Ini salah satu tugas yang diberikan pada Workshop Jurnalistik yang saya ikuti pada tanggal 24 s.d. 28 Juni 2013 lalu. Peserta diminta membuat tulisan feature berdasarkan wawancara dengan teman yang duduk di sebelahnya. Jadilah saya wawancara Mbak Syari, kebetulan waktu itu kami lagi sama-sama geregetan mikirin salah satu grup kesayangan kami di facebook :).
Pusingnya Mengelola Grup di Media Sosial
Rambut boleh sama hitam, isi kepala siapa yang tahu. Peribahasa ini tampaknya cocok untuk menggambarkan perbedaan pendapat antarmanusia. Di era kebebasan seperti sekarang, orang semakin leluasa mengungkapkan isi kepalanya, banyak yang tak takut lagi dianggap aneh atau dimusuhi. Media internet turut memberi ruang bagi kebebasan berpendapat ini. Namun, seberapa jauh para penggunanya benar-benar bisa bertoleransi terhadap pendapat orang lain yang bertolak belakang?
Kendati sudah banyak yang menyelipkan konten audiovisual, tetapi hingga sekarang komunikasi di dunia maya masih didominasi oleh bahasa tulis. Tanpa mendengar intonasi dan melihat ekspresi si penulis, bisa saja terjadi kesalahpahaman. Tanggapan yang senada bisa diinterpretasikan sanggahan dan memicu ketersinggungan, komentar tak setuju bisa bikin keki berhari-hari. Jika dalam situs berita ataupun blog sang empunya bisa mengacuhkan saja karena menganggap menanggapi hal-hal seperti itu buang energi, lain lagi ceritanya dengan grup di media sosial. Banyaknya anggota dengan aneka rupa tabiat dan latar belakang bisa memicu bentrokan agak serius biarpun tanpa kontak fisik.
“Pusing!” jawab Yeptirani Syari, seorang administrator grup ketika ditanya mengenai ‘duka’-nya mengelola grup dengan puluhan ribu anggota. Grup facebook Tambah ASI Tambah Cinta yang dikelola oleh ibu satu anak batita ini memiliki tema besar seputar pemberian ASI (Air Susu Ibu), tetapi pembahasan seputar hal-hal lain seperti kesehatan anak, kehamilan, pengasuhan, hingga keuangan keluarga tidak dilarang. Luasnya tema ini saja bisa memicu protes dari beberapa anggota, khususnya yang baru bergabung jauh setelah didirikannya grup ini pada awal tahun 2011. “Kok nggak sesuai sama judul grupnya,” biasanya demikian keluhan yang dilayangkan.
Merasa di-bully
“Sebetulnya kami tidak antisufor (susu formula-red), hanya saja kami ingin membantu ibu-ibu yang mungkin masih belum banyak tahu mengenai manfaat dan trik-trik pemberian ASI atau menelan mitos mentah-mentah. Jadi kalau ada yang mengirimkan komentar yang terkesan mendukung pemakaian sufor tanpa indikasi medis, ya kami akan peringatkan,” lanjut Syari. Ya, masalah ASI vs sufor adalah masalah klasik dalam kampanye ASI. Salah kata sedikit, bisa dituding mem-bully anggota yang terpaksa memberikan sufor. Atau sebaliknya, informasi yang kurang berimbang dapat membuat seorang ibu berpikir bahwa ASI-nya pasti tidak ada, padahal sesungguhnya masih bisa diusahakan.
Adakalanya juga, sebagian anggota menjawab pertanyaan anggota lain dengan saran yang tidak sesuai dengan visi grup. “Grup ini berjalan dalam koridor Evidence-based Medicine (EBM),” terang Syari, “jadi kalau ada yang bilang bersihkan ruam di pipi bayi dengan popok bekas pakai, atau menyuruh bayi diberi makan sebelum 6 bulan (kebijakan pemerintah saat ini adalah mengikuti rekomendasi WHO yaitu bayi diberi ASI saja hingga usia 6 bulan-red), ya kami akan luruskan.” Celakanya, ada saja yang naik pitam karena tak suka masukannya dimentahkan. “Kan kita cuma sharing, kalau nggak cocok ya lewatin aja!”
