Setiap kali bulan Ramadan berakhir, selalu terbit penyesalan di hati. Mengapa saya tak memanfaatkan momen bulan penuh ampunan ini dengan sebaik-baiknya? Sungguh banyak waktu yang saya habiskan dengan sia-sia alih-alih menambah amalan baik. Baiklah, mungkin tidak sepenuhnya sia-sia, tetapi tetap saja, ada celah tambahan amal yang saya lewatkan. Ujung-ujungnya saya bertekad agar Ramadan tahun depan harus lebih baik. Dan tentunya berdoa agar masih diberi kesempatan untuk itu.
Sering saya baca seruan untuk menghidupkan bulan-bulan lain laksana Ramadan. Maksudnya, mari memperbanyak ibadah dan menahan hawa nafsu meskipun pahala yang dijanjikan secara eksplisit tidaklah sebanyak untuk bulan Ramadan. Namun, seiring dengan berjalannya bulan demi bulan, semangat ini kembali mengendor. Kesibukan kerja dan urusan rumah menjadi pembelaan diri.
Kini Ramadan 1439 Hijriah sudah di depan mata. Tinggal menunggu penetapan pemerintah untuk memulai ibadah puasa. Sudah sejauh mana persiapan saya?
Sejujurnya, saya tetap merasakan masih belum optimal. Kalau soal sarana, memang saya jarang mengkhususkan membeli mukena atau Al-Qur’an baru untuk menyambut momen Ramadan. Padahal menurut beberapa teman, tidak ada salahnya selama memang anggarannya ada, hitung-hitung untuk menyemangati diri. Persiapan logistik dapur juga masih begitu-begitu saja, belum jadi eksekusi stok bumbu dasar agar waktu memasak bisa dipersingkat, seperti yang dilakukan oleh sejumlah sahabat. Borong telur atau daging yang harganya dengar-dengar mulai meroket juga belum. Stamina? Karena sedang merasa kurang fit, memang belakangan ini saya sedang memperbanyak minum air putih dan jalan kaki, sih. Semoga bisa dihitung sebagai semacam ikhtiar, ya.
Yang tidak kalah penting sebetulnya adalah mempersiapkan anak-anak. Fathia sudah menjelang umur 7 tahun, dan lagi-lagi saya merasa masih belum menerapkan apa yang selama ini saya pelajar dengan serius. Soal mencintai ibadah, termasuk ibadah shaum, misalnya.
Sejak sebelum dikaruniai buah hati, saya sudah membaca artikel dan buku mengenai perlunya memperkenalkan Ramadan kepada anak. Memperkenalkan keutamaannya, mengenalkan apa saja yang perlu dilakukan, dan yang terpenting membangkitkan rasa cinta di hati anak-anak pada bulan Ramadan.
Bukan rahasia lagi jika bulan Ramadan di mata segolongan manusia kadang dianggap sebagai bulan yang berat, bahkan ‘penuh tekanan’. Sebab memang ada hal-hal yang biasanya tak mengapa dilakukan, tetapi dilarang di bulan ini. Jika kurang pas dalam mengarahkan, bisa-bisa anak ikut menganggap Ramadan sebagai masa yang tak mengasyikkan.
Tahun ini alhamdulillah saya diajak terlibat dalam pembuatan sebuah buku yang didedikasikan untuk menemani anak-anak selama bulan Ramadan. Buku Ramadhan Seru Bersama Hamzah dan Syifa yang disusun oleh tim Rumah Belajar Menulis Ibu Profesional Jakarta ini sudah resmi terbit awal Mei lalu, dan kini telah ludes terjual. Kami sepakat untuk tidak melakukan cetak ulang meski permintaan cukup banyak, karena kami ingin fokus mengisi bulan istimewa, tamu agung yang kian dekat. Sambil membuat dan mengolah konten untuk buku ini, termasuk mengamati bagian aktivitas dan fakta yang sebetulnya menjadi tugas rekan-rekan lain, saya juga sekalian belajar kembali soal ketentuan-ketentuan selama bulan puasa.
Sambil mencermati bagian cerpen dalam buku tersebut, saya jadi mengenang indahnya puasa di masa kecil. Tarawih yang khidmat sekaligus ‘seru’, menu khas sahur dan berbuka, pesantren kilat, semangatnya mengaji, sampai sibuknya persiapan menyambut sanak saudara yang mudik. Keceriaan inilah yang ingin saya dan suami tularkan ke anak-anak yang kini berusia 6,5 dan 3 tahun.
Pastinya Ramadan bukan sekadar soal gegap gempita. Kemeriahan perlu untuk menghidupkan hari demi hari, terutama memancing antusiasme muslim dan muslimah cilik yang baru belajar berpuasa. Ada sisi kemuliaan bulan ini yang lebih nikmat diresapi dalam kesyahduan. Sebab memang inilah saatnya bercengkrama dengan Sang Pencipta, memohon ampun dan ridha dari Allah swt. Senyampang masih diberi peluang.
Ya, sebab kita tak pernah tahu kapan malaikat Izrail menjemput. Bisa jadi manisnya Ramadan bukan lagi menjadi hak kita.
