Berpikir dan bertimbang rasa…
Saya menduga, sekali dalam hidup Anda pasti pernah merasakan atau menghadapi seseorang yang bertingkah laku seolah tak memikirkan apa yang ia lakukan dan tidak peduli akan perasaan orang lain… Bener-bener cuek bebek..
Ambillah sebuah contoh yang sangat lazim: Anda sedang berkendara (motorkah atau mobil), melaju di jalur kiri atau tengah. Tiba-tiba sekali, ada kendaraan lain dengan kecepatan tinggi memotong dari arah paling kanan untuk belok ke kiri!
Anda sangat terkejut, untung masih bisa injak rem. Tapi apa yang Anda katakan pada pengendara yang memotong jalan itu? Astagfirullah! Konyol! Gak mikir! Sinting nih orang! Dan mungkin puluhan kata dan umpatan lainnya yang otomatis keluar.
Umumnya kata atau umpatan itu tidak terkendali karena kaget dan kesal luar biasa. Jadi tak sempat terpikirkan sebelum diucapkan. Dengan kata lain, kata-kata tersebut keluar sesuai perasaan kita saja. Kita sebutlah itu sebagai Aksi yang berdasarkan pada Perasaan atau Emosi.
Seharusnya sebagai orang dewasa, kita ber-Aksi berdasarkan Emosi atau Pikiran? Ya, benar, Pikiran! Jadi seharusnya rumusnya menjadi seperti ini, bukan? E – P – A. Emosi – Pikir dulu – baru ber-Aksi. Kenyataannya, sebagai orang dewasa kita sering menunjukan reaksi seperti di atas: E –A- P!
Siapa yang biasanya atau yang sepantasnya ber-Aksi berdasarkan pola EAP? Betul: anak-anak! Karena pusat-pusat di otak mereka belum sempurna terbentuk atau bersambungan.
Ternyata berapa sering kita sebagai orang dewasa bertindak atau bertingkah laku sehari-hari masih dengan pola EAP?
Kehidupan yang tergesa-gesa setiap hari membuat kita semakin kurang mempunyai kesempatan untuk merenung, termasuk merenungkan apa yang dipelajari anak-anak kita kalau orangtuanya seringkali bertindak berdasarkan EAP. Bagaimana pula lah mereka bertingkah laku ketika mereka dewasa, kalau yang menjadi tauladannya sehari-hari seperti itu?
Umumnya, pola reaksi EAP diikuti dengan kurangnya kemampuan untuk menimbang perasaan orang lain. Karena tidak ada kesempatan untuk berpikir sama sekali. Orang-orang yang menerima perlakuannya pasti akan komentar: “Ya Allaaah, bener-bener nih orang, gak punya perasaan!” atau “Bener-bener gak peduli perasaan orang lain!” – “Asal ngomong/keluar aja!”
Semua bermula dari rumah.
Bayangkanlah kalau orangtua keseringan menunjukkan tingkah laku yang EAP, dan kemudian mengabaikan perasaan pasangan dan anak-anaknya? Pernah terbayangkan bagaimana terbentuknya kemampuan berpikir dan kehidupan emosi anggota keluarga tersebut?
Bayangkan kalau anak itu berada dalam situasi sosial lain, seperti lingkungan bermain, sekolah, dan bila bertamu ke rumah orang atau dalam suatu kegiatan bersama? Bayangkan pula kalau kebiasaan tak terbiasa berpikir dan bertimbang rasa ini terbawa-bawa dalam kehidupan nanti ketika dia dewasa di dunia kerja. Bayangkan pula kalau anak tersebut karena satu dan lain hal jadi pemimpin di suatu perusahaan atau di suatu daerah? Apa jadinya bawahannya atau masyarakat yang dipimpinnya?
Perasaan adalah salah satu yang sangat penting bagi manusia. Bila perasaannya diterima, orang tersebut akan merasa seluruh dirinya diterima. Tapi bila perasaan tidak diterima seluruh dirinya menjadi tidak berharga.
Oleh sebab itu, marilah kita sebagai orangtua era digital ini, betapa pun kita tergesa-gesa dan waktu terserap oleh gagdget, tidak kehilangan kesempatan untuk merenung, menyelam ke dalam diri dan mengembara ke masa lalu kita untuk mampu menemukan hakikat diri kita sebagai orangtua.
Yuk temukan, apakah kita tipe orangtua yang bertindak dalam keseharian kita menggunakan pola EAP atau EPA? Apa yang menyebabkan kita melakukannya? Apa yang membuat jejaring kebiasaan di otak kita sehingga kita begitu otomatis melakukannya? Apa yang sudah dipelajari oleh anak-anak kita selama ini? Sudahkah kebiasaan kita bereaksi itu kini merupakan pula kebiasaannya? Kalau jawabannya YA, maka pertanyaan berikutnya adalah: Apa yang bisa kita lakukan untuk mengubahnya?
Di mana ada kemauan di situ ada jalan.
Pepatah lama ini menunjukkan pada kita: tidak ada yang tidak mungkin di bawah matahari, kalau kita mau berusaha dan meminta pertolongan Allah.
Berikut beberapa hal yang dapat saya sarankan:
1. Kenali diri dan sumber dari semua kebiasaan reaksi EAP tersebut.
2. Sadari bahwa kebiasaan buruk tak ada gunanya. Bukankah Rasulullah saw mewariskan pada kita agar hari ini lebih baik dari kemarin? Maka berniatlah untuk memutuskannya, buang, untuk kemudian diganti dan dibentuk sambungan kebiasaan baru yang lebih baik.
3. Latihlah diri untuk merenung, memikirkan ulang apa yang telah kita lakukan. Bila salah jangan segan untuk minta maaf. Kalau Anda orangtua, harus sadari sepenuhnya bahwa meminta maaf tidak merendahkan derajat Anda sebagai orangtua, bahkan menaikkannya. Permintaan maaf menurunkan emosi yang tinggi, dan yang lebih penting lagi anak belajar:”Oh kalau salah minta maaf, ya?”. Insya Allah ia akan melakukan nanti terhadap pasangannya, anaknya, orang di sekitarnya, bawahannya atau masyarakat yang dipimpinnya. Kita harus yakin anak kita insya
Allah akan jadi pemimpin yang baik. Minimal di keluarganya sendiri.
4. Mudahlah pula untuk meMAAFkan. Dalam ilmu psikologi, tindakan seseorang itu ada alasan/motif dan ada tujuannya. Sebagai manusia, kita ini penuh keterbatasan. Kita tidak selamanya mampu untuk tahu apa motif seseorang dan apa tujuan tingkah lakunya. Maka MAAF-kan saja lah! Memaafkan itu perintah Allah dan memaafkan itu pekerjaan mulia.
5. Pikir dahulu pendapatan, pikir kemudian tidak ada gunanya. Pepatah ini juga mengajarkan kita untuk bertimbang timbang sebelum melakukan sesuatu. Maka dengan anak-anak kita perlu banyak dialog. Ajarkan anak untuk bertimbang dalam melakukan sesuatu. Caranya sangat mudah gunakanlah lebih banyak kalimat bertanya. Kalimat bertanya akan membuat anak atau siapa saja yang kita tanyai untuk berfikir sebelum memberikan jawaban, kemudian akan menengok ke dalam dirinya dan timbullah kesadaran diri. Inilah yang terpenting dari penggunaan kalimat bertanya: KESADARAN DIRI.
6. Dengan dialog dan menggunakan kesadaran diri, kita bisa melatih anak kita untuk berfikir alternatif. Bagaimana kalau begini dan bagaimana kalau begitu. Apa akibat yang akan muncul bila kita begini dan bila kita begitu. Bila kita pake baju ini atau pake baju itu, bila ambil jurusan ini atau jurusan itu, bila pilih pasangan yang begini atau pasangan yang begitu.
7. Berpikir alternatif akan menghasilkan kemungkinan pilihan pada anak: Plan A, Plan B, Plan C dst berikut konsekuensi yang minimal sudah diperhitungkan dan dipertimbangkan sebelumnya, untuk kemudian harus berani menanggungkan akibat yang ditimbulkannya.
8. Proses inilah yang insya Allah melahirkan anak yang cerdas dan BIJAKSANA!
Semoga dengan berupaya melatih anak kita agar mampu mengendalikan untuk tidak mengedepankan perasaan dalam bertingkah laku dan pandai menimbang rasa orang lain, ke depan kita terhindar dari peliknya masalah seperti yang kita hadapi sebagai bangsa sekarang ini, karena pemimpin yang bicara lebih banyak berdasarkan perasaannya dan tak pandai menimbang perasaan rakyatnya. Aamiin.
Satu hal lagi yang tidak banyak dibicarakan apalagi dibahas orang adalah: Apa yang dipelajari oleh anak dan pemuda Indonesia dan apa dampaknya bagi mereka ke masa depan, bila pemimpinnya seperti ini?
Penuh Prihatin, Bekasi 30 Oktober 2016
Elly Risman
Silahkan di-share bila Anda nilai ini ada gunanya.
https://www.facebook.com/groups/1657787804476058/permalink/1783405541914283/
========
Komunikasi suami istri.
Umum sekali terjadi, tak lama setelah perkawinan suami istri baru ini sudah mulai menemukan bahwa komunikasi antar mereka berdua, jadi tidak selancar, sehangat, apalagi seindah ketika dulu pacaran atau sebelum menikah.
Sekarang, ada saja yang nggak nyambung, emosi naik, kadang diam, tak biasa dimengerti dan seolah tak ada keinginan untuk mengerti. Dulu, kalau begini salah satu pasti tidak akan pernah berhenti membujuk, sampai salah satunya mengalah dan komunikasi tersambung kembali.
Kenapa sudah kawin malah jadi sebaliknya?
Harapan dan mimpi indah yang dulu dibagi bersama dan menimbulkan semangat, kini seolah menguap begitu saja. Kenyataan yang ada sangat mencengangkan karena banyak hal yang dulu tidak diketahui kini menjadi jelas merupakan kebiasaan yang kurang pas dan kurang menyenangkan bagi pasangannya. Mulai dari kalau ngomong kurang diperhatiin, mau menang sendiri, kebiasaan yang tidak sama: naruh handuk basah di atas tempat tidur, suami merasa kurang dilayani, istri merasa kurang didengarkan perasaannya, dan sejuta perbedaan lainnya yang terus menerus terjadi dari hari ke hari….
Mengapa semua ini terjadi?
1.Hidup lebih realistis, kebiasaan dan sikap asli masing-masing nampak dan tak perlu dipoles dan disembunyikan lagi. Cara ekspresi emosi juga otomatis nampak: marah, menghakimi, selfish, narcist, mencap, dll.
2. Dari pengalaman saya menghadapi berbagai kasus keluarga dan perceraian, ketika pasangan ini belum menikah, mereka tidak mengetahui atau diberi tahu bahwa masing masing harus mempelajari latar belakang pengasuhan pasangannya dan mengapa perlu tahu. Yang paling buruk adalah kenyataan bahwa masing masing pasangan tersebut bahkan tidak cukup kenal dengan dirinya sendiri!
3. Tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah menciptakan laki laki dan perempuan itu berbeda: Otaknya, hormon-hormonnya, alat kelamin, rasio otot daging, kapasitas paru paru dlsbnya.
4. Tidak memiliki keterampilan bicara yang benar, baik dan menyenangkan serta
5. Kurang memiliki keterampilan mendengar, sehingga
6. Tak mampu berkomunikasi yang baik, bersih, dan jelas.
Apa akibatnya?
Masing-masing seperti terperangkap dalam diri sendiri. Bagaimana jalan keluarnya? Mana bisa kita ceritakan sama ortu? Sudahlah beliau capek mendidik kita, menyekolahkan, mengawinkan.. masak masalah kita, kita bawa juga ke mereka. Kawin dijodohkan saja tidak mudah kita adukan, apalagi ini pilihan kita sendiri. Tangan mencincang bahu memikul lah. Kalau diceritakan ke orang lain, aib hukumnya. Menceritakan kekurangan atau kejelekan pasangan, bisa-bisa gak dapat mencium wanginya syurga!
Jadi terasa seperti api dalam sekam, panas terus, tapi jangankan ada pintu atau jalan keluar, asap saja tak bisa dihembuskan. Ini yang membuat kadang-kadang semangat redup karena hati luka – merasa terkunci di hati sendiri, sulit ditemukan apalagi diberi pertolongan!
Harapan timbul tenggelam, ah.. siapa tahu nanti membaik. Siapa tahu kalau anak sudah lahir, siapa tahu kalau ada adiknya pula… siapa tahu…..
Apa yang terjadi selanjutnya?
Kebutuhan semakin beda, marah mencuat, bersitegang – bertengkar, saling: merendahkan, menyalahkan, menjelek-jelekan & menjatuhkan saling menuduh, menghakimi, mencap, bahkan sampai menyebut-nyebut orangtua. Akhirnya saling diam-diaman, bicara seperlunya saja, semuanya membuat semakin sunyi di hati.
Sudah jelas dalam keadaan seperti ini sulit bagi masing-masing pasangan untuk menunjukkan pengertian, pengakuan, apalagi pujian!
Satu tempat tidur tapi seperti beda planet! Berpapasan di pintu berusaha jangan senggolan, beradu kaki ditarik buru-buru. Kamar sering sekali sunyi, masing masing dengan aktivitas sendiri-sendiri. Tapi hati semakin luka, semakin perih.
Kalau ada tamu: standar ganda. Saling menyebut dan menyapa, seolah tidak terjadi apa-apa: “Iya begitu kan ya Ma/Pa?” hahahaha. Begitu tamu pulang, sunyi dan senyap kembali…
Kebutuhan untuk diterima dan didengarkan tetap ada pada masing-masing, sebagai kebutuhan dasar agar tetap jadi manusia, mulailah terjadi perselingkuhan atau punya teman curhat yang biasanya berujung maksiat atau kawin lagi. Yang populer sekarang adalah BINOR (Bini Orang) atau LAKOR (Laki Orang), yaitu selingkuh dengan teman sekerja, sekantor atau lain kantor atau teman SMP dan SMA dulu. Semua dijaga; tahu sama tahu. Kalau hamil kan punya suami! Yang paling buruk adalah selingkuh sejenis, seperti yang sering dibicarakan akhir-akhir ini. Yang jelas kebutuhan jiwa dapat, material apa lagi!
Bayangkan bagaimana bermasalah anak-anak yang tumbuh dalam keluarga seperti ini? Sudahlah mungkin rezeki tidak halal dan thayyib, ortunya berbuat maksiat pula.
