Ahad lalu (13/05), Teh Kiki Barkiah berbagi seputar pendidikan anak dilihat dari segi karakter masing-masing di Masjid Abu Bakar Ash-Shidiq, Otista. Dengan status sebagai ibu dari 6 anak (terakhir saya ikut seminar teh Kiki Ramadhan dua tahun yang lalu, teh Kiki rupanya sedang mengandung), tentu teh Kiki cukup kaya akan pengalaman. Bahkan di seminar bertajuk “Mosqueschooling Seminar Parenting Minim Konflik Maxi Manfaat, Mendidik Anak Sesuai Keunikan Karakternya” ini, saya dapati teh Kiki mengungkapkan tentang perkembangan cara pandangnya seiring dengan berjalannya waktu. Artinya, pola asuh bisa saja berubah atau disesuaikan secara fleksibel.
Menurut teh Kiki, pendekatan kita ke anak-anak perlu disesuaikan dengan bahasa cinta mereka. Tidak cukup kita hanya bersemangat untuk mendidik anak menjadi anak yang sholeh. Ada kebutuhan-kebutuhan anak sesuai potensi bawaannya yang harus kita penuhi, termasuk kebutuhan jasmaninya untuk bermain.
Komunikasi menjadi hal yang penting. Kita perlu bertanya kepada anak-anak akan perasaan mereka. Jangan-jangan kita sudah merasa penuh membersamai mereka, tetapi anak-anak justru merasa meski bersama-sama, kita tidak sepenuhnya hadir untuk mereka. Teh Kiki sendiri merasakan ketika lahir anak keenam, ada kebersamaan dengan kakak-kakaknya yang berkurang.
Dari pengalaman bersama keenam buah hatinya, teh Kiki bercerita bahwa masing-masing punya ciri khas belajar yang berbeda. Ada yang lebih berminat dengan pendekatan logika, ada yang ingin bergerak terus. Ini tergantung belahan otak memimpin yang sebelah mana. Ya, belakangan teh Kiki memang tertarik dengan konsep STIFIN (tidak saya jelaskan lebih lanjut di sini ya, hehehe), yang dirasakan cocok membantu keluarganya membentuk satu tim yang solid dengan ragam keunikan karakter masing-masing anggotanya.
Dulu teh Kiki menyusun kurikulum, khususnya untuk homeschooling putra putrinya. Inti dari kurikulum ini, yang penting semua anak harus diantarkan ke tujuan belajar, kalau sudah tahu tujuannya nanti dia bisa berjalan sendiri dengan pengarahan sedikit-sedikit. Namun kemudian teh Kiki menyadari bahwa karakter anak itu berbeda-beda dan ini berpengaruh ke cara belajarnya. Dan tiap karakter ini perlu dihargai.
Ada orang yang teramat teliti sampai kadang mudah kesal dengan sesuatu yang tidak rapi atau tidak balance. Ada orang yang seperti Abdurrahman bin Auf, yang jago berjualan keliling dengan telaten. Ada yang terkesan tidak tegaan, perasa, ngemong. Ada yang cocok dimasukkan ke pesantren, ada yang tidak. Dan ada orang-orang yang akan masuk surga dengan karakternya itu. Dengan karakter itu mereka bisa jadi auditor yang andal, pedagang yang amanah, da’i yang lembut, dan akan mengantarkannya ke kemuliaan, membawanya ke pintu surga. Jadi tinggal bagaimana kita mengantarkan anak-anak sesuai peran kekhalifahannya.
Mengenali karakter bukan berarti memaklumi ketika ada perilaku negatif berkaitan dengan karakternya, ya. Tetap diusahakan untuk diarahkan, setidaknya untuk mengarah ke kondisi pertengahan walau pastinya tidak secemerlang yang memang bakatnya di situ (misalnya terkait pengelolaan emosi). Standarnya juga perlu disesuaikan. Fokus ke tanggung jawab anak, misalnya soal beres-beres rumah, karena memang tidak semua orang punya sense kerapian yang sama.
Kebanyakan anak teh Kiki dari kecil sudah dibiasakan mandiri, apalagi keluarga mereka sempat tinggal beberapa tahun di AS tanpa helper. Namun ada juga anak yang walaupun sudah diberikan segala macam bekal agar mandiri, ternyata hasilnya berbeda. Ada lagi yang justru ‘kelewat mandiri’, jadinya kadang menjurus bahaya (dan akhirnya bikin teh Kiki selalu berdoa ini anak yang penuh inisiatif, akan jadi expert dst alih-alih marah saking seringnya dapat surprise).
Rasulullah tidak memberikan dengan detail bagaimana mendidik anak dengan kekhasannya masing-masing. Ini yang perlu kita pelajari. Misalnya, di antara anak kita ada anak yang perlu dikasih dalil dulu, ada yang begitu diberi instruksi langsung berangkat, ada yang baru semangat bertindak/berangkat kalau ditemani ummi, ada yang untuk belajar huruf hijaiyah satu huruf satu kali perosotan dst. Setiap karakter perlu penyalurannya juga, jadi libatkan anak untuk tugas-tugas yang sesuai.
Banyak orangtua yang jadi galak karena menganggap aktifnya anak sebagai suatu kesalahan. Padahal pahamilah bahwa anak, apalagi baru usia tertentu, memang sedang aktif-aktifnya. Bukan berarti kita lalu membiarkan, ya. Anak juga perlu diajari, bagaimana menyesuaikan aktivitas dengan lingkungannya. Khususnya lingkungan tertentu yang memerlukan ketenangan atau tempat yang cenderung berisiko.
Untuk itu, teh Kiki menerapkan red, orange & green zone, baik berupa pembagian ruang di rumah (kamar, ruang bermain) maupun secara lingkungan (misalnya di luar rumah, di rumah nenek). Jadi ada lokasi di mana anak terus-menerus diingatkan untuk lebih ‘kalem’. Ini pun tidak bisa instan memang, seringkali perlu waktu agar konsep ini sampai ter-install pada anak. Fasilitasi juga anak, misalnya menyediakan ruangan dan sarana yang aman untuk beraktivitas semuanya. Bahkan pada titik tertentu bisa jadi ibu perlu bantuan (dari suami, asisten, layanan jasa dst), karena emosi ibu juga perlu dijaga agar tetap maksimal dalam menjalankan perannya.
Dengan kita tahu mereka seperti apa, potensi dirinya yang dikaruniakan oleh Allah apa, maka kita juga akan lebih mudah mengantarkan anak-anak kepada peran kekhalifahan mereka dan husnul khotimah pada akhirnya. Harapannya, hal ini juga meminimalkan konflik.
Wah..Teh KIki Barkiah..memang inspiratif. Saya belum pernah ikut seminarnya, dulu saja waktu tinggal di Amerikas sering baca sharingnya di grup IMSA (Indonesian Muslem Society in America)..Tapi belum pernah ketemu Beliau.
Setuju sekali, agar potensi anak berkembang dibutuhkan dukungan dari orang tua dan lingkungan sekitarnya.
Terima kasih sharingnya Mbak…:)