Maka, entah ini Ramadan terakhir untuk saya maupun bukan, saya berikrar untuk memperlakukannya seolah-olah ini Ramadan terakhir, itu juga jika memang masih dikaruniai sisa usia. Sayang sekali jika kesempatan ini disia-siakan. Bukan hanya bagi diri saya sendiri, tetapi juga bagi orang-rang tersayang. Bukan berarti fokus pada ‘ibadah langit’ kemudian mengabaikan tugas pekerjaan, justru inilah saatnya membuktikan profesionalisme, mengatur kembali prioritas diri sebagai hamba. Sebagai istri, ibu, anak, pekerja, maupun pribadi. Sebab, segala perbuatan kita juga bisa punya nilai ibadah, ‘kan? Sehingga, Ramadan ini juga bisa menjadi titik tolak untuk memperbaiki niat, pun membenahi hubungan dengan sesama.
Kalaupun ini memang Ramadan terakhir saya, semoga saya ‘dijemput’ dalam keadaan bertakwa sepenuhnya, dan keluarga bisa tetap move on tanpa kehadiran saya.
Tulisan ini diikutsertakan dalam postingan tematik Blogger Muslimah Indonesia.
Foto: mbak Vivi Ermawati
#PostinganTematik
#PostemSpesialRamadan
#BloggerMuslimah
#BloggerMuslimahIndonesia
Aamiin..
Duh, malu deh karena aku jg cuma begitu2 aja Ramadannya🙁
Yukk semangaatt semangat, Mbaa…
Aamiiin….semoga segala harapan berakhir indah ya Mba. Selamat menjalankan ibadah ramadhan.
Aamiin, selamat menjalankan ibadah Ramadhan juga, Mbak Denik….
Semoga kita menhadi ibsan yang lebih baik lagi ya mbak. Marhaban Yaa Ramadhan ^^
Aamiin 🙂
bener, harus bisa jadiin setiap hari itu seolah-olah ramadhan terakhir biar selalu berbuat kebaikan 🙂
Semoga kita bisa senantiasa menjaga semangat itu ya, Mba….
Jadi PR buat saya juga. Punya anak balita sehingga menambah kegiatan untuk menemaninya belajar berpuasa serta ibadah lainnya.
Salam
Okti Li
Iya Mba, supaya anak-anak juga menikmati bulan Ramadhan ya…
Aamiin. Semoga kita lulus dari sekolah Ramadhan sebagai muttaqin. Dan semoga masih dipertemukan dg Ramadhan berikutnya.
Aamiin. Semoga kita semua lulus dari sekolah Ramadhan sebagai muttaqin. Dan semoga masih diberi kesempatan bertemu Ramadhan berikutnya.
Aamiin ya robbal aalamiin
Bener banget mbak selagi masih ada susa usia, manfaatkan Ramadhan ini dengan sebaik-baiknya untuk mendapatkan banyak berkah. Setidaknya jika ini memang ramadhan terakhir, kita sudah berusaha yang terbaik
Semoga kita semua beroleh berkah Ramadhan ya Mbak….
mbak, keren banget. saat terbaik belajar menjadi orang tua memang sebelum punya anak. semoga ramadhan tahun ini bisa kita isi dengan maksimal ya mbak
Aamiin…iya baiknya sudah berbekal sebelum saatnya tiba, Mbak.
Hebat bukunya ludes terjual, sayang gak cetak ulang padahal saya penasaran.
Hehehe, mungkin nanti kalau ada kesempatan berikutnya tahun depan ya Mbak, in sya ALlah…
Terkadang amal yang kita lakukan itu belum tentu benar-benar amal ya Bun. Walau pun terkdang kita suka beramal, tetap saja ada dosa yang tanpa kita sadari kita lakukan.
Iya Bunda, terima kasih sudah mengingatkan….
Amiin,selamat menjalankan ibadah puasa mbak
Terima kasih, Mba, selamat menjalankan ibadah puasa juga :).
anggaplah ini Ramadhan terakhir, tapi semoga bukan yang terakhir ya mba…
Iya, Mba… masih belum puas menikmatinya.
PR juga ya mba, ketika anak kita beranjak dewasa dan kita harus mulai mengenalkan Ramadhan agar semakin dekat dg mereka 😀
Betul, Mbak, semoga anak-anak bisa menikmati syahdunya Ramadhan.
Aamin ya Rabb 😀
Mengajak anak untuk semangat berpuasa via buku memang ide yang bagus ya, Mbak. Saya pun begitu, walaupun bukunya beda 🙂
Semoga Ramadan ini bisa dilalui dengan sepenuh jiwa, sukses, dan berkah. Aamiin
Iya Mbak, kita manfaatkan sarana yang tersedia sebaik-baiknya, ya :).
Iya ya mbak, setidaknya dengan berandai-andai menjadikan ini sebagai ramadhan terakhir kita… maka kita akan bisa lebih fokus dan mengoptimalkan ibadah kita di bulan penuh berkah ini
Betul, Mbak….
Barakallah mbak buat bukunya. Semoga bisa tetep produktif di bulan Ramadhan, Amin.
Aamiin 🙂
Kereeeen, selamat atas karyanya ya mbak