Banyak sekali orang tidak tahu, memang belum ada penelitiannya, bahwa bila seorang ayah atau ibu melakukan maksiat, pasangannya bisa dikelabuinya tapi tidak Allah dan anaknya! Pengalaman saya menunjukkan bahwa anak yang tadi manis patuh dan berkelakuan baik, bisa tiba-tiba gelisah, temper tantrum, tak bisa mengendalikan diri, marah, ngamuk dlsbnya… bila secara diam diam salah satu ortunya berzina! Bayangkan, berapa banyak sekarang pasangan melakukan hal itu dan hubungkan dengan keresahan jiwa dan kenakalan remaja.
Dalam iklim psikologis di rumah yang buruk sekali itulah anak tumbuh dan berkembang. Bayangkanlah dampak bagi perkembangan kejiwaan, emosi, kecerdasan, sosial dan spiritualnya!
Jadi, bagimana sebaiknya?
Pertama harus disadari benar bahwa komunikasi pasangan ini sangat penting karena ia mencerminkan iIklim rumah: pondasi keluarga, kesehatan pribadi, kesehatan anggota keluarga, cerminan: kekuatan, kelemahan & kesulitan perkawinan dan kelanjutan serta kepuasan hidup!
Intinya, kalau suami usia masih muda sudah sakit-sakitan jangan-jangan ada masalah besar dengan istrinya. Sebaliknya, bila istri masih muda sakit-sakitan, jangan-jangan suaminya bermasalah!
Untuk itu, kenalilah masa lalu masing-masing pasangan. Apa dan pengasuhan yang bagaimana yang membuatnya seperti sekarang ini yang kita uraikan di atas. Perjodohan adalah sebagian dari iman, karena tidak akan berjodoh Anda dengan pasangan Anda kecuali dengan izin Allah. Jangan mudah menceraikan atau minta cerai, karena itu adalah pekerjaan halal yang dibenci Allah. Perkawinan adalah perjanjian yang sangat kokoh: “Mitsaqan Galidha”. Allah lebih tahu, dari yang Anda rasa dan pikir kurang atau buruk, di situ banyak kelebihan dan kebaikan menurut Allah.
Tapi karena kita kurang waspada dan menyadari bahwa syaithan tujuan utamanya adalah untuk menghancurkan perkawinan, seperti yang dilakukannya terhadap nabi Adam dan ibu Hawa, maka kita akan terkurung dalam penilaian dan pemikiran yang buruk saja tentang pasangan kita.
Jadi, berusahalah untuk meningkatkan keimanan, mintalah pertolongan Allah agar dibukakan mata hati kita untuk: Bersyukur, menerima ketentuan Allah, bersangka baik, melihat kelebihan lebih banyak dari kekurangan, menemukan ‘Inner child” pasangan dan berusaha memaklumi dan perlahan mengubahnya.
Kesulitan utama yang banyak dihadapi orang adalah karena dia tidak mengenal dirinya sendiri. Dia sendiri memiliki ‘inner child” yang parah dan terperangkap di situ. Dia sendiri melimpah, sehingga bagaimana mungkin menolong pasangannya. Dalam situasi seperti ini pasangan ini memerlukan pertolongan ahli, bahkan mungkin butuh terapi. Bila hal ini tidak segera dilakukan, penderitaan keduanya bisa berkepanjangan karena yang jadi korban adalah harapan satu-satunya di masa depan yaitu: anak-anak mereka!
Selanjutnya adalah menyadari bahwa Allah menciptakan otak kita ini berbeda. Jadi pelajarilah akibat perbedaan ini lewat syeikh Google atau mbah Wiki, dan apa dampaknya pada salah pengertian dan salah harapan antara suami dan istri.
Langkah berikutnya untuk memperbaiki komunikasi adalah belajar menjadi “Pendengar” yang baik. Memang tidak mudah, karena kita dari kecil diajarkan untuk bicara dan bicara: lewat lomba pidato, story telling, debat dlsbnya. Tapi tidak ada lomba mendengar!
Mendengar yang baik ada kiatnya:
- Hindari penghalang mendengar, yaitu: lebih mudah membuat jarak dengan pasangan, malas komunikasi, kalau ngomong bukannya dengar tapi memikirkan jawaban, menyaring tanda-tanda bahaya dalam percakapan, mengumpulkan data-data untuk mengutarakan pendapat dan memberikan penilaian terhadap apa yang dikemukakan oleh pasangan.
2. Berusahalah mendengar yang benar dengan:
Bukan hanya diam di depan pasangan yang sedang bicara tapi cari tahu (tanpa “baca pikiran”) apa yang dimaksudkan, dikatakan, dan dilakukan pasangan. Tunjukkan kita mengerti pasangan, sehingga hubungan terasa jadi lebih dekat, bisa menikmati kebersamaan, menciptakan, dan melanggengkan keintiman.
3.Mendengar yang benar membutuhkan COMMITMENT & COMPLIMENT.
Commitment/kesepakatan dengan diri kita sendiri artinya dalam mendengar kita berusaha untuk: Mengerti, memahami, menyisihkan minat dan kebutuhan pribadi, menjauhkan prasangka dan berusaha untuk belajar melihat dari sudut pandangan pasangan.
Sedangkan Compliment/hadiah adalah menunjukkan pada pasangan bahwa “Saya peduli kamu, sanggup ada, saya ingin tahu apa yang kau pikir atau apa yang kamu rasakan dan apa yang kamu butuhkan”.
Semua ini memang tidak gampang tapi bukan hal yang mustahil untuk dilakukan. Cobalah sedikit-sedikit, asal jangan Anda menyerah dan kembali ke pola komunikasi yang semula.
Mungkin yang penting sekali untuk Anda ingat:
Kalau ada kerikil dalam sepatu, terasa menganggu dipakai berjalan, buka sepatunya buang kerikilnya, bukan sepatunya yang Anda ganti. Tidak ada manusia yang sempurna, termasuk Anda!
Yakin bahwa Anda bisa. Pasti bisa!
Bekasi, 19 September 2016.
#Elly Risman.
Bila Anda rasa tulisan ini bermanfaat, tak perlu minta izin silahkan share sebanyak yang Anda bisa. Semoga ada manfaatnya.
https://www.facebook.com/groups/1657787804476058/permalink/1763455740575930/
================
Mengasuh anak tanpa durhaka
Mama: “Ikraam! Kok makan permen sih, kan giginya masih sakit, Nak?”
Anak: “Hm… aku lagi pengen, kan udah lama gak makan permen, Ma”.
Mama: ”Astagfirullah, Nak, Ikram lupa ya bagaimana sakitnya tuh gigi kemaren?”
Anak: “Hm…. enggak..!”
Mama: “Nah, kenapa sekarang makan permen? Dari mana itu permen?”
Anak: “Dari nenek, Ma!”
Mama: “Astagfirullah!”
Does this sound familiar?
Populer sekali di masyarakat kita anggapan atau pemahaman ini: Nenek dan kakek katanya lebih sayang sama cucunya dari pada sama anaknya! Maka sering sekali peristiwa seperti di atas terjadi: Mama melarang makan permen, nenek beliin. Ayah larang nonton TV, kakek bilang gak apa-apa sekali-kali, kan sekolahnya sudah sampe sore, kasihan cucu Kakek.
Selain itu, karena terlalu sayang sama cucu sering kali kakek dan nenek, terutama nenek ikut campur terlalu banyak dan sering dalam pengasuhan cucunya. Bukan saja mengatur orangtua si cucu tapi juga kadang intervensi langsung di depan cucunya.
Yang parah adalah bila kakek nenek tinggal serumah dengan cucu, atau orangtua menitipkan sang anak sama neneknya… whuah… hampir semua peraturan ada dua macam…
Biasanya aturan dari nenek lebih longgar atau tidak sesuai lagi dengan ilmu dan kesepakatan kedua orangtua. Cucu tentu memilih aturan yang dibuat nenek dan kakek.
Buat orangtua terasa berat, bagaimana pun mereka ingin mengasuh anaknya dengan sebaik yang mereka ketahui dan bisa, tapi pada saat yang sama mereka tidak mau durhaka pada orangtua atau mertua.
Untuk menjawab banyak pertanyaan dan permintaan dari teman teman dalam grup ini, kali ini yuk kita bahas seluk beluk pengasuhan 3 generasi.
Mengapa masalah muncul?
1.Kekeliruan kakek nenek sendiri, karena dulu ketika mengasuh anaknya tidak menggenapkannya dengan pengetahuan tentang tanggung jawab menjadi suami istri dan menjadi orangtua. Anak hanya dipersiapkan untuk menjadi: sarjana sesuai minat dan bakatnya, ilmuwan, enterpreuneur, dan pekerja. Sudah dianggap wajar kalau kini kakek nenek menanggungkan resikonya mengasuh cucu sebagai: Tanggung jawab & Cinta! Kasihan kalau cucu hanya diasuh oleh pembantu saja. Apalagi kalau pembantu itu berganti ganti terus.
2. Nenek dan kakek merasa sukses mengasuh anaknya dulu dan cenderung mengulanginya dalam mengasuh cucu. Padahal mereka tidak tidak tahu bagaimana sesungguhnya perasaan dan penilaian anak-anaknya terhadap pola pengasuhan yang mereka terima dulu itu dan kini belum tentu seluruhnya dapat diterima oleh anak dan menantu mereka bila diterapkan pada anak-anaknya.
Pengasuhan: Prinsipnya sama tapi zaman sudah berbeda: Orangtua kini (anak-anak mereka) sudah lebih melek tentang PARENTING.
3. Tidak ada pembicaraan terlebih dahulu antara kakek nenek dan orangtua tentang GBPA: Garis-garis Besar Pengasuhan Anak dan kemudian menyepakatinya. Tujuan apa yang mau dicapai, bagaimana mencapainya, apa PRIORITASNYA dan harapan orangtua tentang do’s and dont’s-nya
4. “Dendam positif”. Dulu waktu kakek nenek membesarkan ortu, hidup banyak susahnya. Keperluan banyak, keuangan terbatas. Kini di usia tua, keperluan menurun, keuangan lebih mapan, dan ada pula pemberian anak-anak. Maka kalau cucu meminta sesuatu, dulu sama emak atau bapaknya keinginan mereka ditahan, ditunda, atau tidak dipenuhi, sekarang tidak ada alasan. Lagian, ortunya “medit atau kenceng” banget. Kasihan tuh cucu! Jadi Nenek dan kakek lebih permisif/membolehkan, bahkan agak sedikit berlebihan. Cucu minta permen satu dikasih dua atau tiga. Mau belajar dengan 3 temannya, bukannya dibelikan 4 popcorn, tapi selusin…
5. Kalau timbul masalah karena ketidaksesuaian harapan dan apa yang dilakukan kakek nenek, ortu jadi “nggak-enakan” sama kakek nenek. Ngegerundel sendiri – masalah tidak terpecahkan apalagi terselesaikan. Kejadian berulang, yang korban masa depan anak dan kesehatan jiwa ortu.
6. Kalau mau di-“omongin” atau dibahas, nggak tahu bagaimana cara yang tepat dan benar. Ujung-ujungnya pasti ketegangan kalau nggak mau dibilang konflik kecil pasti terjadi. Kakek nenek tersinggung atau sedih. Ortu merasa: “Duh gue durhaka nggak, nih ya…”
7. Ortu tidak tahu, bagaimana masa kecil kakek nenek. Jangan-jangan ortu mereka dulu: keras, suka ngeritik atau cenderung memanjakan. Jadi kalau kakek nenek melakukan hal serupa adalah karena masa kecilnya dulu seperti itu (inner child-nya).
Jadi bagamana, dong?
Dari sudut kakek nenek:
1.Kita sudah tua, dulu habis waktu kita untuk mengasuh, mendidik dan menyekolahkan anak-anak kita. Kenapa kita sekarang harus pula melakukan hal serupa terhadap anak-anak mereka?
Betul sebagai kakek nenek kita perlu bertanggung jawab pada Allah terhadap keturunan kita, tetapi kita harus sadar sesadar-sadarnya bahwa kita bukan penanggung jawab utamanya. Yang diberikan benih dan yang mengandungnyalah yang telah dipilih jadi baby sitternya yang memberikan amanah.
Bukan kita!
2. Jadi dengan segala kerendahan hati akuilah kekurangan dan kesalahan kita dalam mengasuh anak-anak kita dahulu. Mungkin kita kurang menyiapkan mereka untuk menjadi suami-istri, ayah dan ibu. Wiring /Peng-kabel-an di otaknya adalah untuk berprestasi secara akademis dan kita minta mereka mati-matian mempertahankan rangkingnya. Kini mereka berusaha sukses dan mempertahankan kesuksesannya di dunia kerja. Dunia kerja lebih baik dan utama dari pada menjadi orangtua. Sehingga dengan mudah dan tanpa merasa bersalah mereka mensub-kontrakkan anak-anaknya.
Jangan-jangan kita telah menjadi role model yang yang keliru yang mereka tiru…
Maka minta maaflah dengan jujur pada anak-anak kita, karena ketidaksengajaan atau kealpaan kita dalam membesarkannya telah menjadikan mereka orangtua yang kurang memiliki rasa tanggung jawab, keterampilan dan daya tahan atau endurance dalam menjalani peran keorangtuaannya.
3. Anak-anak kita harus bertanggung jawab pada si Pemberi amanah, bukan kita! Bantu meluruskan pemahaman mereka dengan penuh kesabaran dan cinta serta pengorbanan. Setelah itu: Pulangkan saja cucu-cucu pada ibunya atau ayahnya…
Tangan berbuat bahu memikul!
4. Kita harus sadar benar, ketika kita muda kita sarat dengan berbagai upaya untuk survive sebagai orangtua dengan berbagai masalah yang kita hadapi. Sehingga mungkin ibadah dan amalan kita seadanya saja. Kita bersyukur dengan semua rahmat Allah yang diberikan kepada kita sehingga kita merasakan kenikmatan punya dan memelihara cucu, yang tidak semua orang mendapatkannya. Tapi kini pulalah, di sisa-sisa usia ini saatnya bagi kakek nenek untuk beribadah dan melengkapi bekal akhirat, menikmati mekar di usia kedua, — bukan dibebani cucu.
“For the sake of your mental health, Grands —- you need space for yourself”: Phisically, mentally, emotionally, socially and spiritually. Enjoy your life!
5. Kalaulah ada hal yang kita rasa kurang pas dan kurang berkenan yang dilakukan anak-anak kita dalam mengasuh cucu cucu kita, maka:
1. Bijaklah dalam menyikapinya.
2. Duduklah bersama. Tanyakan mengapa mereka melakukannya. Semua tingkah laku punya alasan dan punya tujuan. Mungkin mereka telah belajar atau mempunyai ilmu baru dalam mengasuh anak sehingga mereka tengah mencoba menerapkan cara cara yang berbeda sesuai dengan perkembangan zaman.
3. Bila kita ada usulan sebaik mungkin bicara dulu dengan ayahnya (anak kita kah atau menantu), baru bicara
dengan ibunya. Ayah harus kita bantu untuk berfungsi sesuai dengan perannya.
