Seperti sudah saya sampaikan dalam postingan laporan pelaksanaan tantangan 10 hari untuk hari pertama, saya sempat kaget dengan tantangan Level 9 Kelas Bunda Sayang Institut Ibu Profesional. Bagi saya yang lebih dominan sisi mengikuti buku teks atau manual petunjuk, diminta untuk mengasah kreativitas melalui ‘apa saja yang ditemui sehari-hari’ itu… ‘menakutkan’. Bagaimana kalau saya salah memaknai instruksinya, dan yang saya laporkan berbelok dari yang seharusnya?
Apalagi di hari-hari awal tantangan, saya sedang banyak kerjaan di kantor sampai sering pulang malam. Sampai rumah suka sayang kalau buka hp alih-alih main dengan anak-anak, apalagi mama sedang ada di sini. Waktunya untuk bercengkrama, kan? Makin bingung saya, bagaimana memahami apa yang seharusnya dilakukan untuk tantangan Level 9 ini. Bahkan untuk mengikuti sesi diskusi bersama-sama (bukan pertanyaan yang insidental) pun kewalahan karena bersamaan waktunya dengan persiapan keberangkatan suami ke luar kota. Jelas saya memilih untuk menaruh ponsel dulu. Begitu baca keesokan harinya, waah, seru ya ternyata bahasannya. Banyak tantangan berpikir kreatif yang mengajak untuk melihat bukan hanya dengan sudut pandang yang selama ini dipakai.
Soal ‘melihat’ ini bisa dimaknai secara harfiah maupun kiasan, ya. Sejumlah contoh yang diberikan oleh fasilitator sih memang menunjukkan bahwa seringkali kita terbawa arah pemikiran yang tidak pas gara-gara citra yang tertangkap oleh indera penglihatan kita. Namun pada diskusi yang mengiringi, muncul simpulan (setidaknya yang saya tangkap, karena fasilitator memang memancing dan menjaga saja, selebihnya seperti biasa peserta-lah yang harus lebih aktif berpendapat dan menggarisbawahi ide-ide yang muncul) bahwa cara melihat ini bisa dianalogikan dengan sudut pandang kita. Konsisten boleh, punya prinsip itu harus, tetapi cek juga kacamata atau jendela kita. Jangan-jangan setelah cek dan ricek, apa yang kita jadikan sebagai landasan pendapat atau keputusan itu belum tepat, gara-gara kacamata kita tertutup debu tebal atau jendela kita terhalang sarang laba-laba.
Coba, kira-kira potongan huruf-huruf ini dibaca apa?
Jawaban paling gampang tentulah BE CREATIVE, tapi apa iya? Yuk, kita lihat….
Setelah lebih fokus ‘manjat’ grup kelas di whatsapp, pemahaman saya bertambah. Ya, intinya lakukan saja aktivitas keseharian kita, hanya saja harus ada nilai plus dibandingkan dengan sebelumnya, khususnya terkait bonding dengan anak-anak. Bagaimana meningkatkan nilai inilah yang menjadi tantangan, sejauh apa kita mampu mendorong agar otak berpikir sekreatif mungkin. Pilih solusi kreatif yang lebih menarik, yang berbeda dari biasanya, cari yang lebih efektif dan efisien. Push yourself to the limit! Batasnya, menurut saya, tentu adalah prinsip-prinsip utama yang kita pegang, misalnya dalil agama yang kita yakini, termasuk jangan lupa untuk menunaikan hak tubuh kita beristirahat.
“Selamat menjadi emak kreatif, karena anak kita sudah terlahir kreatif”. Kalimat yang menyertai ilustrasi penyerta pemberian tantangan ini sungguh mengena bagi kami sekeluarga. Saya, suami, pengasuh anak-anak, hingga eyang mereka, seringkali takjub dengan pola pikir anak-anak. Tidak habis pikir, kok ada saja idenya. Betapa besar kuasa Allah swt yang menjadikan insan belia ini memiliki gagasan yang seringkali tidak terpikirkan oleh kami orang dewasa. Kagum tapi sekaligus pusing juga sih, kadang-kadang, kalau kreativitas ini mereka terapkan dalam bentuk komentar-komentar bernada alasan untuk menghindari melakukan kegiatan yang diminta. Ketika tiba saatnya mereka tidur misalnya, adakalanya anak-anak minta untuk dibacakan satu buku lagi dan lagi. Menyenangkan sih, bersyukur juga anak-anak mulai menunjukkan kecintaan pada bacaan, tapi kan bisa berpengaruh ke waktu istirahat dan waktu bangun mereka nanti.
