Generation Gap di Kantor, Generasi Y Yang Terjepit

Tantangan dari sebuah komunitas di Instagram (padahal cuma tahu selintasan sih, boro-boro terlibat secara aktif di situ) beberapa bulan yang lalu membuat saya bersemangat untuk menuliskan suatu cerita singkat. Kebetulan, momennya pas sekali dengan syarat yang diminta, tulisan yang terinspirasi oleh lagu. Saat itu saya sedang suka dengan sebuah lagu dan setelah mencari tahu tentang penjelasan lebih lanjut mengenai lagu itu jadi tertarik menggali lebih dalam, lalu menuliskannya. Hasilnya sih nggak dalam-dalam amat, tapi lumayanlah dapat hadiah buku sebagai salah satu tulisan terbaik bulan itu.

Sebagai bahan untuk tulisan tadi, yang hasilnya bisa dibaca di sini, https://semestaliterasicom.wordpress.com/2017/04/04/bersenang-senang-di-paris-dengan-generasi-z/, saya jadi membaca ulang mengenai pembagian generasi yang diberi nama dengan huruf-huruf dari rangkaian alfabet. Di masa ABG saya, saya cukup akrab dengan istilah generasi X, yang bahkan sempat dijadikan judul serial remaja waktu itu. Generasi X, yang biasanya dideskripsikan sebagai generasi kelahiran tahun 1970-an awal sampai 1980, juga kerap dijuluki generasi MTV. MTV atau saluran televisi Music Television seolah jadi panduan gaya hidup di masa itu. Saya sendiri masuk ke generasi setelah generasi Y, karena lahir pada pertengahan dekade ’80-an. Generasi Y sering juga disebut sebagai generasi milenial (millennialls), karena umumnya menyaksikan pergantian milenium di masa ABG atau remaja. Setelahnya menyusul generasi Z, dan konon akan berlanjut lagi ke generasi Alpha.

Setiap generasi punya ciri khasnya sendiri. Umumnya generasi X sudah cukup akrab dengan teknologi meski mungkin masih di kalangan terbatas, dan generasi berikutnya semakin canggih lagi, digital native istilahnya. Tapi ada juga yang menyayangkan, keterampilan generasi milenial dan penerusnya mengoperasikan perangkat berteknologi tinggi ternyata tidak sebanding dengan rentang perhatian yang semakin pendek, juga munculnya mindset ingin serba-instan karena terbiasa dengan kemudahan hidup hasil dari teknologi tadi. Belum lagi soal kemampuan bersosialisasi langsung yang juga bisa berpengaruh ke kemampuan menerapkan tata krama, akibat seringnya berinteraksi hanya lewat dunia maya. Di tempat kerja, sebagaimana dijelaskan oleh pengisi materi dalam sebuah kegiatan kantor, generasi Z akan kelihatan mudah berganti pekerjaan kalau dirasa tak nyaman, rentan berkonflik dengan senior atau atasan karena gayanya yang cenderung tidak peduli dan ‘kurang sopan’, dan kalau dapat bonus seringnya dihabiskan untuk bersenang-senang.

Lagi buka-buka data pegawai di kantor, ternyata terlihat kalau komposisi pegawai di tempat saya saat ini hanya terdiri atas dua generasi, 31% generasi X (kalau di sini didefinisikan sebagai kelahiran 1965 s.d. 1979) dan 69% generasi Y (kelahiran 1982 s.d. 1994). Belum ada generasi Z (kelahiran mulai tahun 1995) yang masuk, dan sudah tidak ada lagi baby boomers (kelahiran sampai dengan tahun 1964).  Tiga tahun ini saya merasakan bekerja di tiga kantor berbeda, bukan hanya beda gedung tetapi juga deskripsi pekerjaan dan lingkungannya pun bisa dibilang berbeda sekali walaupun masih di naungan organisasi yang sama. Kalau ditarik lebih jauh lagi, lima kantor sudah saya cicipi. Dari pengalaman saya sih, adanya jarak umur yang biasanya juga bikin berlainan pola pikir memang rawan memicu gesekan. Yang terpenting menurut saya harusnya masing-masing pihak mau membuka diri ya, termasuk menyepakati bahwa ada hal-hal yang memang tidak bisa dipaksakan diterapkan kepada generasi yang berbeda. Selama pekerjaan beres, beda cara penanganan masih bisa ditoleransi. Meskipun, kenyataannya tidak selalu seindah itu, ya, hehehe. Belum lagi kalau ada bumbu-bumbu masalah pribadi atau ada yang baper.

Itu tadi kan menurut saya, ya. Bagaimana dengan pandangan umum atau ahlinya? Sebetulnya kiat menjembatani perbedaan usia di dunia kerja sudah banyak beredar. Misalnya, sebuah situs beberapa waktu yang lalu saya amati cukup intens memposting bahasan ‘bekerja dengan generasi milenial’. Waktu membacanya pertama kali, saya sempat salah tangkap bahwa yang dimaksud adalah generasi setelah saya. Begitu paham maksud artikelnya, saya jadi mikir, menghadapi generasi seperti saya saja nampaknya sudah perlu banyak tips ya, bagaimana nanti generasi Z? 😀 Pembicara di kegiatan kantor yang saya sebutkan di atas tadi pun sempat memberi peringatan: Sebentar lagi generasi Z akan memasuki kantor-kantor kita, waspadalah.

Yah, mungkin saya saya yang belum terlalu merasakan bekerja secara resmi dengan mereka yang jauh lebih muda. Di kantor sebelum ini saja, saya salah satu pegawai paling muda. Kalau dengan yang lebih tua kan lebih kurang kuncinya: sabar, dengarkan, bagaimana pun juga beliau-beliau ini lebih banyak pengalaman dan patut dihormati (ingat juga orangtua kita, kan); nah, dengan yang lebih muda bagaimana nanti? Kalau generasi Y dikatakan lebih terbuka dan mudah beradaptasi, akankah betulan bisa lebih akrab dengan generasi Z tanpa baper kalau mereka nanti secuek itu? Atau justru kelak bakal kerepotan sendiri karena terjepit, seolah bertugas menjembatani generasi X dengan Z? Saya sih masih berharap generasi Z tidak seindividualis yang dibilang, ya. Banyak contoh anak muda dari generasi tersebut yang sudah mengemuka dengan karya hebatnya, termasuk membuka usaha sendiri sejak usia belia dan aktif pula di kegiatan sosial masyarakat. Semoga maraknya pemakaian media sosial ikut mempopulerkan gaya hidup anak muda yang ini, alih-alih mereka yang hanya mencari sensasi minim prestasi.

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s