4. Pahami benar bahwa cucu kita hidup di era digital dengan segala konsekuensi dahsyatnya. Jangankan kita, orangtuanya saja tidak akan sanggup mengejar kecepatan anak-anak mereka dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi ini. Maka mundurlah dengan teratur, serahkan pada ibu bapaknya. Karena kita hidup pada dunia yang sudah sangat berbeda dengan mereka.
5. Banyak sabar! Dan sering gigit lidah… tahan kata-kata!
6. Tugas utama kita adalah untuk menjaga dan memelihara bahwa semua berjalan sesuai dengan perintah Allah dan petunjuk Rasul serta semua ketentuan yang ada dalam kitab suci kita…
Maka jangan segan dan berhenti MENASIHATI, bukankah sesungguhnya: ”Addinu Nasihah” – Agama itu Nasihat!.
Dari sudut ayah ibu…
1. Yang harus Anda berdua ingat adalah: Andalah baby sitter-nya Allah.
Berarti Andalah penanggung jawab utama pengasuhan dan pendidikan serta keberlangsungan hidup anak-anak anda, bukan kakek neneknya apalagi baby sitter dan pembantu atau pimpinan dan guru TPA – Tempat Pendidikan Anak. Anda berdua wahai orangtua, dikaruniai dan diamanahi oleh Allah anak yang sempurna; Jangan sampai ketika di”pulangkan” pada Allah-nya dalam keadaan “bonyok”: fisik, jiwa dan keimanannya. Harus Anda ingat: Nanti jawab apa ya di Mahkamah Hisab Allah? Jadi Anda aturlah waktu dan tenaga menjadi orangtua.
2. Yang dibutuhkan anak itu darimu ayah dan ibu adalah WAKTU, bukan mainan dan hadiah tidak juga sekolah keren, reputasinya hebat dengan uang pangkal dan bayaran bulanan yang mahal. Masa depan itu bukan hanya tergantung pada keberhasilan akademis semata yang bersusah-payah Anda gapai. Bisakah dia sukses dengan iman yang rendah dan jiwa hampa menghadapi tantangan zaman dan persaingan yang semakin ketat luar biasa? Ingatkah Anda kisah Rasulullah yang me-lama-kan sujudnya agar cucu-cucunya puas bermain di tengkuk dan belakangnya? Dalam sujudnya saja, Rasulullah berusaha memenuhi kebutuhan jiwa cucunya pada saat mereka butuhkan dalam jumlah yang cukup. Bagaimana dengan Anda?
3. Pendidikan itu berlangsung di rumah – penanggung jawab utamanya Anda: ORTU. Pembelajaran di sekolah penangung jawabnya GURU – jangan diputar balik – Sebaiknya kita ikut melakukan kesalahan berjamaah?
4. Rezeki bukan hanya uang. Anak yang sehat lahir batin, sholeh dan beradab, bahagia dan gembira, cerdas secara intelektual, emosional dan sosial adalah garansi hidup dunia akhirat.
5. Jangan salah tangkap, bukan tidak boleh bekerja. Indonseian Neuroscience Society pernah menyarankan pada pemerintah agar keluarga yang punya anak balita salah satu ortunya harus tinggal di rumah sampai anaknya berusia 8 tahun. Bisa ayah, bisa ibu!
Seorang ahli tentang krisis usia separuh baya (maaf lagi lupa namanya) dari risetnya menyarankan: Agar ibu sebaiknya mulai bekerja penuh kalau anak bungsunya berusia 8 tahun. Harapan hidup perempuan Indonesia 75 -80 tahun. Masih banyak sisa usia untuk Anda aktualisasi diri. Iya! Memang gak bisa kalau Anda bermaksud menjadi pegawai negeri.
Lagipula buat orang muda yang cerdas, multi talenta seperti Anda, bekerja dan memperoleh rezeki kan tidak harus bermakna meninggalkan anak anda 8 – 5 setiap hari, yang kenyataannya Anda akan meninggalkan rumah 14 jam lebih karena jarak dan transportasi. Kan Anda bisa S-O-H-O: membuat Small Office Home Office? Hak Anda untuk tidak setuju dan kesal dengan saran ini. Hidup ini adalah pilihan, hak Anda untuk memilih. Tapi bijaknya juga harus siap menanggungkan segala konsekuensinya.
6. Apa pun pilihan yang ayah ibu akan buat, jangan lupa Anda kini sedang membesarkan anak generasi Platinum di Era digital. Sebagai “orang muda” Anda tahu semua konsekuensi yang terjadi pada anak-anak kita sekarang ini. Ya kecanduan internet, games, pornografi, dsbnya yang berakibat kerusakan pada otak dan akhlak.
Bagaimana mengsub-kontrakkan anak kita pada orang lain, kita saja yang ngasuh bisa kewalahan menghadapi para remaja kita yang sekarang ini bisa jadi youtuber dan ‘memonetized’ akun medsos mereka.
Bagamana anak kita bisa bertahan dan tidak terpengaruh?
7. Kakek Nenek itu nak, bak Matahari! Diperlukan oleh cucunya secukupnya saja: 30 menit sampai 3 jam sehari. Kalau berjemur kelamaan kena KANKER KULIT! Itu saja Anda harus pakaikan dia pelindung matahari yang SPF-nya tergantung usia. Semakin muda usia, SPFnya makin tinggi.
8. Kalau Anda dalam situasi tertentu: Suami tidak bekerja dll maka ayah dari anak-anak harus bertanggung jawab untuk membicarakan dan membahas GPBA dengan kakek nenek sebelum anak-anakmu kau titipkan. Kalau Single Parent, di mana anak-anak sudah tak berayah berpisah atau pergi selamanya, ibulah yang harus melakukannya. Jadi semuanya jelas: aturan dan konsekuensinya. Nanti semua ini dievaluasi secara bijak dan penuh kasih sayang.
9. Pada prinsipnya usahalah untuk tidak membenani kami: kakek neneknya. Walaupun permintaan mereka karena mereka menghadapi sindrom Empty nest. Percayalah nanti misahinnya susah sekali… lagipula prinsip pengasuhan sama, zaman telah berbeda – bila tak berkesesuaian Anda marah dan kecewa?
10. Kakek dan Nenek tidak didesain oleh Allah untuk mengasuh cucu, karena mereka:
a. Mengalami perubahan fisik: semua fungsi organ tubuh menyusut karena usia, termasuk osteoporosis dan berbagai gangguan kesehatan.
b. Dalam proses menjadi tua, hormon testosteron pada kakek dan estrogen dan progesteron pada nenek menurun drastis.
c. Perubahan hormonal tersebut menyebabkan perubahan emosi. Bila tersinggung sedikit sedihnya mendalam dan lama. Bila kesungging sedikit bisa marah besar.
d. Masalah dalam kehidupannya membuat persepsi mereka tentang hidup jadi berubah. Kalau Anda mengajaknya untuk pesiar lalu Anda mau nitip anak karena Anda ada kongres, dia gak butuh pesiar itu. Dia mendingan di rumahnya bisa ke mesjid, sholat berjamaah, pengajian, atau ngobrol sesama teman teman seusianya.
Nah, bagaimana kalau Anda ingin mengoreksi kakek nenek atau ingin menyampaikan pesan padanya tanpa takut dicap kualat atau durhaka, ini kiatnya:
a. Rendahkan dirimu dan suaramu.
b. Rumuskan pendapatmu dan ajukan dalam kalimat bertanya.
c. Tanyakan pendapat beliau.
d. Kalau beliau bertanya baru jelaskan maksudmu.
e. Tanya lagi menurut kakek nenek bagaimana sebaiknya
f. Hindari menggurui ortumu, betapa pun pintar dan tingginya pendidikanmu.
Kalimat bertanya yang diajukan tidak mesti mendapatkan jawaban segera karena pertanyaan membuat seseorang sadar diri.
Jadi lihat baik baik ke dalam hidup Anda: apa prioritas hidup Anda sebenarnya?
Jelas mengapa bangsa kita sekarang seperti ini, karena pengasuhan kita anggap tidak penting, kita hibah-hibahkan/ sub-kontrakan pelaksana pengasuhan anak kita. Mereka tumbuh besar, kuat dan pintar tapi hampa jiwanya. Bagaimana generasi bangsa ini mau kuat?
Selamat berjuang.
NB. Saya bermaksud melengkapi tulisan ini menjadi buku. Bila Anda ada saran silahkan kirim ke kitadanbuahhati@yahoo.com.
Bekasi, 25Juli 2016
https://www.facebook.com/groups/1657787804476058/permalink/1739274706327367/
==============
Memahami mengapa anak menggunakan “Bad words” & bagaimana mengatasinya.
“Tuing!…” denting hape saya menandakan ada pesan masuk.
Saya kerling: nama Firdaus muncul di layar. Firdaus adalah Kepala Divisi Anak dan Remaja (DIAR) di YKBH. Sebagai pimpinan Divisi Firdaus mempunyai kewajiban untuk melaporkan bukan saja rencana kegiatan DIAR pekan atau bulan ini tapi juga dengan cepat memberitahu saya tentang berbagai temuan lapangan, terutama yang genting genting. Biasanya, laporan temuan lapangan ini perlu segera ditidaklanjuti.
DIAR adalah bagian dari YKBH yang sangat saya syukuri dan banggakan kehadiran dan kerja kerasnya. Sejak berdirinya 14 tahun yang lalu, membuat YKBH memiliki data mingguan tentang perkembangan pengetahuan dan kelakuan anak-anak sehubungan dengan perilaku pubertas mereka dan juga hal-hal yang berkaitan dengan pornografi. Luar biasa perannya dalam advokasi yang kami lakukan untuk membangun awareness tentang kerusakan otak akibat pornografi baik ke lembaga Legislatif termasuk ketika berjuang mengesahkan UU Pornografi dan mempertahankannya di Mahkamah Konstitusi, di Kementerian dan Lembaga, sekolah, masyarakat luas, juga ketika memperkenalkan apa yang sudah kita kerjakan sebagai bangsa dalam sidang PBB di Wina serta saat YKBH menerima penghargaan di Amerika.
Jadi beberapa hari yang lalu, pesan yang dikirim Firdaus adalah tentang keluhan berbagai pihak, kepala sekolah, orangtua, pimpinan lembaga tentang semakin meningkatnya penggunaan “bad words” di kalangan anak-anak. Bila dulu kata-kata seperti ini diucapkan dengan mudah oleh anak-anak SMA atau SMP, beberapa tahun yang lalu oleh anak SD kelas tinggi, kini jadi bahasa harian anak SD kelas rendah: murid kelas 2-3!
Masalah utamanya adalah fenomena ini bukan hanya terjadi di sekolah di wilayah JABODETABEK saja, tetapi juga di berbagai kota yang belakangan ini dikunjungi oleh tim DIAR karena kerjasama kami dengan Telkomsel untuk mensosialisasikan program Internet Baik. Saat tulisan ini saya buat, tim kami baru take off menuju Manokwari.
Kapan Bad Words digunakan?
Umumnya ketika anak kesal dengan temannya. Tetapi karena sebagian anak merasa mampu mengeluarkan dan menggunakan kata ini kesannya “keren”, maka mereka mengucapkannya dalam berbagai situasi, keluar otomatis, begitu saja.
Apa saja Bad words yang paling populer?
Saya minta maaf untuk menuliskan ini, tetapi agar ayah bunda tidak merasa aman dan menganggap anaknya tidak tahu kemudian agar ayah bunda mulai mewaspadai anak-anaknya. Kata-kata yang paling digunakan anak untuk mengekspresikan perasaannya adalah “WTF”(What The Fu*k), fu*k, anj*ng, mony*t, ba*i,. dll
Istilah vulgar yang sangat enteng keluar begitu saja dari mulut mereka adalah: nge***t, kon***, dan berbagai cara orang menyebutkan organ kelamin manusia. Hadeuh!!!
Dari mana sumbernya?
Menarik sekali pengamatan dan pemantauan yang dilakukan oleh guru dari berbagai sekolah yang sudah biasa bekerjasama dengan DIAR. Mereka sudah mulai membangun cara komunikasi yang nyaman dengan murid-muridnya untuk mengetahui perasaan mereka dan bekerja sama untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Menurut guru ini anak-anak ini mendapatkan semua bad words tersebut selain dari teman adalah dari beberapa jenis komik tertentu dan umumnya dari vlog youtubers dan social media.
Entah bagaimanalah kontrol penggunaan gadget dirumah, sehingga anak-anak belia ini telah menjadi followers dari beberapa youtubers dan tokoh sosmed yang biasa bicara kasar dan menunjukkan bahwa mampu melakukan hal seperti itu jadi ”keren”. Kami telah mengantongi beberapa nama ‘tokoh-tokoh’ tersebut dari pernyataan anak dan laporan guru.
Jadi bagaimana?
Izinkan saya mengusulkan beberapa langkah yang saya harapkan bisa digunakan baik oleh orangtua maupun guru.
1. Kita harus menyelesaikan dengan bijak dan baik kebiasaan buruk yang mulai merasuki anak kita, karena pertanggungjawaban kita pada Allah untuk menghasilkan anak yang berbudi dan beradab.
2. Mulailah dengan tidak berburuk sangka bahwa anak kita telah melakukannya walaupun mungkin sudah.
3. Tolong sadari dulu, bahwa belum tentu anak mengerti apa yang diucapkannya. Mereka melakukannya umumnya karena meniru dan supaya tidak berbeda dengan temannya.
4. Kita harus berusaha menciptakan suatu situasi yang kelihatannya tidak sengaja untuk membicarakan ini dengan anak, padahal sudah disiapkan dengan rinci.
5. Gunakanlah bahasa yang mudah dimengerti, termasuk untuk menjelaskan istilah dan gunakan kalimat yang pendek-pendek serta banyak kalimat bertanya.
6. Siapan peralatan berupa dua buah gelas, container yang bening atau baskom kecil, air putih dua botol atau di teko kurang lebih 1000 ml, dan cairan kopi agak kental setengah gelas.
7. Berlatih untuk menyampaikannya sehingga kelihatannya tidak serius sekali, tapi santai bak mendongeng.
8. Bercakaplah dengan nada yang rendah dan rileks, tapi fokus. Matikan hape dan minta bila ada, saudaranya ditangani dulu oleh orang lain – jadi tidak ada gangguan.
Hal-hal yang harus kita ketahui lebih dahulu:
1. Kita harus pandai menyidik, kata-kata buruk apa saja yang pernah didengar anak.
2. Harus dibedakan antara anak laki-laki dan perempuan.
3. Dari mana mereka mendengar atau mengetahuinya?
4. Siapa saja di antara teman temannya yang sudah sering mengucapkan kata-kata seperti itu? Sejak kapan?
5. Karena teman temannya sudah biasa menggunakannya, apakah anak juga pernah membalas? apa yang diucapkannya? Kapan?
6. Sudah berapa kali sejak pertama mengucapkannya?
7. Kata-kata apa saja yang sering digunakan anak?
8. Bahas satu-satu apakah anak mengerti atau tidak apa yang dikatakannya. Gunakan kalimat sederhana dan setelah dijelaskan tanyakan apakah pantas kata itu kita gunakan.