Kalau sudah begini, ada baiknya tahan kepusingan kita agar tak berujung pada mengalah yang tidak pada tempatnya, terlalu membebaskan anak. Atau sebaliknya orangtua mengambil tindakan keras dengan metode yang kurang pas hingga justru fitrah berkreasi yang sudah ada dalam diri anak-anak justru terkubur lagi. Malah jika memungkinkan, tangkap ide-ide yang muncul dari tingkah laku anak kita, barangkali ada gagasan yang bisa kita manfaatkan atau modifikasi.
Jadi memang, kalau anak kreatif, orangtuanya tidak boleh kalah kreatif dong, ya. Wah, kalimat serupa beberapa tahun yang lalu pernah juga saya sampaikan di sebuah grup yang saya menjadi salah satu adminnya, meskipun untuk topik yang agak berbeda. Jadi seperti diingatkan lagi, bahwa kita tidak boleh omdo alias omong doang. Harus praktikkan sendiri juga hal-hal yang pernah kita sampaikan ke orang lain.
Oh ya, proses kreativitas yang disebutkan bisa berupa evolusi (ide baru dibangkitkan dari ide sebelumnya), sintesis (dua atau lebih ide yang ada digabungkan jadi satu ide baru lagi), dan revolusi (benar-benat membuat perubahan baru dengan pola yang belum pernah ada) seperti biasa membuat saya penasaran, kenapa ada tiga? Apakah memang hanya tiga itu metodenya? Saya cari dan ketemulah tulisan Robert Harris, profesor dari Vanguard University of Southern California yang berjudul Introduction to Creative Thinking. Tulisan yang dipublikasikan pada tahun 1998 tersebut selengkapnya bisa diakses di situs beliau di sini. Namun untuk versi Robert Harris, selain evolusi, sintesis, dan revolusi, ada dua hal lain (disebutkan sebagai lima metode klasik, sih, jadi mungkin ada sumber lain yang lebih awal), yaitu reaplikasi dan mengubah arah. Reaplikasi bermakna melihat sesuatu yang lama dari sudut pandang yang baru, buang prasangka, ekspektasi, dan asumsi, temukan bagaimana sesuatu dapat diterapkan kembali. Adapun mengubah arah berkaitan dengan pergeseran sudut pandang dalam melihat masalah.
Alhamdulillah juga, sejak beberapa minggu yang lalu ada teman baru tapi lama di kantor. Mbak ini kakak angkatan yang baru pindah mengikuti penugasan suami, dan kami sudah saling kenal. Ternyata di kota penugasan sebelumnya teman saya ini juga sudah menjalani kelas Matrikulasi IIP. Saat ini ia mulai masuk ke kelas Bunda Sayang. Beberapa hari belakangan di sela-sela kesibukan kami sempat intens berdiskusi (walaupun waktunya terbatas), baik tentang penugasan maupun organisasi IIP itu sendiri secara umum, bagaimana pengalaman masing-masing dengan budaya di wilayah yang berbeda, bagaimana efeknya ke diri dan keluarga, bagaimana mengelola aktivitas yang padat agar kerjaan beres, keluarga tetap bahagia dan berjalan sesuai misinya, sekaligus tetap konsisten setor tugas IIP, dst. Diskusi terakhir kami cukup membuka mata saya yang aslinya hampir selalu mengacu pada text book… Yang terpenting, pahami dulu dan segera jalankan, jangan kelamaan mikir sesuai standar atau tidak :D. Banyak terima kasih untuk mbak ini.
Saya jadi seperti diingatkan lagi bahwa tugas-tugas yang sudah disetorkan ke IIP selama ini (sejak kelas matrikulasi) juga sesungguhnya sudah memancing kreativitas. Sebetulnya tugas level 9 ini juga bukan untuk pertama kalinya peserta tidak diberi instruksi terperinci. Pada Nice Homework 5 kelas matrikulasi yang bertajuk Learning How to Learn misalnya, di situ peserta cenderung dibebaskan membuat desain pembelajaran tanpa dipandu terlalu banyak. Tugas-tugas lainnya pun sesungguhnya (seharusnya) menjadi pemantik kreativitas dalam diri peserta, karena dalam mengerjakannya memang harus putar otak. Mau bikin program yang terstruktur per hari atau per anak untuk pengerjaan tugas ini atau garap apa saja yang ditemui sewaktu-waktu, mau mengejar prestasi outstanding performance atau justru take it slow yang penting komplet saja karena merasa ada prioritas lain yang lebih penting, semuanya tetap perlu kreativitas.
Bismillah, semoga tetap bisa konsisten mengerjakan tugas level ini dan selanjutnya sekaligus memaknai hasil dari tugas tersebut :).
Referensi:
Materi dan diskusi grup whatsapp Kelas Bunda Sayang Batch 1 Jakarta 2 Level
NHW 5 kelas matrikulasi batch 2 IIP
#KelasBundaSayang
#InstitutIbuProfesional
#ThinkCreative
Pingback: Aliran Rasa Materi Level 9 Kelas Bunda Sayang IIP – Think Creative | Leila's Blog