Orangtua masa kini tidak boleh ‘kalah’ pada anak-anak yang dengan cepat mempelajari teknologi terbaru. Demi menjadi teman terbaik bagi anak, juga untuk tetap ‘nyambung’ sekaligus memantau aktivitas anak, orangtua diharapkan mau meng-update pengetahuan. Baik pengetahuan mengenai cara menggunakan teknologi ini maupun ilmu memitigasi risiko yang mungkin muncul. Hal ini berkali-kali ditekankan dalam seminar yang saya ikuti ataupun artikel yang saya baca. Sebagai orangtua dari anak-anak yang juga ‘digital native‘ alias begitu lahir sudah dihadapkan dengan kecanggihan dunia digital, saya pun termasuk yang terkena ‘kewajiban’ itu.
Nah, dalam rangka menambah pengetahuan, Sabtu lalu (12/05) saya mengikuti Parenting Class “Gadget Generation Do’s & Don’ts” di Hong Kong Cafe, Sarinah Thamrin. Dalam acara tersebut, dr. Stephanus ‘Ivan’ Nurdin, MedHyp, medical hypnotherapist dari RSIA Budhi Jaya menjelaskan bagaimana menangani generasi yang piawai menggunakan gawai sedari belia ini.
Dokter Ivan menjelaskan, dampak positif dari gawai atau gadget ini juga ada. Misalnya menambah pengetahuan, memperluas jaringan persahabatan, memperluas komunikasi, melatih kreativitas anak, juga bisa melatih fungsi otak lewat koordinasi otak dan tangan. Namun jangan lupakan dampak negatifnya: mengganggu kesehatan karena efek radiasi dan mengganggu perkembangan anak. Anak bisa mengalami kecanduan, kelambatan dalam memahami pelajaran. Belum lagi kalau sudah ada penyalahgunaan, misalnya untuk menonton konten berbau pornografi atau kekerasan.
“Kita punya pikiran bawah sadar, dan pikiran ini menerima hal yang berulang-ulang dipaparkan. Apa pun yang didengar berulang kali, akan masuk ke pikiran dan bisa terjadi,” sebut dr. Ivan. Kalau memakai istilah dr. Ivan, kita seharusnya rajin ‘buang sampah’, dari memory bank alias gudang memori dari segala yang terekam. Jika tidak, yang dipikirkan ini bisa menjadi nyata. Misalnya, ada dokter ahli yang meninggalnya karena penyakit yang menjadi bidang keahliannya. Ada pula penyanyi yang mengalami apa yang diceritakan di lagu hitsnya.
Kita perlu punya saringan atau filter, sehingga menahan apa yang seharusnya tidak ditampung oleh pikiran kita. Hindari self talk yang negatif, karena berpotensi untuk menjadi nilai permanen bagi sub-conscious.
Lalu, apa yang perlu dilakukan orangtua jika anak telanjur berperilaku kurang baik, misalnya kecanduan gadget? “Pertama, orangtua harus punya komitmen tegas,” sebut dr. Ivan. Jadi informasi atau perintah yang disampaikan ke anak harus jelas, jangan rancu. Kemudian tunggu, apakah dilakukan atau tidak. Kalau tidak dilakukan, beri sanksi. Kalau dilakukan, berikan reward jangan yang mahal-mahal. Pujian saja sudah cukup.
“Berikutnya adalah komitmen tega,” kata dr. Ivan. Memang, orangtua perlu belajar dulu untuk tega pada tempatnya Hal ini termasuk kebiasaan berulang yang bisa dilatih.
Pesan dr. Ivan, hindari memperkenalkan gadget pada usia dini. “Sebaiknya gadget diperkenalkan pada anak ketika sudah mengerti dan bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk,” jelas dr. Ivan terkait batasan kapan memberikan gawai pada anak. Memperkenalkan pada anak di usia yang masih terlalu dini bisa berdampak terhadap kesehatan dan tumbuh kembangnya. Berikan juga pemahaman pada anak agar tidak menggunakan gadget dalam waktu yang lama. Nasihati anak secara perlahan, jangan memaksa untuk menghindari karena malah akan membuat anak semakin penasaran. Jangan juga berbohong atau memberi ancaman yang tidak terlaksana.
Tips lagi dari dr. Ivan nih, hindari bermudah-mudah pakai kata ‘jangan’ karena biasanya justru akan dilakukan. Namun, jangan juga memanjakan anak, karena kalau semakin memanjakan maka anak bisa makin seenaknya. Jika kita ingin anak tidak main gadget, alihkan perhatiannya. Katakan ‘stop’, ajak main yang lain, ajak bernyanyi, puji jika kooperatif dst.