Misalnya kata mo***t, ba*i…itu kan binatang
Fu**ck = orang melakukan hubungan suami istri. Pantas tidak kita ucapkan?
Melanggar ketentuan Allah tidak? Jadi hukumnya apa ?
9. Perlu sekali menggunakan banyak kalimat bertanya, karena untuk mejawab anak harus berpikir dan harus menengok ke dalam dirinya sehingga inilah yang penting: menimbulkan kesadaran diri.
10. Cari tahu di titik mana anak tidak bisa mengontrol dirinya sehingga dia terpaksa mengatakannya. Ini kita sebut sebagai: “Keterampilan yang hilang”.
11. Bagaimanakah perasaan anak ketika dia mengucpkan kata kata itu?
Anda bisa menambahkan beberapa hal lain yang ingin Anda ketahui.
Apa selanjutnya?
Pengumpulan informasi di atas bisa saja dilakukan oleh ibu. Tetapi sebaiknya untuk membahasnya dilakukan oleh kedua orangtua. Kehadiran ayah dalam hal ini amat sangat penting karena ayah selain penentu kebijakan dan aturan dalam keluarga, ayah bisa bicara tegas dan meyakinkan dengan menggunakan kalimat yang lebih pendek, terencana sehingga lebih mudah dipahami anak.
1. Mulailah dengan menyampaikan kondisi keluarga kita. Kita keluarga baik-baik dan harus bicara baik-baik seperti yang diperintahkan Allah: Wa kuulu linnasi husna! : Bicaralah baik-baik dengan sesama manusia.
Gunakan kalimat bertanya: kalau Allah sudah memerintahkan kita seperti itu, apakah kita boleh meggunakan bad words?
Buat kesimpulan, bahwa dalam keluarga kita (minimal) kita harus bicara baik-baik dan berusaha di luar keluarga kita kita tetap memelihara diri untuk bicara dengan baik-baik. Menggunakan kata-kata seperti yang diperintahkan Allah: Qaulan Kariman: Bicara dengan kata yang baik,mulia, Kaulan Maisuran: Berkata yang mudah dimengerti, Qaulan layyinan: berkata dengan lemah lembut, dll sambil merujuk ke al Quran: surah dan ayatnya. Biasakan jadikan al Quran sebagai rujukan dan bila perlu ikut mencari dari indeks dan membaca ayatnya dan artinya langsung.
Bila Anda berbeda agama, gunakan cara yang sama dengan kitab suci Anda.
2. Role Play : bagaimana kalau temanmu menggunakan bad words?
Tunggu jawaban. Karena anak harus tahu bagaimana bersikap dalam situasi yang tidak menyenangkan dan dia harus meggunakan keterampilan dan pengetahuan yang ada dalam dirinya, bukan yang kita ingatkan dalam nasihat.
Minta anak untuk memikirkan beberapa alternatif untuk menjawab dan menyikapi temannya. Misalnya dengan mengatakan: ”Maaf ya, aku gak mau ikut ikutan kmu berkata jorok”. “Kalau kamu mau, kamu aja, aku nggak ikut-ikutan!” dan lain-lain.. Biarkan alternatif itu keluar dari anak dan hargai, bahkan kalau perlu puji: Keren, Hebat, Tuh kan anak ayah bisa!
Catatan: Role play sangat penting, karena dua hal:
a. Anak berpikir konkret, jadi harus dengan contoh.
b. Anak perlu memiliki modal yang sudah dibangun, diproduksi di dalam dirinya, tinggal digunakan.
Apalagi semua telah d setujui dan diakui kedua orangtuanya.
3. Kini gunakanlah alat peraga, sambil menjelaskan bagaimana terjadinya “wiring” dalam otak anak karena kebiasaan. Setiap kali apa yang kita dengar dan kita lakukan, otak membuat sambungan. Kalau dilakukan berulang-ulang maka sambungannya akan menjadi sangat tebal karena otomatis. Maukah sampai dewasa berkata kotor dan kasar seperti di you tube dan med-sos?
Bagaimana kalau jadi orangtua, pemimpin perusahaan atau pemimpin orang banyak?
4. Berikutnya ambillah gelas dan isilah ½ dengan air. Lalu ambil cairan kopi dan masukkan setetes. Tanya kepada anak mengapa warna air menjadi berubah? Bagaimana kalau dimasukkan setetes lagi dan lagi dan lagi apa yang terjadi? Buat kesamaan dengan otak yang bersih dimasukkan air yang keruh/kopi dengan otak yang bersih kemasukan kata kata kotor.
5. Seumpama air yang semakin keruh itu tadi apakah menurut anak bisa diubah?
6. Nah sekarang ambillah air yang kotor itu, letakkan di atas container yang kosong. Lalu terus menerus diisi dengan air bersih yang 1000 ml tadi sedikit demi sedikit, sehingga air yang kotor tumpah ke bawah ke dalam container dan air di dalam gelas menjadi semakin bersih.
7. Jelaskan bahwa otak yang kotor bisa dibersihkan bila mau, yaitu dengan terus menerus mengisinya dan menggantikan kata kata yang kotor dengan kata yang baik: tolong, terima kasih , maaf, dan berbagai kata baik atau kata pujian lainnya.
8. Tanyakan pada anak: mau otak bersih apa kotor?
Mau berusaha atau tidak?
Motivasi, dukung dan dampingi!
Berpikirlah positif dan jadilah tauladan, karena contoh atau teladan bekerja ribuan kali lebih baik dari pada kata-kata saja.
Selamat berjuang, yuk kita berusaha melestarikan budaya bangsa kita seperti yang selama ini kita kenal: bangsa yang berbudi luhur dan beradab tinggi.
Jangan sampai terkikis oleh zaman dan teknologi.
Kuala Lumpur, dini hari 21 November 2016.
#Mengasuh generasi digital
Elly Risman
Silahkan share bila dianggap pantas.
https://www.facebook.com/groups/1657787804476058/permalink/1793200390934798/
==============
Saatnya mencermati Permainan
Makna kata MENCERMATI menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: memperhatikan dengan seksama, teliti, penuh minat dan sungguh-sungguh.
Permainan yang saya maksudkan di sini termasuk: benda berupa games dan permainan yang berbentuk kegiatan yang dilakukan anak-anak saat mereka bermain bersama.
Terkejut sekali saya begitu akan presentasi di dua tempat di salah satu kota besar di Jawa Tengah ketika mendengarkan jawaban staf saya tentang temuan apa yang menarik dan mutakhir di daerah ini, dan dia menjawab sebuah permainan yang berkonotasi seks lagi marak di kota itu.
Saya memandangnya tak berkedip, ketika dia menguraikan dan memperlihatkan contoh komik dan website dari apa yang ditiru anak SD untuk dijadikan permainan.
Sudah jadi kebiasaan di YKBH (Yayasan Kita dan Buah Hati) kalau kami (para pembicara dan pelatih parenting) akan memberikan Seminar dan Pelatihan di satu kota, maka tim riset YKBH berkewajiban mensuplai data tentang daerah tersebut, berkaitan dengan topik yang dibahas, terutama dampak negatif dari pornografi terhadap anak dan keluarga. Jadwal dan materi kegiatan Tim YKBH bisa dilihat di FB YKBH.
Karena (masha Allah tabarakallah) kegiatan saya yang padat sekali, kadang kadang saya baru menanyakan hal ini di atas pesawat atau setibanya di hotel, di mana biasanya saya memeriksa sebentar materi presentasi.
Target baru Pebisnis Pornografi
Dari segi konten atau materi sebenarnya kurang lebihlah yang ingin mereka jual dan pasarkan, hanya kini target yang ingin mereka sasar dari segi usia menjadi lebih muda. Bila di tahun 2009 anak yang ingin mereka sasar adalah mereka berusia baligh yang waktu itu bergerak dari 9 -13 tahun, kini telah turun ke anak-anak yang usianya lebih muda, yaitu balita! Mereka bukan saja jadi korban tetapi juga pelaku, seperti yang banyak diberitakan media terutama yang terjadi di Jatinegara beberapa pekan yang lalu di mana GS (5) dicabuli 7 anak lainnya yang berusia 5- 12 tahun.
Yang menarik dari kasus ini adalah bahwa pelaku utama mengetahui materi P dari HP orang terdekat dan kemudian mencari dan menikmatinya dari warnet dekat rumahnya.
Entah bagaimanalah mulanya, tetapi materi materi P yang sampai ke anak-anak ini dalam bentuk digital berubah menjadi bentuk permainan. Belum lagi ada penelitian yang dilakukan bagaimana transformasi ini terjadi, sehingga seperti yang kami temukan di banyak kota, permainan anak-anak sejak balita sampai pra remaja merupakan “acting out” dari materi P yang mereka nikmati.
Saya sebenarnya sungguh merasa sangat berat untuk menguraikan permainan permainan anak ini di sini, tapi setelah bertahun tahun permainan ini menjadi semakin meluas dan dirisaukan banyak orangtua seperti yang saya ketahui dari beberapa whatsapp grup (WAG), maka izinkanlah saya menjelaskan dua permainan saja yang kini sangat populer dan permainan baru yang kami temukan itu, sehingga teman teman bisa meningkatkan kewaspadaannya dalam mengamati anak masing-masing.
Salah satu contohnya adalah permainan Starter yang dihebohkan akhir-akhir ini di beberapa wag. Padahal kami telah menemukan permainan ini dilakukan anak-anak SMP dan SD kelas tinggi (4 -6) sekitar 5- 6 tahun yang lalu. Permainan ini dilakukan dengan anak disuruh membuka lebar pahanya dan teman yang didepannya meletakkan telapak kaki di selangkangan temannya dan melakukan kegiatan seperti menginjak gas dan membuat bunyi seperti sedang menstarter motor atau mobil dan memainkan kakinya mundur maju. Kegiatan ini disaksikan dan disemangati oleh teman temannya.
Contoh lain yang ingin saya share adalah permainan yang dinamai oleh anak balita sebagai: main Odom-odom-an. Permainan ini sudah kami temukan 4 tahun yang lalu dan sekarang semakin banyak saja. Anak-anak balita memainkannya berkelompok, masing-masing kelompok terdiri dari dua orang. Seorang anak dengan posisi seperti orang rukuk dan yang satu lagi berdiri di belakangnya. Anda tahu apa yang saya maksudkan.
Tidak bisa kami temukan dari kedua permainan ini, dari mana mereka menemukan nama dan siapa pertama kali menciptakan permainan dan namanya. Tapi yang jelas tidak mungkin anak-anak ini.
Inilah yang saya ingin sampaikan bahwa kenyataannya yang pahit kami temukan dari kajian internal yang kami lakukan secara intensif adalah kini banyak orang dewasa atau dewasa muda yang telah kecanduan P dan kemungkinan mengalami gangguan pada fungsi mulia otaknya telah menjadi produsen dari berbagai produk: mainan yang dijual sebagai “jajanan” dan permainan anak-anak yang kini sangat mudah kita temukan bila saja kita mau “cermat”.
Permainan dalam bentuk games yang terakhir kami temukan dua hari yang lalu itu adalah tentang anak perempuan yang lebih besar dari kelas yang lebih tinggi menggoda adik kelasnya yang laki laki dengan mempertontonkan dadanya dan mengajak adik kelas tersebut “mengelaborasinya“.
Dari mana anak-anak ini mendapat kan informasi tentang hal ini? Ternyata ada: komiknya, ada PS-nya dan ada video animasinya…
Saya dan tim kami amat sangat khawatir, bahwa apa yang dinikmati anak lewat komik hard copy dan digital serta PS ini, seperti yang sudah sudah akan segera jadi permainan nyata seperti starter dan odom-odoman.
Kalau mau ditelaah lebih jauh, pola anak perempuan lebih besar “main” dengan anak lelaki lebih muda juga sudah di-“sosialisasikan“ dengan sangat masif melalui berbagai cara antara lain social media. Tokoh sosmed yang sangat menghebohkan kelakuan buruk dan kata-kata kasarnya sehingga dipanggil Menkominfo, kan mencontoh dan mensosialisasikan bagaimana menggaet pacar lebih muda dan berkencan bahkan di mobil dengan pacarnya itu. Semua kehidupannya menit ke menit dengan pacar itu diekspos di social media.
So what gitu loh
Dengan semua temuan di atas, saya hanya mampu mengimbau Anda yang membaca tulisan saya ini untuk:
a. Lebih waspada dengan keadaan anak-anak Anda.Pertimbangkan benar pembagian waktu dalam hidup anak-anak Anda antara belajar dengan beban pelajaran yang sangat berat, dengan kebutuhannya untuk beribadah, bermain dan bercengkrama dengan keluarga, serta tidur yang cukup.
b. Jangan latah, karena alasan apa pun yang Anda miliki karena Anda berkewajiban untuk mempertimbangkan masak-masak banyak hal sebelum membelikan mereka perangkat elektronik: tablet, hape, games, laptop dll.
Selain usianya, yang penting adalah penjelasan tentang dampak positif dan negatif dari semua fasilitas tersebut ada di tangan anak, juga kemampuan anda untuk mendampingi dan mengontrolnya serta kemungkinan negatif anak Anda kecanduan dan “acting out”! Anak bukan hanya bisa jadi korban tapi pelaku!.
c. Sesibuk apa pun Anda, jangan lupa ke tangan jiwa Anda Allah menitipkan jiwa lain yang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah. Mereka juga menentukan hidup Anda nanti di hari tua: tenang dan bahagia atau tidak, baik di dunia maupun di akhirat. Jadi harus ada waktu untuk mengarahkan, membimbing, mengendalikan, mengontrol, dan mendidik seluruh aspek kehidupannya. Bagaimana kalau Anda tidak punya hal yang esensial untuk melakukannya, yaitu: WAKTU.
d. Anak-anak perlu sekali pengamatan untuk menemukan perkembangan perasaan lewat ekspresi wajah dan bahasa tubuh, perbedaan perilaku. Semua memerlukan dialog yang lembut tapi intensif. Kalau tidak, bagaimana kita menemukan apa yang dialami anak dalam kesehariannya. Permainan apa saja yang dimainkan temannya. Jangan sampai anak sudah mempraktikkan permainan yang tidak patut kita tidak mengetahuinya. Saya pernah mempunyai pasien yang patah tulang pahanya karena bercanda.
e. Kita harus menyidik dan menanyakan permainan apa saja baik dalam bentuk games ataupun yang dimainkan langsung oleh anak dan teman-temannya. Dari mana asalnya, atau siapa yang pertama sekali memulai. Apa dampaknya bagi anak. Apakah dia ikut-ikutan memainkannya atau dia dipaksa. Bagaimana perasaannya sekarang ini.
f. Dari semua informasi yang anda dapatkan anda duduk :ayah dan ibu merundingkan bagaimana menghadapi dan berkomunikasi dengan anak Anda. Langkah apa yang harus dilakukan dan yang paling penting adalah melatih anak Anda menyikapi situasi dan pengaruh buruk teman temannya. ROLE PLAY-kan.
g. Jangan anggap SEPELE informasi kecil yang Anda dapatkan. Sidik dengan bijak.
h. Jangan lupa Anda mengasuh dan membesarkan GENERASI PLATINUM di ERA DIGITAL..
