagi berkah dan berpengaruh ke kehidupannya. Dibacakan oleh beliau syair sbb: Dia kumpulkan yang haram dengan yang halal supaya ia menjadi banyak. Yang haram pun masuk ke dalam yang halal lalu ia merusaknya.

Kalau di kantor mengurangi gaji biasanya memang susah, jadi yang bisa kita lakukan adalah dengan tingkatkan kinerja kita. Bekerja karena Allah, bukan untuk gaji.

3. Ibadah selalu mendekatkan diri dengan apa yang disunnahkan Allah swt sampai mencintainya, maka Allah swt akan menjadi mata telinga lisan tangan kaki. Itulah bimbingan sejati Allah swt, dan bisa menjadi jalan rahmat untuk semesta alam.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s