Namun pengalihan perhatian ini bukan dengan cara berbohong ya, misalnya bilang ada cicak padahal tidak ada. Nanti anak men-cap ortunya pembohong. Bisa pula manfaatkan hipnosis menjelang tertidur dan menjelang terbangun, yang merupakan saat yang cocok dari segi gelombang otak anak. Untuk hipnosis ini, tetap gunakan kata-kata positif ya….
Mom Mira Damayanti, beauty blogger terkemuka, ikut berbagi pengalamannya mengelola penggunaan gadget untuk anak. Untuk Rava, mom Mira yang sekarang sedang hamil anak kedua ini cukup disiplin, tidak ada gadget untuk di bawah setahun. Kini, aturannya adalah maksimal dua jam sehari. Di rumah, Rava paling menonton TV channel tertentu saja, tidak menggunakan gadget kecuali iPod yang hanya disambungkan ke internet di waktu tertentu. Hanya saja, ketika ada ayahnya di rumah, memang aturan menjadi sedikit lebih longgar. Apalagi di daycare ketika Rava harus dititipkan sewaktu mommynya bekerja, karena ada fasilitas gadgetnya juga.
“Anak memang sangat luar biasa, kita jangan kalah untuk berpikir,” ungkap dr. Ivan. Salah-salah, anak ‘menjawab’ aturan kita. Terkait gadget ini misalnya. Orangtua pun perlu menjadi contoh yang baik, jangan hanya melarang tetapi dirinya sendiri masih sering asyik dengan gadget ketika bersama anak. Sementara, anak adalah peniru yang sangat ulung, bahkan kebiasaannya semasa kecil bisa terbawa hingga dewasa nanti. Ortu juga harus konsekuen, simpan gadget saat sedang bersama anak, karena anak bisa protes kalau tidak, kok ortu boleh pegang gadget terus.
Bahkan dr. Ivan mencontohkan perlunya membuat komitmen eksplisit. Tulis, tanda tangani, dan tepati perjanjian mengenai pemakaian gadget ini. Berikan pengertian, misalnya anak perlu fokus pada apa yang dilakukan, kapan boleh pakai hp. Pengaturan waktu juga perlu diperhatikan, karena anak bisa nanti menantikan hari boleh pegang gadget dan membenci hari tanpa gadget.
Mom Mira menambahkan, ia sendiri masih kesulitan menghindari penggunaan kata ‘jangan’. Namun, ia mengimbangi dengan menyebutkan alasannya, sehingga anak paham kenapa tidak boleh melakukan hal tersebut. Mom Mira juga bilang, jangan segan minta maaf pada anak jika kita terlupa atau terpaksa menciderai komitmen yang sudah dibuat. Orangtua juga bisa salah, kok. Jangan mentang-mentang jadi orangtua lalu selalu ada pembenaran, padahal anak akan melihat bagaimana kita menjalankan komitmen dengan baik.
Di Internet bisa saja ada video edukasi, tetapi interaksinya tetap kurang, jelas dr. Ivan. Jadi orangtua juga harus aktif. Segera koreksi kalau ada yang salah, khususnya soal sopan santun. Orangtua jangan menyalahkan pihak lain seperti lingkungan sekitar atau pengasuh yang kita anggap memberi pengaruh buruk. Ingat-ingat juga, apakah dulu ketika hamil kita pernah secara tidak sadar menghipnosis diri sendiri yang berpengaruh ke anak. Semuanya berawal dari rumah, dari orangtua, tegas dr. Ivan.
Untuk mengimbangi dampak dari penggunaan gadget, mom Mira ia terbiasa mengajak Rava mengulangi apa yang habis ditonton. Jadi ada semacam praktiknya. Misalnya setelah lihat materi pelajaran huruf hijaiyah, lalu mom Mira ambil buku iqra’-nya dan ulangi bersama-sama mengeja huruf hijaiyah bersama Rava.
Sebagai penutup, dr. Ivan menekankan, anak sekarang makin canggih. Ini disampaikannya berdasarkan pengalaman mendidik putranya sendiri yang sudah remaja. Pergaulan di internet tidak bisa benar-benar dibatasi, apalagi cari duit pun bisa di situ. Yang penting, kedua orangtua juga kompak, punya pola pikir yang sama. Tunjukkan contoh, jangan hanya melarang atau menegur. Ingatkan juga bahwa sosialisasi di dunia nyata, seperti komunitas misalnya, juga perlu.
Thank you for share ilmu yg sangat bermanfaat ini Mom Leila😍
Sama-sama, Mba Vibrie, terima kasih sudah mengadakan acara yang keren ini :).