Sementara ini kita tak bisa berharap pada pemerintah kita, maka…
Selamat Berjuang
Bekasi, 28 November 2016
Elly Risman.
Silahkan menyebarkannya bila anda anggap perlu.
#Parenting Era Digital
https://www.facebook.com/groups/1657787804476058/permalink/1796677323920438/
================
Your words shape your children’s world!
“Andreeeeiii…. Tobat deh, tuh liat deh naliin sepatu aja dari tadi gak bisa bisa… Bener bener deh.. lama banget!” teriak bu Anton pada anak laki-lakinya yang berusia 6 tahun yang masih berkutat menalikan sepatunya.
Kehilangan kesabarannya, bu Anton menghampiri anaknya dan mengatakan: ”Ngiket tali sepatu aja nggak bisa-bisa Dri, bagaimana coba nanti masa depanmu?”
Andri memiringkan kepalanya dan menatap ibunya dengan pandangan heran tanpa kata-kata lalu meneruskan mengikat tali sepatunya.
Mungkin dalam hatinya ia berkata: ”Ya Allah mama.. ini kan urusan ngikat sepatu doang.. Masa depan masih jauh banget!”
Tidak sengaja mungkin, tapi banyak sekali kalimat kalimat negatif terlontar dari mulut orangtua ketika menghadapi kenakalan, kelambatan, atau tingkah laku yang tidak sesuai dengan harapan, baik bernada meremehkan, merendahkan, atau menjatuhkan terhadap anaknya.
Padahal banyak orang percaya bahwa kata-kata orangtua itu bak sebuah doa…
Saya teringat pengalaman saya berpuluh tahun yang lalu ketika saya dan teman-teman pelatih dari Yayasan Kita dan Buah Hati menyelenggarakan pelatihan Bagaimana Ngomong dengan Anak di daerah kumuh belakang Mall Mangga Dua Jakarta Pusat. Mula-mula pelatihan ini hanya diminati beberapa orang saja. Di hari kedua, ruangan kecil sebelah rumah pak RT itu tak sanggup menampung ibu-ibu yang berminat untuk ikut serta. Selama pelatihan itu banyak sekali ibu-ibu yang menyesal bahkan menangis dan bertanya bagaimana caranya agar mereka dan anak mereka bisa berubah. Pasalnya selama ini karena hidup mereka susah penuh tekanan, ibu-ibu ini sering kehilangan kesabarannya dalam menghadapi anak-anak mereka. Mereka bukan saja berkata kasar, mencubit, memukul tapi juga mengatai-ngatai anak mereka menggunakan kata kata yang mereka sebut “kebun binatang”. Seorang ibu mengadu sambil berurai air mata pada saya: “Emang bener Bu, makin lama kelakuan anak saya makin bandel dan keras banget aja, Bu! Bagaimana Bu, bantuin saya….”
Tak luput pula dari kenangan saya bagaimana ibu saya mengingatkan seorang ibu yang masih keluarga jauh kami agar menjaga dirinya supaya “mulutnya tidak terlalu tajam” pada anak lelakinya yang sudah remaja. “Nanti,” kata ibu saya, “kalau hidup anakmu seperti kata katamu, kau juga yang akan menderita!” Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun…kami semua menyaksikan bagaimana ibu itu menderita karena susahnya penghidupan anaknya itu. Dia datang menemui ibu saya menangisi nasib anaknya. Ibu saya menganjurkannya untuk minta ampun pada Allah.
Parenting is all about wiring, bagaimana ujung-ujung sinaps kita terkoneksi oleh pengalaman pengalaman hidup kita, termasuk kata-kata dan sikap serta perilaku yang kita terima. Tak ubah seperti lampu-lampu yang banyak dalam sebuah ruangan. Di belakang lampu lampu itu pasti banyak kabel-kabel yang menghubungkan satu lampu dengan lampu lainnya. Ada warna biru, hijau, kuning, merah, putih, dan dibalut selotip. Tekan satu tombol, semua lampu menyala.
Begitulah, kebiasaan kebiasaan yang terbentuk sengaja atau tidak selama pengasuhan baik dari orangtua dan orang sekitar, akan keluar otomatis ketika seseorang itu menjadi orangtua pula nantinya, lepas dari tinggi rendahnya jenjang pendidikan dan kelas sosial.
Sebagai contoh adalah pengalaman yang sama yang saya peroleh dalam ruang praktik saya.
Seorang gadis remaja yang cantik dan lembut kelihatan sangat bingung, nyaris depresi duduk mematung di depan saya. Dari pembicaraan yang panjang ternyata dia tidak sanggup menggapai target yang diharapkan ibunya yang baginya terlalu tinggi. Dia lelah melompat dan melompat meraihnya ternyata tak pernah sampai, sehingga jiwanya terengah-engah. Harapan ibu itu disampaikan dalam kalimat yang bagus dan nada rendah, tapi menekan dan nyelekitnya bukan main… Semua upaya anak ini tak pernah berharga. Bak kata orang: “When the best is not enough!” Padahal kedua orangtuanya pascasarjana lulusan negara adidaya. Bahkan ketika suatu saat ibunya sangat kesal, ia sempat mengatakan pada anaknya: ”Lihat tuh kamar anak gadis gak ada bedanya sama kandang ba**!”
Entah bagaimanalah dulu nenek anak ini mengasuh ibunya.
Tidakkah dalam keseharian kita, kita menemukan hal serupa terjadi di sekeliling kita? Dan kini,a nak itu seperti ibu di atas telah menjadi orangtua atau pejabat publik, pimpinan dunia usaha atau lembaga. Tidakkah sesekali atau seringkali pengalaman lamanya otomatis muncrat dalam kesehariannya? Kata-kata kasar bahkan keji dan sikap sikap yang kurang terpuji? Atau kita menemukan dan mengalami ada di lingkungan keluarga atau masyarakat seseorang yang sangat baik dan rendah hati, santun dan dermawan, atau bersikap terpuji bak negarawan? Paling tidak kita mengetahui bagaimana “wiring” mereka.
Kalau Anda bawahan orang yang kasar dan Anda mau jadi mulia, maka maafkan sajalah. Yang sehat yang ngalah. Mau tak mau kita benarkan jualah pepatah lama: Buah jatuh tak jauh dari pohonnya!”
Bagi kita yang penting adalah mewaspadai diri sendiri dalam berkata-kata, karena kita tentu tak mau menderita di hari tua, ketika menyaksikan anak kita suatu hari nanti memarahi anaknya, cucu kita!.
Makna kata-kata bagi anak.
Bila kata-kata yang keluar dari ayah ibu, kakek nenek, paman bibi, guru, dan orang penting lain sekitar anak penuh kasih dan sayang, penerimaan, penghargaan, dan pujian, maka jiwa anak menjadi sangat padat, kokoh, dan bahagia. Keadaan ini yang membuat mereka merasa berharga dan percaya diri. Tapi bila sebaliknya, konsep diri tidak terbentuk dengan baik, hampa dan berongga, dari mana anak bisa merasa berharga hatta di depan orangtuanya sendiri? Apalagi PeDe!
Anak-anak seperti ini akan tumbuh jadi pribadi yang sulit diajak kerja sama, melawan dan menyimpan berjuta emosi negatif dari sedih yang dalam, kecewa, bingung, takut, ingin menjauh dari orangtua, benci, bahkan sampai dendam!
Bagaimanalah hubungan anak dan orangtua tersebut? Jarak antara keduanya tak bisa dihitung dengan kilometer. Apa yang ditanam itulah yang dipetik di hari tua. Hanya anak dan orangtua itu saja yang paham bagaimana sesungguhnya makna dari hubungan mereka. Karena umumnya hal ini susah diungkapkan dengan kata-kata, hanya hati yang merasa.
Perbaiki kata dalam bicara dan lempar anakmu ke masa depan secara emosional…
Otak kita, seperti juga tubuh kita berkembang dan berfungsi secara bertahap, pakai proses. Tentu saja perlu waktu. Tapi banyak orangtua lupa akan hal ini dan ingin semuanya berlangsung cepat. Jadi seringkali mereka bicara dengan anaknya seolah anak itu sudah besar dan mengerti apa yang dia katakan dan harapkan.
Saya tak hentinya bersyukur dianugerahi Allah orangtua yang bijak dan menjalankan aturan agama. Berkata dengan baik-baik, memanggil dengan panggillan yang baik, penuh kasih dan perhatian.
Waktu kecil, saya sangat kurus, kulit sawo matang agak gelap dan asmatis pula, bayangkanlah!
Apa yang diajarkan ayah dan ibu saya selalu bertahap dan dengan ajakan dan harapan tentang masa depan yang saya jangankan bisa membayangkannya, mengerti saja tidak.
Suatu hari ibu saya berkata pada saya: ”Mau nggak Elly, mama ajarkan bagimana caranya masak dengan cepat?”. Lalu ibu saya bercerita tentang mengapa itu perlu, memberikan contoh di keluarga kami ada ibu ibu yang sudah punya anak tapi tak mampu melakukan tugas dapur dan tata laksana rumah tangganya dengan baik. Lalu ibu saya melemparkan saya secara emosional ke depan dengan berkata seperti ini: ”Nanti, insya Allah Elly akan punya suami yang hebat, pejabat pula. Sebagai perempuan, kita ini, Nak, harus bisa “diajak ke tengah”(masuk dalam pergaulan menengah), tapi rumah dan dapur harus selesai!”. Saya tidak bisa membayangkannya.
Puluhan tahun kemudian, seperti orang lain juga, kami merangkak dari bawah dan sampai pada suatu titik, di mana sebagai staf dari pejabat tinggi negara kami kebagian tugas untuk menerima tamu yang juga merupakan pejabat tinggi atau utusan negara lain pada saat “open house” lebaran di rumah beliau.
Saya datang dan mencium lutut ibu saya, berterima kasih atas kata-kata beliau dulu dan doanya. Saya tidak bisa datang di hari pertama lebaran karena saya mendampingi suami saya bertugas. Seperti yang dulu beliau sering ucapkan kepada saya, benar adanya: suami saya “membawa saya ke tengah!”. Ibu saya membelai-belai kepala saya dan menciumnya.
Mungkin bagi orang lain ini hal sederhana dan biasa saja, tidak begitu buat seorang Elly yang dulu kurus, hitam, dan asmatis pula. Lagi pula, kami berasal dari sebuah kampung di ujung Sumatra, yang namanya tak akan Anda temukan di peta! Apa yang saya alami buat saya dan keluarga saya sesuatu yang luar biasa, tak terbayangkan sebelumnya.
Di daerah kami itu, ada kebiasaan orangtua bila marah menyebut anaknya: “Bertuah!” yang artinya “Sakti, Keramat, Beruntung, atau Selamat!”
Jadi kalau anaknya nakal sekali ayah atau ibunya akan berkata atau berteriak: “Ya Allah ini anaaaak, benar-benar ‘bertuah’ engkau!”.
Seandainyalah kalau kita lagi marah sama anak kita, kita bisa mengucapkan kata yang serupa….
Belakangan saya membaca riwayat Imam Abdurrahman Sudais yang mungkin juga anda sudah tahu. Bagaimana ketika beliau kecil, juga suka iseng atau mungkin nakal. Ibu beliau tengah menyiapkan jamuan makan dan sudah mengatur dengan rapi makanan yang akan disantap. Tak disangka Sudais kecil mengambil pasir dan menaburkannya di atas makanan tersebut. Tapi mulianya sang ibu yang sangat kecewa itu: Beliau “menyumpahi” anaknya dengan kata:” Ya Allah semoga anakku ini menjadi imam Haramain!” (Kedua mesjid: Al Haram dan Nabawi)
Di negeri kita ini banyak kisah serupa. Saya menamatkan membaca buku Athirah yang mengisahkan riwayat hidup ibunya bapak wakil presiden Jusuf Kalla, yang sekarang filmya sedang tayang di bioskop.
Alkisah ibu Athirah ini sedang berkendara dengan pak JK dan mereka melewati rumah Gubernur Sulawesi Selatan. Ibu Athirah berkata (kurang lebih) pada anak lelakinya yang sangat setia ini: ”Saya sebenarnya mengharapkan engkau tinggal di rumah itu!”. Kenyataannya, pak Kalla dapat jabatan yang lebih tinggi dari Gubernur.
Walaupun sebagai orangtua kita telah berusaha melakukan yang sebaik yang kita bisa untuk anak-anak kita, tapi kita tetap manusia yang bersifat silap, salah, tidak tahu atau lupa!
Saya pun juga begitu, tak luput dari semua itu. Saya melakukan banyak kesalahan sebagai seorang ibu. Lalu begitu sadar, saya sujud, mohon keampunan Allah .
Marilah kita lihat masa lalu kita lewat kaca spion saja agar tidak lupa, tapi yuk kita fokus ke masa depan. Kita minta ampun pada Allah untuk semua keliru dan salah yang kita lakukan sengaja atau tidak sengaja. Kini dan ke depan mari berikan anak kita pondasi yang kokoh untuk mampu tegar di tengah persaingan yang semakin seram saja.
Percayalah, semua anak akan Allah beri masa depan dan itu bak dinding yang hampa. Biarkanlah anak itu melukisnya sendiri.
Marilah kita terus menerus belajar mengendalikan kata-kata karena: Your words shape your children’s world!
Bekasi, 2 Oktober 2016
#Elly Risman
https://www.facebook.com/groups/1657787804476058/permalink/1769504903304347/
========================
Bijak menghadapi: Tantangan pengasuhan sehari-hari
Kali ini saya ingin mengajak anda para orangtua pembelajar untuk bersama menengok keseharian anak kita, dan kemudian untuk mengenali tantangan pengasuhan sehari-hari di mana kita bergulat untuk membentuk anak-anak kita menjadi anak-anak yang seperti diperintahkan Allah yaitu anak-anak yang utamanya menjadi penyembah Allah – Li ya’buduun.
“Berapa usia anak-anak anda kelas berapa mereka sekarang?”
Saya ambillah contoh anak SD kelas rendah dulu, yaitu kelas -3. Dari sini nanti kita dengan mudah menaikkan jejangnya dan juga memahami kemajemukan masalah yang kita hadapi sehari-hari.