Postingan Caper
Belakangan, ada lagi tipe postingan baru yang menyita energi para administrator grup. Ada anggota yang melemparkan isu sensitif seperti melahirkan secara caesar lebih baik, curhat soal pribadi dengan emosi, atau bahkan menyatakan niat mau pinjam uang untuk beli susu. Sebagian serius ingin memperoleh opini atau referensi, yang lain terkesan hanya cari perhatian alias caper. Awalnya Wynanda, pendiri grup ini masih membiarkan, maksimal hanya memberi peringatan, dengan tujuan merangkul semua kalangan. Siapa tahu yang tadinya iseng jadi tertarik untuk belajar lebih jauh. Lagipula banyaknya grup sejenis dengan peraturan lebih ketat (bahkan termasuk penulisan nama akun yang boleh mendaftar menjadi anggota) memang seakan menyisakan hanya sedikit ruang untuk mereka yang lebih suka bebas. Tetapi ketika thread yang kontroversial biasanya malah sangat ramai oleh beraneka tanggapan (termasuk yang berantem sendiri) dan membuat thread diskusi yang lebih penting tenggelam, tindakan yang lebih tegas pun diambil. Blokir anggota yang ‘bandel’ menjadi jalan terakhir yang terpaksa ditempuh.
Menjelang pertengahan tahun 2013, Syari ditunjuk sebagai administrator menemani Wynanda yang sejak awal bekerja solo. Salah satu gebrakan yang dibuatnya, langsung hapus postingan ‘yang aneh-aneh’ tanpa peringatan. Termasuk iklan di luar jadwal, karena promosi hanya diperkenankan pada bazaar week yaitu tanggal 1 sampai 7 setiap bulannya.
Mencairkan Kebosanan
Mengingat setiap hari ada saja anggota baru, pastinya akan ada pertanyaan berulang. Banyak pertanyaan yang sudah berkali-kali disampaikan, bahkan dalam sehari bisa ada sampai tiga pertanyaan yang serupa. Bisa dimaklumi, mengingat lalu lintas postingan di grup ini makin padat saja. Sebetulnya semua anggota bebas saja menjawab karena tak semua administrator sempat memantau seluruh isi grup. Hanya saja, seringkali ada yang menjawab tidak sesuai dengan visi grup seperti yang sudah disampaikan di atas. Sementara anggota yang tahu jawaban ilmiahnya selain tidak sempat juga ada yang mengaku bosan dengan pertanyaan berulang yang jawabannya sebetulnya bisa dicari sendiri di dokumen grup atau thread lain.
Untuk mencairkan kebosanan ini, beberapa anggota ‘senior’ mengaku suka cari penyegaran dulu. Entah dengan libur sementara dari mengakses grup, atau justru ‘bikin kerusuhan’ dengan dangdutan. Ya, walau hanya virtual, ibu-ibu anggota grup ini tak kehabisan akal untuk bergembira bersama. Sahut-sahutan bak di acara orkes dangdut menjadi sarana pelepas penat dan pengendor ketegangan. Yang semula berdebat bisa berbaur dalam keriangan, yang lama tak saling menyapa karena kesibukan bisa kangen-kangenan. “Tradisi orkes ini sempat vakum karena para anggota lama anaknya sudah besar-besar atau ada kesibukan baru sehingga semakin jarang mampir ke grup. Tapi belakangan dihidupkan kembali. Lumayan buat seru-seruan, walau pastinya ada anggota baru yang sempat protes karena dianggap nggak penting,” pungkas Syari sambil tersenyum.
Pingback: Berdamai dengan Ketidaksempurnaan | Leila's Blog
Pingback: [Ulasan Buku] Berdamai dengan Ketidaksempurnaan | Leila's Blog
Pingback: “Silent Disease” dan Hubungannya dengan Pertumbuhan Anak | Cerita-Cerita Leila