
Writober 10: Jaga Asa di Tengah Tantangan Pandemi Corona

Beberapa waktu yang lalu, sambil memesan beberapa botol vitamin untuk stok selama isolasi mandiri, saya melihat ada face scrub St. Ives yang dijual di toko yang sama. Berhubung sering membaca ulasan positif soal produk dari merek ini, saya pun tergoda untuk memesan. Pilihan saya jatuh pada varian Coconut & Coffee. Kalau dipikir, mirip bajigur ya, kopi dikombinasikan dengan santan, hehe.
Pada dasarnya kita memang disarankan untuk memakai eksfoliator agar kulit kita lebih bersih dan tidak kusam. Kulit yang bersih akan lebih “siap” untuk menerima nutrisi dari rangkaian skincare tahap berikutnya, dan ketika memakai make up pun lebih “nempel”.
Eksfoliator ini ada yang sifatnya kimiawi (chemical) maupun fisik. Eksfolian kimiawi biasanya memakai kandungan enzim ataupun acid tertentu (AHA, BHA) untuk membantu pengelupasan kulit. Scrub termasuk eksfoliator jenis fisik, karena titik-titik butiran di dalamnyalah yang bertugas mengangkat sel kulit mati. Selain itu, scrub juga membantu memperlancar aliran dan sirkulasi darah.
Klaimnya, St. Ives Energizing Coconut & Coffee Face Scrub dibuat dengan eksfolian yang 100% alami. Beberapa waktu yang lalu sempat ada bahasan hangat soal pemakaian microbeads alias “manik-manik superkecil” dari plastik pada skincare. Bahannya bisa plastik jenis polypropylene (PP) atau polyethylene (PE). Microbeads plastik ini biasanya dipakai pada produk scrub atau pasta gigi, dengan tujuan membantu menggosok atau mengikis kotoran dan sel kulit mati. Jika sudah selesai dipakai lalu terbuang sampai ke sungai dan lautan, microbeads dapat termakan oleh hewan laut. Kasihan, kan? Amerika Serikat pada tahun 2016 sudah melarang pemakaian microbeads ini pada produk kecantikan dan toiletries (peraturannya efektif berlaku per Juli 2017). Coba cek deh, apakah skincare kita memakai microbeads?
Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, saya menjalani penugasan di Palembang. Berawal dari ketidaksengajaan ketika angkot yang saya tumpangi mengambil jalan yang berbeda, saya justru menemukan bangunan bergaya kolonial di Jl. Talang Semut. Ternyata itu adalah Museum Tekstil.
Seindah warna semungil melati
Dikau cemerlang wanita
Semerbak wangi sejinak merpati
Dikau senandung di citaGerak gayamu ringan
Memikat hati muda teruna
Mekar bersinar menyilaukan mata
Halus wanita bak sutra dewangga
Senyummu meruntuhkan mahkota
Kutipan di atas adalah lirik lagu Wanita ciptaan Ismail Marzuki, tembang lawas (1948) yang kembali populer ketika dinyanyikan lagi oleh Afgan dalam rangkaian lagu pengiring film Soekarno: Indonesia Merdeka (2013).
Pandemi Covid-19 mengubah banyak aspek dalam kehidupan. Demi mengatasi penularan, sejumlah pembatasan aktivitas pun dilakukan. Tak terkecuali soal sekolah. Hingga kini, banyak sekolah belum mengadakan lagi sesi tatap muka secara langsung untuk kegiatan belajar mengajar. Termasuk sekolah anak-anak saya.
Agar aktivitas belajar dapat tetap berjalan, pastinya dibutuhkan sarana lain sebagai perantara. Teknologi menjadi pilihan utama di daerah-daerah yang kondisinya memungkinkan. Penggunaan gawai di kalangan anak sekolah pun meningkat, karena dengan alat inilah materi pelajaran sekolah diberikan. Mau tak mau, siswa maupun orang tuanya harus beradaptasi.
Sekian bulan hanya menjadi pengamat soal pagebluk Covid-19, sambil sesekali menuliskan hal-hal terkait mereka yang terdampak untuk tugas kantor, Agustus lalu saya dan keluarga akhirnya mengalami sendiri, menjadi yang terdampak langsung. Melalui penelusuran kontak erat dari kasus yang sudah ada, saya dan suami menjalani pemeriksaan swab PCR yang hasilnya ternyata positif.