Mengenai jadwal ini sangat bergantung aturan di masing masing keluarga, jam masuk sekolah, jarak tempuh dst. Kalau mau anak diajar dan dilatihkan sholat shubuh tepat waktu, berarti kita sudah coba membangunkan anak 10’ – 15’sebelum waktu sholat tiba, sekitar 03.50 atau pukul 04.00.
Kita buatlah jadwalnya sebagai berikut:
03.50 – 04.05 Bangun, siap-siap untuk sholat
04.10 – 04.25 Sholat subuh, baca Qur’an atau bahas hal-hal agama yang lainnya
4.25 – 6.30 Mandi, siap-siap, membantu tugas RT lainnya, sarapan. Mengulang pelajaran atau mengerjakan tugas RT atau bantu ibu atau bercengkrama dengan keluarga.
6.30 – 7.00 Berangkat sekolah
07.00 – 13.30 Di sekolah
13.30 – 14.30 Pulang sekolah, sampai di rumah. Sangat tergantung jarak rumah – sekolah dan macet tidaknya jalan dan kendaraan yang digunakan.
Ini kurang lebih jadwal untuk kelas rendah. Semakin tinggi kelas anak semakin sore tibanya di rumah. Anak kelas 4-6 biasanya sampai di rumah berkisar antara pukul 4- 5. Sementara anak SMP biasa sampai di rumah magrib atau bahkan malam hari. Apalagi kalau ada tugas berkelompok atau les tambahan. Riset kami menujukkan bahwa umumnya anak-anak SD akan les 2-3 hari dalam seminggu, sementara anak SMP akan les lebih banyak hampir 5-6 hari dalam seminggu.
Orangtua yang terlalu cemas akan banyak hal dalam keberhasilam akademis anaknya di masa depan atau yang terlalu sibuk sehingga sulit untuk punya waktu dengan anaknya akan mengatur jadwal les yang padat. Alasannya daripada waktu digunakan tidak menentu lebih baik anaknya ikut bermacam-macam les.
Marilah kita sadari berapa padatnya otak anak dengan berbagai tugas tersebut, berapa lelah jiwanya dan jerih badannya. Dini hari besoknya, dia akan menghadapi lagi hal yang sama. Terus dan terus dan terus…
Sudahlah capek, umumnya orangtua tak sanggup menerima bahasa tubuh yang menunjukkan kelelahan dan sikap yang agak malas-malasan dan lama dalam menyelesaikan sesuatu yang disuruh. Apalagi kalau berkilah, membantah, memprotes, berkata dengan nada tinggi, menolak melakukan atau mengerjakan sesuatu.
Wah bayangkanlah reaksi orangtua, apalagi mereka yang tadi seharian sudah habis tenaga dan emosinya terkuras di luar rumah, lepas dia bekerja atau sekedar aktivitas ‘killing time “saja. Memukul mungkin tak sembarang orang, tapi apa kabar dengan kata-kata?
Banyak yang tidak paham bahwa kata kata yang tajam walau dalam nada rendah menusuk ke dalam jiwa, “verbal abuse” namanya. Kalau perasaan diabaikan bahkan di-”iris dan dihunjam” juga atas nama kepuasan emosi ibu dan ayahnya, “emotional abuse” istilahnya.
Bagaimana anak tidak menumpuk lapisan emosi yang tinggi dalam dadanya yang sekali meledak bak air bah yang bobol tanggulnya.
Lupa, hal ini sudah berlangsung lama, sejak usia 6-7 tahun, atau mungkin lebih muda. Tak disadari hari telah berganti minggu, minggu berganti bulan. Bulan terlah beralih tahun dan tahun dan tahun….
Siapa yang mengerti beratnya beban pikir dan jiwa anak? Dengan dalih masa depan yang masih sekitar 15 – 20 tahun lagi itu, sejak muda usia anak dipacu dan didera untuk mempertahankan prestasinya sekuat yang dia bisa.. Bukan hanya badan, banyak yang tidak paham betapa jiwa anak dan remaja kita ini pun tak sempat bernapas.
Anda mungkin tidak percaya, bahwa 7 dari 15 pemerkosa Yuyun yg sempat saya temui bersama dengan dr. Dewi Inong di penjara, menyatakan bahwa mereka menyimpan dendam pada ibunya: karena kata-kata yang mereka terima terlalu menusuk jiwa!
Apa yang hilang dari pengasuhan?
Banyak!
1. Yang pertama adalah hilangnya kehangatan, kebersamaan dan keceriaan anak-anak dan remaja.
2. Cinta belajar. Beban pelajaran dan waktu belajar yang padat kita khawatirkan telah mencederai semangat belajarnya. Mereka masih akan belajar belasan tahun lagi. Kalau sekarang sudah “bantat” karena lelah jiwa, dari mana akan diperolehnya semangat dan kecintaan menuntut ilmu dan untuk menyelesaikannya sampai jenjang yang tinggi?
3. Yang paling mahal yang hilang bila tak pandai-pandai mensiasati adalah dialog. Karena waktu yang sempit, pola bicara hanya perintah larangan dan komentar. Bagaimana akan menyampaikan pesan, membentuk kebiasan baik, menambah pengetahuan, memperluas wawasan dan yang paling penting bagaimana bisa mengetahui kebutuhan utama anak dan mendengar dan memahami perasaannya?
Percakapan berpusar hanya pada masalah akademik semata.
4. Banyak hal esensial yang harusnya dibahas diajarkan pada anak jadi tak kebagian waktu, apalagi kalau kedua orangtua sibuk: Berbagai aspek dalam penanaman aqidah yang lurus, ibadah yang benar, amalan yg shalih dan akhlak mulia serta berbagai kisah kenabian dan para sahabat yang mulia tak sempat dilakukan.
5. Hal lainnya yang umumnya sungguh terabaikan adalah persiapan pra-baligh dan keharusan bijak berteknologi.
Apa yang terjadi?
Tanpa terasa oleh karena jadwal yang padat dan ortu yang sibuk, tahu tahu anak sudah pra-remaja. Mereka sudah “sexually active” sementara persiapan untuk baligh jauh dari memadai. Anak kurang memiliki berbagai pengetahuan dan keterampilan hidup, padahal mereka adalah generasi Platinum yang hidup di era digital. Tiba-tiba terasa kita memiliki banyak sekali masalah.
Karena beratnya beban hari hari yang dihadapi anak, mereka mencari kesenangan dengan atau melalui handphone, laptopnya, games dan berbagai fasilitas teknologi lainnya. Anak terpapar pada berbagai bentuk kriminalitas, narkoba, perjudian, berbagai bentuk kenakalan remaja lewat sosial media dan tentunya pornografi yang sudah sering sekali kita bahas di grup ini.
Kita menghadapi berbagai masalah perilaku yang luar biasa rumitnya, tak menyadari sebab-musababnya karena merasa semua berjalan seperti biasanya dan kini bingung mencari solusinya.
Bagaimana sebaiknya?
Berikut sekedar usulan saya bagaimana menghindari bila belum terjadi dan mengatasinya bila sudah terlanjur tidak sengaja.
1.Cukupkanlah kehangatan anak dan kelengketan jiwa ke jiwa dengan kedua orangtuanya. Penuhi bejana jiwa anak kita pada saat dia butuhkan dalam jumlah yang cukup oleh kedua orangtuanya.
2. Riset yang kami lakukan menunjukkan bahwa pasangan muda lupa merumuskan dan menyepakati tujuan pengasuhan anak-anaknya Kacaunya arah pengasuhan anak adalah karena orangtua lupa merumuskan Tujuan Pengasuhan dengan rinci, bukan hal hal yang umum dan generik seperti: Menjadikan anak shalih dan shaliha saja.
Ada tujuh Tujuan Pengasuhan yang kami sarankan berdasarkan riset kami.
1. Menjadi hamba Allah yang Taqwa, imannya lurus, ibadahnya benar dan baik, serta akhlaknya mulia.
2. Diasuh dan disiapkan untuk menjadi calon suami dan istri.
3. Dipersiapkan untuk menjadi ayah dan ibu.
4. Dididik untuk menjadi ahli dalam bidangnya secara profesional.
5. Disiapkan menjadi pendidik, terutama laki-laki karena mereka akan menjadi pendidik utama istri dan anak-anaknya serta bila perlu keluarganya.
6. Khusus untuk laki laki dipersiapkan untuk jadi pengayom bagi kedua orangtua, keluarganya dan keluarga besarnya. Dia terutama yang bertanggung jawab mengurus kedua orangtuanya terutama kebutuhannya, ketika mereka tua dan sakit, serta mengurusi dan mengimami sholat jenazahnya.
7. Anak laki-laki dan perempuan diasuh untuk juga bisa bermanfaat bagi orang banyak.
Dengan adanya rumusan yang jelas tentang Tujuan Pengasuhan ini maka bisa dibuat kesepakatan antara suami istri dalam menjalaninya dan membuat rencana evaluasi serta bagaimana berbagi taggung jawab dalam pelaksanaannya.
Mengapa sering sekali terjadi kekacauan seperti di atas, karena mengasuh anak tidak punya tujuan, tak terbangun prinsip yang jelas sehingga mudah latah atau hanyut dalam TREN, bagaimana orang sekitar mengasuh anaknya.
Kalau orang lain fokusnya hanya sukses akademis, yah kita gak perlu sama. Kita punya 6 tujuan lainnya yang harus kita capai, diuraikan dalam tahapan usia dan dibuatkan rencana bagaimana mencapainya. Itulah Pe Er anda berdua sepanjang kehidupan sampai anak dewasa!
3. Selanjutnya adalah membuat rumusan tentang apa yang dibutuhkan berdasarkan usia untuk setiap aspek dari Tujuan Pengasuhan.
Misalnya untuk menjadikan keimanan anak lurus, ibadahnya baik dan akhlaknya mulia: Apa tugas ayah dan apa tugas ibu. Ayah menentukan garis besarnya lalu ayah dan ibu berbagi tugas dalam pelaksanaan kesehariannya. Tentulah dalam prakteknya bisa salah dan keliru atau terlupa, tapi karena ada tahapan evaluasi, maka semuanya bisa diluruskan kembali.
Bak kata pepatah: Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit.
Orangtua terpaksa menjadi pembelajar sejati. Bukan anaknya saja yang dikirim ke sekolah agama, ayah dan ibu mengaji untuk bisa menjadi guru pertama dan utama anaknya.
Yang penting dalam mengajarkan agama untuk anak bukan hanya sekedar mereka BISA tapi SUKA.
4. Persiapan menjadi suami istri, ayah dan ibu sama halnya dengan mengajarkan agama, ditentukan terlebih dahulu aspek apa yang diperlukan untuk menjadi suami dan istri serta ayah dan ibu yang baik. Kemudian diturunkan apa yang perlu dididikkan sejak kecil. Umpama kue dibuat “bite size”, dalam bentuk kecil yang bisa dikunyah. Misalnya anak memperoleh kepercayaan diri dari kehangatan hubungan dan rasa percaya yang ditunjukkan oleh orangtuanya. Kalau dia 7 tahun sudah terbiasa mengurus diri sendiri dan bisa membantu adiknya .. dstnya
5. Begitu jugalah dengan pendidikan formal. Usahakanlah agar anak masuk sekolah usia sekitar 7 tahun. Di usia ini mereka secara fisik, perkembangan otak, emosi, dan sosialnya lebih siap untuk belajar.
Berarti waktu kapan mulai masuk TK-nya dihitung mundur.
Pilihan sekolah akan mengacu pada Tujuan Pengasuhan. Kita tak akan membuat anak kita habis tenaga dan waktunya hanya sukses untuk akademis semata, karena kita punya hal-hal lain yang harus dicapai.
Mencari sekolah punya dua pilihan:
Misalnya untuk SD:
a. Mata pelajaran padat tapi waktu pendek, pulang 11.30 atau jam…
b. Waktu belajar panjang tapi materi tidak berat sesuai dengan kemampuan jarak perhatian dan kapasitas otak anak. Kita ingin anak tidak terbebani tapi mendapatkan pendidikan yang patut bagi usianya.
Sebagai contoh ada sekolah yang kelas satu pulang jam 2, tapi sejak jam 11.30 anak punya kesepatan tidur satu jam. Di atas jam 12.30 tidak ada lagi mata pelajaran yang berat. Atau sekolah lain pelajarannya seperti berikut ini: Senin :Komputer – PKN – Silat. Selasa: Renang – Perpustakaan (baca buku) – IPS. Rabu: Bahasa Inggris – Perpustakaan – Penjas dstnya.
Karena kita punya target pengasuhan, maka kita harus mencari sekolah yang tepat dan menunjang tercapainya tujuan pengasuhan kita.
Anak kita harus punya waktu untuk bercengkrama dengan orangtua dan saudaranya, beribadah dengan benar dan baik, bermain yang menyenangkan, dan tidur yang cukup.
Saya teringat kata kata bijak dari tokoh pendidikan Amerika: Neil Postman, yang sejak tahun 1982-an sudah meramalkan keadaan anak-anak kita dalam bukunya The Disappearance of Childhood.
“Jangan kaucabut anakmu dari dunianya terlalu cepat, karena kau akan menemukan orang-orang dewasa yang kekanak-kanakan!”
Bukankah sudah banyak kita temukan hal serupa?
Semoga tak terjadi pada anak kita.
Yuk, kita hadapi dan atasi semua tantangan dalam pengasuhan anak-anak kita ini. Semoga Allah mudahkan dan sukseskan kita menghasilkan generasi yang tangguh dan membahagiakan dunia dan akhirat.
Selamat berjuang.
Minggu tengah malam, 4 Desember 2016.
Elly Risman
Silahkan share bila dianggap pantas.
https://www.facebook.com/groups/1657787804476058/permalink/1800147670240070/
==============================
Anak kita, Gadget dan Sosmed 1.
Sepertinya jangankan nanti, sekarang ini saja anak-anak kita sudah sulit dipisahkan dengan sosial media bahkan telah dan akan banyak menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan dan masa depan mereka.
Ada beberapa hal yang membuat mereka menjadi begitu terikat dan terlibat dengan sosmed ini:
1.Usia mereka yang memang penuh dengan rasa ingin tahu, besar keinginan untuk meniru apa yang mereka anggap menarik, senang tantangan dan perubahan.
2. Karena otaknya belum sempurna berkembang, anak dan remaja mudah terpengaruh apalagi bila pembentukan konsep dan harga diri serta kemampuan Berpikir, Memilih dan Mengambil keputusan terabaikan dalam pengasuhannya.
3. Di usia remaja ini memang anak menjadikan teman jauh lebih penting dari orangtua. Hal ini disebabkan oleh banyak hal, terutama komunikasi dan ketersediaan waktu orangtua.
Temuan lapangan kami menunjukkan bahwa cara komunikasi yang selalu tergesa-gesa dan kurang benar, baik dan menyenangkan membuat jarak terentang tak bisa diukur dengan kilometer antara anak dengan ortunya, sehingga anak-anak merasa lebih nyaman untuk curhat dengan teman-temannya dari pada orangtuanya. Dengan adanya sos med, anak-anak yang tidak disiapkan dan didampingi dalam penggunaannya dengan mudah pula akan curhat dengan siapa saja di sos med yang memberikan perhatian pada mereka, baik sungguh sungguh atau cuma sekadar tipuan belaka.
Komunikasi yang buruk dan ketersediaan waktu yang sangat minim, membuat hubungan ortu –anak sedemikian rupa, sehingga jangankan curhat, ngobrol dengan saja tidak sempat dan kalau pun ada sangat pendek, formal, tidak santai, dan tak menyentuh rasa. Semua kenyataan inilah yang jadi penyebab mengapa anak mulai pacaran di kelas 4-6 SD.
4. Mudah dimengerti bila kemudian fungsi ortu yang serba terbatas tersebut digantikan dengan sos med yang diciptakan sangat menarik dan penuh tantangan, dengan perkembangan fitur-fitur yang sangat sangat cepat. Sehingga tidak hanya anak-anak, orang dewasa pun sengaja atau tidak lengket dengan hapenya. Kalau orang dewasa saja akan merasa sebagian hidupnya hilang atau tidak berfungsi bila hape ketinggalan di rumah, apalagi anak-anak dengan rasa ingin tahu yang besar.
5. Sekolah mengharuskan anak-anak untuk menggunakan sos med sebagai bagian dari proses belajar mengajar: guru mengirimkan pesan dan tugas lewat sos-med. Lewat sos med pula anak-anak membentuk grup belajar dan mengatur kerja sama untuk menyelesaikan tugas. Tapi lewat sos med juga anak sharing berbagai macam info termasuk pornografi dan bahkan chat sex yang beresiko meningkatnya seks bebas dan bencana HIV AIDS di kalangan mereka setahun dua ke depan (Baca: Dating Apps fuel “hidden epidemic” of new HIV infection, Al Jazeeraa December 1, 2015).
6. Meningkatnya penggunaan sos-med dikalangan remaja juga disebabkan oleh ketidak tahuan dan keabaian orangtua, yang bukan saja mengenalkan anak pada perangkat canggih teknologi, tetapi juga menyediakan atau memfasilitasinya pada usia yang sangat muda. Umumnya nyaris tanpa alasan yang jelas dan tanpa persiapan sama sekali. Sehingga banyak sekali anak-anak berusia 8 tahun ke atas sudah mengetahui banyak hal yang tidak patut bagi usia mereka seperti jadi followers dari tokoh tokoh sosmed yang “binal dan trendy” yang sengaja diciptakan dan dilejitkan oleh kelompok kelompok tertentu demi uang dengan strategi marketing yang khas dan jitu untuk menggaet pasar anak dan remaja.
Jadi bagaimana, dong?
Ada beberapa hal yang ingin saya sarankan dalam kesempatan ini walaupun beberapa di antaranya sudah pernah disinggung dalam tulisan-tulisan sebelumnya. Saran ini akan saya bagi menjadi dua bagian, yaitu untuk para orangtua yang anaknya kanak2 sampai pra remaja dan ortu yang anaknya pra–remaja.
A. Ortu yang anaknya kanak-kanak – pra remaja
1.Mari kita sadari bahwa anak-anak memerlukan banyak waktu untuk bergerak dan eksplorasi dari duduk diam dan memandang layar.
2. Mereka sangat perlu bermain. Bermain adalah dunia dan pekerjaan mereka. Bahkan dengan bermain yang baik dan terencana, menurut seorang ahli, mereka bisa merepresentasikan masa depan mereka, baik dalam sikap maupun kebiasaan sehari-hari.
3. Mereka perlu berada di bawah matahari 30 menit sampai 2 jam sehari.
4. Betul anak kita anak masa depan, mereka perlu berkenalan dengan teknologi, tapi tidaklah sedini mungkin. Apalagi bila Anda memperkenalkannya tanpa alasan atau supaya mereka tenang dan Anda bisa melakukan pekerjaan Anda.
5. Sadari sepenuhnya apa tujuan dan alasan Anda untuk memperkenalkan gadget apalagi memberikannya pada anak Anda. Hindari memberikannya karena dulu hidup Anda susah sehingga sekarang Anda ingin anak Anda memiliki apa yang dulu Anda tidak dapatkan. Tidak patut juga bila Anda memberikan gadget ke tangan anak Anda karena sepupunya atau anak tetangga temannya bermain sudah punya. Sudahlah orang mengasuh anaknya gak pake ilmu pengetahuan janganlah kita ikut-ikutan pula hanyut dalam arus karena tidak punya prinsip
6. Para pengusaha memang menyadari benar bahwa menciptakan produk untuk anak-anak sangat mudah mendapatkan keuntungan yang besar karena memanfaatkan rasa sayang dan cinta orangtua pada anaknya. Anak bisa dibujuk dengan iklan menarik yang dibuat dengan biaya penelitian yang sangat mahal untuk membuat anak merasa yang di iklan itu adalah dirinya, dan kemudian merengek pada ortunya untuk mendapatkan produk tersebut.
7. Produsen juga tahu betul bahwa orangtua akan mudah dipengaruhi untuk membelikan produk produk yang menjanjikan peningkatan kecerdasan, merangsang rasa ingin tahu dan menanamkan nilai-nilai positif pada anaknya. Tetapi kita harus menyadari benar untuk memanfaatkan berbagai penawaran tersebut yang menggunakan gadget.
Orangtua harus memperhatikan usia anak, lamanya mereka pantas untuk berhadapan dengan layar, jenis permainan dan games yang dimainkan anak, jarak gadget dengan mata, perlu pendampingan orangtua atau tidak, dan berbagai teknik mengalihkan anak dari gadget tersebut ke permainan atau aktivitas bermain yang lain dan bagaimana bertahan terhadap kerasnya keinginan anak untuk kembali menggunakan gadget tersebut.
8. Sebaiknya anak baru diperkenalkan pada gadget di atas usia 3 tahun dengan masa guna tidak lebih dari 3 menit. Untuk usia 4-6 tahun, lamanya menggunakan sama dengan jumlah usianya. Jarak pandang minimal 50 cm dengan posisi duduk tulang belakangnya harus lurus. Sebaiknya selalu dengan pendampingan orangtua, karena harus pandai menyetop dan mengalihkan ke permainan lain yang sekurang-kurangnya harus sama menariknya dengan apa yang mereka lihat di gadget.
9. Walaupun mereka belum mengerti sepenuhnya, anak harus sudah diperkenalkan dengan peraturan penggunaan. Misalnya: ”Hanya satu kali mati ya..” Begitu juga dengan jarak pandang, pakai jengkal untuk mengukur. Orangtua yang menentukan anak bermain apa. Setelah bermain, sebaiknya gadget tidak berada dekat dan dalam pandangan anak. Ortu juga harus tegas dengan peraturan yang ditetapkannya dan tidak mudah menyerah.
10. Anak yang berusia 7 – 9 tahun paling banyak menggunakannya 2 jam sehari termasuk bermain games. Graham Harding mengatakan bahwa bila anak di atas bermain 15 – 20 jam sepekan mereka kecanduan. Jadi Anda harus menjelaskan dan membahas hal ini dengan anak Anda sebelum semua fasilitas diberikan. Buat peraturan, kesepakatan dan konsekuensi! Laksanakan dan EVALUASI! Ingat benar anak Anda belum sampai usia 10 tahun . Jangan pernah Anda “kehilangan atau kalah kata dengan mereka!” Kalau belum 10 tahun saja anak sudah sulit diatur dan tidak mendengarkan kata Anda bagaimana kalau dia 15 tahun atau lebih?
11. Jangan lupa untuk menjelaskan pada anak Anda tentang ketentuan agama Anda dalam penggunaan gadget terutama bila hal-hal yang buruk seperti pornografi muncul. Apa yang harus mereka lakukan? Latih mereka jangan cuma nasihat. Untuk teman-teman yang muslim bahas Surah An Nur ayat 30 untuk anak laki laki dan 31 untuk anak perempuan.
12. Jangan lupa, dunia anak masih memerlukan bermain dan bermain bukan hanya gadget! Neil Postman, ahli pendidikan AS mengingatkan kita dengan kata yg sangat bijak: “Jangan kaucabut anakmu dari dunia bermainnya terlalu cepat, karena kau akan mendapatkan dunia orang dewasa yang kekanak-kanakan!”
13. Jaga benar dan hindarkan anak Anda agar tidak kecanduan, karena tantangannya sangat besar dan tidak dapat Anda bayangkan. Kita bisa sepakat, kan? Bahwa mencegah lebih baik daripada mengatasi.
Karena sudah cukup panjang, saya cukupkan dulu sampai di sini pembahasan kita. Untuk anak remaja insya Allah kita bahas pekan depan.
Semoga bermanfaat.
Bekasi, 14 Agustus 2016
#ParentinggenerasiDigital.
https://www.facebook.com/groups/1657787804476058/permalink/1747986888789482/
==========================
Anak kita, gadget dan sosmed 2.
Hari terasa seperti berlari dan kini sudah Minggu lagi. Begitulah, karena hidup sudah semakin sibuk, sering kita tidak menyadari bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak-anak kita telah merubah klasifikasi mereka dari anak-anak menjadi pra atau remaja. Tubuhnya tambah tinggi, wajah mulai padat, tungkai tangan dan kaki memanjang, tubuh berbentuk. Karena sibuk, perubahan itu tidak begitu dikenali oleh orangtuanya. Tapi untuk kami yang sesekali bertemu dengan cucu-cucu, ini adalah kenyataan yang menghentak jiwa ketika hanya jarak empat bulan, bertemu lagi cucu sulung kami tingginya melampaui saya hampir sejengkal! Bahasa agamanya, anak-anak ini memasuki tahapan akil baligh! Mereka menghadapi atau menjalani masa pubertasnya.
Seiring itu, berbagai hal terjadi termasuk kebiasaan mereka menggunakan gadget dan sosmed. Saya ingin berbagi dengan Anda pengalaman saya beberapa hari yang lalu dalam versi yang lain.
Duduklah di samping kiri saya seorang ayah separuh baya, sekitar awal 40-an. Saya sudah terlebih dahulu ngobrol panjang dengan anak sulungnya, laki laki kelas 9 yang dikeluhkan ibunya kecanduan games.
S (saya):” Apa yang bapak keluhkan dengan anak lelaki sulung Bapak, Pak?”
B (Bapak): “Tidak ada, Bu, hanya suka main games…”
S: “Apakah menurut bapak kesukaannya main games itu tidak serius?”
B : “Yah biasa saja Bu, karena kalau saya ajak sholat ke mesjid masih mau dan masih ngaji kalau saya suruh”.
S: “Tahukah bapak bahwa anak bapak bermain games on line pakai wifi tetangga sampai 45 -65 jam per pekan, sedangkan jumlah jam belajar di sekolah hanya 36,5 jam sepekannya?”
B: “Haah? Tidak, Bu”
S: “Menurut ahli tentang kecanduan Games namanya Graham Harding pak, kalau main games di atas 20 jam sepekan seseorang sudah kecanduan, Pak. Jadi, menurut Bapak, dengan lamanya anak bapak bermain apakah anak bapak sudah kecanduan belum, Pak?”
B : “Yah sudah lah, Bu!”
S : “Apakah Bapak tahu anak Bapak sudah ikut lomba games online se-Asia Tenggara dengan timnya dari dua negara tetangga?”
B : “Oh, gitu ya, Bu? Nggak, Bu!”
Gubraaaaak … Dalam hati saya: yang Bapak tahu apa, Paaak ?
Saya pastikan kalau saya tanyakan lebih lanjut tentang anaknya, saya akan mendapatkan jawabannya yang menunjukkan sama abainya beliau terhadap berbagai bentuk kebiasaan dan dampak buruk dari kecanduan lainnya yang dialami anaknya kini, akibat salah guna dari gadget dan sosmed yang difasilitasinya atas dasar kasih dan cinta.
Saya bersandar sejenak, menghela nafas panjang dan terdiam….. menyeru Allah… Ruang praktik saya yang hening bertambah hening. Biarlah.. bapak itu juga memerlukan waktu merenungi kondisi anaknya, sementara saya menata rasa. Menari-nari di benak saya gambaran berapa juta ayah dan ibu di luar sana yang setara sikapnya dengan bapak muda di depan saya ini.
Abai, tidak tahu, anggap enteng, merasa aman, anak saya oke-oke saja, menganggap apa yang dilakukan anak dan remajanya sesuatu yang biasa untuk anak seumurannya, gaptek – jadinnya merasa berat dan terbebani sehingga gak sanggup dan … menyerah pada keadaan.. semua itu adalah akar tunggal dan akar majemuk dari berbagai masalah dan bencana yang sekarang sedang kita alami…
Langsung teringat oleh saya kata-kata pengantar teman saya Mark B. Kastleman untuk bukunya yang edisi bahasa Indonesia: ”Bangkit dan sadarlah! Pornografi di Internet BUKANLAH sebuah rekreasi yang tidak berbahaya. Ia adalah tsunami “SPIRITUAL DAN MORAL” mengerikan yang akan menyapu seluruh bangsa Anda. Menghancurkan siapa pun yang dilewatinya. Jika tidak segera ditangani ia akan menhancurkan semua orang dan segala sesuatu yang Anda sangat sayangi.
Dan yang paling rentan dan rapuh dalam masyarakat anda adalah mereka yang berada dalam bahaya terbesar yaitu anak-anak dan remaja Anda, satu satunya masa depan bangsa aAnda!”
Huuuh!
Jadi bagaimana menghadapi anak remaja kita dengan games dan sosmednya?
1.Marilah kita saling membangunkan diri sendiri, pasangan, saudara kandung dan ipar, orangtua (bagi mereka yang menitipkan anaknya pada kakek neneknya), teman & tetangga kita dari: pingsan, abai dan anggap enteng terhadap kebiasaan anak dalam menggunakan gadgetnya. Bagaimana dahsyatnya dampak negatif dari games dan sosmed yang akan kita bahas lebih lanjut di bawah ini.
2. Kita harus menyadari bersama bahwa anak kita bukan milik kita. Jadi jangan ketika dianugrahi ke kita mereka sempurna, saat kita pulangkan ada yang cedera: otak atau jiwanya.
3. Untuk bisa membicarakan atau mengatur ulang serta membatasi penggunaan gadget dan sosmed dengan anak nampaknya terlebih dahulu kita harus berupaya untuk memperbaiki komunikasi agar mampu menghangatkan kembali hubungan dan membuat kita dapat menyelami sejauh mana keterlibatan dan ketergantungan anak kita dengan kedua hal tersebut dan bagaimana perasaannya.
4. Mari menoleh kembali ke pengasuhan masa kecilnya, apa saja yang terabaikan dan yang tertinggal selama ini dan apa akibatnya bagi perkembangan kemampuan berpikir, harga dan kepercayaan diri serta pemahaman dan praktik agama dalam kehidupan sehari-hari yang berakibat pada kemampuan pengontrolan dirinya dari melakukan hal yang tidak patut bagi diri sendiri atau terhadap orang lain di sekitarnya. Yang tidak kalah pentingnya adalah kemandirian dan kemampuan bertanggung jawab pada Allah, diri sendiri dan keluarga atas niat dan perbuatannya.
5. Bagaimana peran dan keterlibatan ayah selama ini dalam pengasuhan?. Semoga tidak seperti contoh bapak di atas. Karena kalau ya, maka jarak terentang itu memerlukan waktu yang panjang untuk merapatkannya kembali. Sementara peran ayah sangat signifikan dalam pengarahan, pengontrolan, dan perbaikan anak, lepas dari anak kita lelaki atau perempuan. Ayah harus sadar dan terlibat penuh, kalau beliau tidak melakukan kedua hal tersebut, maka maka ibu dan orang di sekitar harus berupaya karena Allah, untuk membantu menyadarkan ayah tentang hal ini. Tak bisa tanpa ayah…
Sebagai ilustrasi, banyak sekali kasus terapi adiksi bermacam hal yang telah kami lakukan sulit berhasil karena ayah tidak terlibat. Yang paling sulit adalah bila ketergantungan atau adiksi yang dialami anak tersebut, penyebab utamanya adalah buruknya hubungan dengan ayahnya… Hadeeuh.
6. Perlu sekali teman teman ketahui, dari evaluasi tim psikolog kami yang praktek di klinik selama dua tahun terakhir ini, terjadi perubahan drastis dari jenis kasus yang kami hadapi. Kebanyakan dari masalah yang dihadapi bukan lagi seputar ketergantungan atau adiksi pada internet, games atau sosmed lagi tapi sudah pada dampaknya…berupa: M, menunjukkan dan mempertontonkan diri/exhibisonist, perilaku Gay dan Lesbi, seks suka sama suka, dan berbagai kenakalan remaja yang khas era digital yang sangat berbeda dengan kenakalan remaja ketika Anda muda dulu.. jauuuh..
7. Dengan membuat inventory terhadap berbagai hal di atas, teman-teman bisa membuat penjadwalan untuk memecahkan dan mengatasi masalah. Apa dulu yang dilakukan dan bagaimana melakukannya.
8. Sementara itu teman teman perlu mengecek tentang games apa yang kini dimainkan anak, berapa jenis games dan berapa besar konten pornografi di dalamnya. Hal lain adalah mencermati frekuensinya bermain, bukan tidak boleh sama sekali, tapi harus diperhatikan apa yang dinyatakan oleh ahli tentang games: Graham Harding, main games 15 jam sepekan, kecanduan patologis. Jadi usahakan di bawah 15 jam/pekan. Untuk anak-anak di bawah 8 tahun sudah diuraikan dalam artikel sebelumnya. Hindari anak tidak bermain di hari sekolah/weekdays tapi di weekend Anda bebaskan dan melampaui 20 – 30 jam untuk dua hari. Sama saja bohong.
Jangan kehilangan kata untuk membicarakan dampak negatifnya dengan anak. Walau anak lebih pintar dari kita, tapi anda orangtuanya. Kalau sekarang saja Anda tak bisa mengendalikan bagaimana 3 – 5 tahun ke depan?
Untuk bisa membahasnya, Anda wajib menambah dan memperkaya diri dulu dengan pengetahuan tentang games yang tak mungkin saya uraikan dalam kolom ini. Untuk itu Anda dapat berkonsultasi dengan tim kami yang ahli dalam hal ini, melalu: sdr Mumu CEO KAKATU melalui no whatsapp 0812 2420 1860.
9. Penting bagi Anda berusaha untuk mengenali bakat anak Anda dalam hal games ini. Seperti anak yang saya singgung di atas, sebenarnya selain ahli dalam main games, ternyata dia juga kreatif dalam disain dan sering dimintai teman-temannya untuk buat logo grup olah raga atau hanya kelompok bermain. Sayang hal ini tidak dikenali dan dikembangkan oleh ortunya. Kata kuncinya, anak dibantu bukan hanya jadi konsumen atau pengguna tapi jadi pencipta atau produsen.. terserah apa, sejauh itu positif dan bermanfaat bukan yang berhubungan dengan maksiat.
10. Setelah Anda mengenali semuanya baru Anda mengarahkannya sesuai dengan temuan anda. Jangan putus harapan terhadap rahmat Allah. Setelah semua usaha, tutuplah dengan doa…
Banyak lagi rasanya yang masih ingin saya share dengan Anda, tetapi ini sudah panjang sekali. Kita sambung pembicaraan tentang sosmed ke pekan depan, Insya Allah…
Selamat berjuang – Pastikan Anda Menang!
Bekasi 21 Agustus 2016.
Silahkan share bila dianggap perlu.
https://www.facebook.com/groups/1657787804476058/permalink/1750863345168503/
=========================
Anak kita, Gadget dan sos – med 3 .
Sebuah pesan singkat dari seorang ibu masuk ke hape saya dua pekan lalu, yang isinya seperti berikut:
“Ibu Elly, saya prihatin sekali bu melihat perkembangan yang sangat negatif dari kelakuan remaja kita di Sosmed, apalagi si X dan Y itu bu… astagfirullaaah. Kelakuan anak laki-laki dan perempuan sama saja menyimpangnya Bu. Apa Ibu ga bisa bantu untuk laporkan ke Menkominfo, Bu? Itu kan ditiru anak-anak dan sangat masif, Bu?”
Saya tercenung sejenak. Saya akhirnya menjawab singkat, bahwa saya sudah lapor dan membicarakan dengan beberapa teman sesama anggota Panel Penanganan situs Internet bermuatan Negatif, tapi tak berkelanjutan.
Saya berharap dengan menuliskannya di sini dan menyampaikannya dalam seminar-seminar saya, insya Allah akan lebih berarti karena saya bicara dengan Anda satu-satu sebagai orangtua.
Mengapa anak dan remaja sangat mudah terlibat hal yang negatif di sosmed?
1.Umumnya teman-teman mereka semua menggunakannya. Awalnya karena berkaitan dengan pelajaran, kegiatan kelompok belajar dsbnya. Sulit sekali bila anak tidak bisa bergabung dan “tidak sama“, mereka tidak sanggup menanggungkan resiko sebagai “anak yang beda banget”, aneh” atau “ketinggalan” dan berbagai gelar lainnya yang segera mereka peroleh dari teman temannya.
2. Apa saja yang dilakukan di sos–med selain sangat menarik juga sangat menantang.
3. Kebutuhan untuk mendapat perhatian, jadi populer, pengen eksis, yang merupakan ciri khusus remaja sangat mungkin terpenuhi di sini. Apalagi bila anak atau remaja ini memang sering “terabaikan” sengaja atau tidak sengaja oleh orangtuanya. Kebutuhan dasar seperti perhatian, kasih, cinta dan dialog tidak didapatkan anak sehari-harinya.
4. Kompetisi yang menaikkan adrenalin memang digemari remaja: Bagaimana caranya bisa lebih dari yang lain, menang atau merasa hebat dan juara. Maka bila anak-anak ini tidak mendapat hal-hal mendasar yang kita bahas di atas dan dalam artikel sebelumnya, tidak heran bila seperti aduan ibu di atas tadi: kita tidak mengerti mengapa anak mampu melakukan hal hal yang tidak masuk akal sehat kita sebagai orangtua!
5. Keadaan menjadi lebih buruk bila dalam proses pengasuhannya anak dan remaja tidak diajarkan untuk terbiasa BMM: Berpikir, Memilih dan Mengambil keputusan untuk dan atas nama dirinya sendiri. Yah, dengan kombinasi hal hal 1 -4 di atas kita paham, bila kemudian anak terhanyut dalam derasnya arus sosmed ini…
Bagaimana menghadapi anak dan remaja kita dengan sosmednya?
Riset yang dilakukan di YKBH menunjukkan yang menjadi follower dari tokoh tokoh remaja di sosmed yang heboh itu mulai dari berusia 8 – 19 tahun! Saya menjadi terusik jadinya untuk mengetahui usia berapa anak-anak tersebut diberi HP?
Jadi, beberapa langkah yang saya usulkan adalah sebagai berikut:
1.Kita ingat kembali usia anak mendapat hape seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya. Apakah sudah ada kesepakatan tentang dan aturan serta konsekuensi. Bila belum, hal ini lebih dulu yang harus ditegakkan kembali.
2. Semua hal, baru bisa dibicarakan dengan anak bila komunikasi baik. Bila selama ini komunikasi merupakan kendala berarti mulai dengan memperbaikinya terlebih dahulu.
3. Bila komunikasi sudah baik, maka kita bisa mendiskusikan so med apa saja yang digunakan anak: BBM, Line, Whatsapp, FB, Instagram, Twitter, Path, You tube, Snapchat, Musically, Ask.FM, OMGLE dll?
4. Memang ini sangat tidak mudah, apalagi untuk mengetahui apa yang mereka lakukan, dengan siapa mereka berkomunikasi dlsbnya. Hal ini juga sangat tergantung pada usia anak, kecerdasannya, kehidupan emosi, kehangatan keluarga, pengetahuan akan batasan agama tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam menggunakan semua fasilitas itu, dan tentunya kendali orangtua.
5. Orangtua harus mempuyai tekad untuk meningkatkan diri dan mengetahui mengenai semua hal di atas. Untuk mampu menghadapi, mendampingi dan mengawasi anak kita harus beajar dan pintar, walau tak akan mungkin setaraf dengan mereka.
6. Kita harus berupaya untuk memperoleh bantuan dari mereka yang lebih ahli agar kita bisa mengikuti apa kegiatan yang dilakukan anak kita di dunia maya. Semua dilakukan dengan meminta pertolongan Allah karena kita harus mempertanggungjawabkan anak kita kepada Nya.
7. Ayah adalah yang paling berusaha untuk membicarakan hal ini dengan anaknya. Apa saja hal yang positif dan negatif dari sosmed ini. Kalau ayah merasa sulit karena gaptek, maka ayah bisa mengajak orang lain untuk membantu beliau membahasnya bersama dengan anak. Bila dicermati, anak-anak yang menampilkan dirinya secara negatif di sosmed ini adalah anak-anak yang terkesan memang tidak sempat terperhatikan oleh orangtuanya secara seksama.
8. Kalau anak berusia di atas 10 th dan sudah mengenal sosmed, apalagi juga mengenal anak-anak yang menjadi “tokoh negatif” itu, maka tidak ada salahnya orangtua mengajak anak bicara dan membahas tentang ini. Lebih baik orangtua mendiskusikannya daripada anak kita diarahkan oleh orang lain dan tidak memperoleh pengarahan dari ortunya. Kita bersama mencari tahu siapa orang ini, apa yang mereka lakukan, menggunakan media apa saja, apakah kira-kira alasannya, mengapa kira-kira mereka dibolehkan oleh orangtuanya, atau orangtuanya tidak tahu?
9. Lalu kita juga bisa membahas dengan anak, apakah semua hal yang ditampilkan oleh orang tersebut sesuatu yang wajar atau tidak? Benar menurut agama atau nilai budaya serta kesopansantunan atau tidak? Apakah mereka melakukannya sendiri atau ada orang lain yang ikut membantu? Kalau begitu ini sebuah usaha bersama, dong? Dengan sekelompok orang? Perlu biaya atau tidak untuk melakukan semua itu? Kira-kira orang ini ingin mendapatkan keuntungan materil atau finasial tidak dari apa yang dilakukannya? Kalau begitu ini bisnis atau bukan? Apakah memperoleh rezeki dari melakukan hal buruk dan membujuk atau mempengaruhi orang untuk melakukan sesuatu perbuatan maksiat itu benar atau tidak? Patut tidak kita ikut-ikutan dan menjadikan cara hidup itu jadi gaya hidup kita? Mengapa?
10. Banyak sekali orangtua menyangka, bahwa dengan menasihati anak sudah cukup. Keliru! Anak dan remaja sering tidak menyadari apa yang mereka kerjakan. Jadi faktor mengajarkan sering sekali hilang dalam pengasuhan. Termasuk di dalamnya penggunaan kalimat bertanya seperti yang dicontohkan di atas.
11. Mengapa harus banyak menggunakan kalimat bertanya? Karena bila seseorang bertanya pada kita, kita harus apa? Ya, menjawab! Untuk mampu memberikan jawaban, kita harus berpikir dan menengok ke dalam diri kita sendiri. Jadi kalimat bertanya menimbulkan kesadaran diri!
Ini yang penting. Kita membangun kesadaran diri anak kita tentang berbagai hal di sekitar mereka. Karena kita tidak akan selalu bersama mereka.
12. Setelah semuanya kita bahas dan anak mengerti, baru kemudian kita masuk ke tahapan berikutnya untuk mengajarkan anak kita bagaimana menangani sos-mednya. Di bawah semua berita ataupun foto, selalu ada tanda: Like, Comment dan Share. Kita ambil sebuah contoh tentu yang tidak vulgar lalu kita tanyakan pada anak apa yang patut dilakukan: share, comment atau kita share? Mengapa?
13. Banyak sekali orangtua lupa mengingatkan dan mengajarkan pada anaknya bagaimana agar tidak terlibat, ikut-ikutan atau tidak terpancing atau marah dengan ungkapan kasar, kotor, dan menekan dari tokoh tersebut. Karena kalau kita terpancing emosi, balik mengatai atau mem-bully orang tersebut, maka dia semakin populer dan senang.
14. Untuk itu kita memperkenalkan dan jelaskan satu-persatu pada anak kita icon lain yang ada di sosmed walau kecil tandanya tapi tersedia di bagian atas, yaitu: Report, Block, Hide posting, dan Unfollow!
15. Lalu kembali ke salah satu contoh berita atau gambar, tanyakan menurut pendapatnya, pilihan mana yang kita ambil? Report, Block, Hide posting, dan Unfollow. Mengapa?
16. Inilah yang harus terus-menerus kita lakukan bersama dengan anak sehingga terbentuk kebiasaan baik dan sehatnya bukan saja dalam menggunakan sosmed, tapi juga insya Allah gaya hidup yang sehat di era digital.
“Cukuplah anak orang saja yang melakukan hal yang buruk, jangan anak kita!”
Selamat berjuang, demi pertanggungjawaban pada Allah, kita pasti bisa!
Bekasi, 29 Agustus 2016, dini hari.
Silahkan share bila dinilai bermanfaat!
https://www.facebook.com/groups/1657787804476058/permalink/1754065274848310/
==============