Judul buku ini langsung menarik perhatian saya. I’m (Not) Perfect: Walaupun Tidak Sempurna, Perempuan Tetap Bisa Bahagia. Mengingat gaya tulisan Cici Dian Kristiani di Buying Office Girl, kemungkinan buku ini juga ditulis dengan lincah dan kocak, seperti dituliskan di sampul depannya, 1001 curhat seru nan kocak tentang mengapa perempuan harus lebih mencintai diri sendiri dan menghargai orang lain. Kenapa saya bilang menarik? Karena belakangan saya memang sedang memikirkan banyaknya tuntutan bagi perempuan, khususnya yang sudah menjadi ibu, untuk (terlihat) sempurna. Peer pressure-nya menurut saya lebih tinggi karena tolok ukur ‘kesuksesan’ bertambah banyak, dari kurus gemuknya anak sampai SPP sekolah anak.
Membaca lembar demi lembar buku setebal 153+xi halaman ini rasanya sungguh gado-gado. Ada kalanya saya manggut-manggut, tetapi ada pula bagian yang membuat saya mengerutkan kening. Dalam buku yang terdiri atas 28 tulisan pendek ini, Cici Dian berbagi mengenai hal-hal yang memicu munculnya bisik-bisik sinis atau pandangan sebelah mata. Ada yang merupakan pengalaman pribadinya, ada juga yang bersumber dari curhatan teman. Sebut saja melahirkan dengan operasi sectio caesarean, penggunaan susu formula, pemberian jajanan ‘sembarangan’ untuk anak, status sebagai single parent, pengenaan hukuman fisik pada anak, ketergantungan terhadap pengasuh anak, konsumsi rokok, status keperawanan (lebih tepatnya ketidakperawanan), pilihan untuk bekerja di luar rumah, ukuran tubuh, belum hadirnya buah hati, keterampilan memasak, hingga obsesi terkait kecerdasan anak.
Nah, begitu banyaknya segi kehidupan seorang manusia, lebih khususnya lagi seorang perempuan, sungguh mustahil bisa sempurna di semua bidang, kan? Dan ketika kita punya sisi-sisi kurang baik, apa yang harus kita lakukan?
“Berterus terang sajalah. Tak usah pedulikan apa kata orang tentang diri kita. Meladeni tanggapan orang lain tak akan ada habisnya,” demikian kata cici Dian di pengantar buku. Di sisi lain, meskipun konteksnya sedikit berbeda, “Memiliki hidup lebih baik itu mutlak, berusaha itu penting.” (halaman 3). Kesimpulan saya, sih, kita tidak perlu memasukkan semua omongan orang ke dalam hati apalagi menjadikannya sebagai beban, kendati yang namanya introspeksi untuk perbaikan diri itu juga perlu.
“Be yourself... Itu bukan berarti aku tak mau mengubah sikapku menjadi lebih baik,” tegas cici Dian di halaman 103. Nah, terus terang di bagian ini saya agak bingung. Sebatas apakah kita harus menutupi kekurangan atau malah membuka terang-terangan (kadang dengan rasa bangga karena telah berani ‘beda’)?
Share pengalaman saya sendiri saja ya… kebetulan saya aktif di salah satu grup mengenai ASI di facebook, belakangan malah diajak untuk jadi salah satu adminnya. Yang namanya cerita bahwa ASI-nya sedikit pasti tiap hari ada. Ada yang bercerita dengan harapan mencari solusi, ada juga yang sepertinya hanya ingin dihibur bahwa dunia takkan berakhir gara-gara bayi diberi sufor. Ditambah lagi dengan komentar member lain yang mungkin agak to the point kasih solusi yang kadang ajaib, jadilah untuk menanggapi postingan semacam ini perlu strategi. Bagaimana membesarkan hati member yang bercerita ini tanpa terkesan basa-basi. bagaimana menunjukkan bahwa masih banyak jalan selain makan sepanci daun katuk atau menenggak pil lancar ASI (yang seringkali dianggap sebagai ikhtiar maksimal), bagaimana menghibur bahwa kesempurnaan seorang ibu memang bukan hanya terletak pada keberhasilan memberi ASI tapi sekaligus juga memotivasi untuk mengusahakan yang masih bisa diusahakan…. Intinya seperti yang cici Dian bilang, bagaimana berdamai dengan ketidaksempurnaan. Kadang kepada yang seperti menyalahkan pihak tenaga kesehatan yang kurang informatif atau keluarga yang tidak mendukung saya juga ingin langsung saja bilang, “Yang sudah ya sudah, jadikan sebagai pelajaran aja ke depannya -kalau berkenan-, sekarang yuk berjalan dengan kepala tegak, apa yang dilakukan waktu itu adalah yang terbaik pada saat itu.” Saya justru respek lho kalau ada yang begitu, tidak berlama-lama menyesali atau menyalahkan. Tapi tentu saja, berkata terkadang tak semudah praktiknya. Karena ya itu tadi, mengakui bahwa diri tidak sempurna itu seringkali begitu berat mengingat konsekuensinya: di-bully, padahal kenal saja nggak.
Masih mengenai pengalaman pribadi saya (loh, ini cici Dian mintanya bikin review, kok malah jadi curhat? :D), menunjukkan ketidaksempurnaan kita juga seringkali justru bikin saran kita lebih bisa diterima. Karena jadi terasa ‘ada temannya’ dan saran yang diberikan terlihat tidak teoretis semata. Mengakui bahwa anak saya pun pakai dot untuk minum ASIP-nya sampai umur 8 bulan misalnya, walau tetap harus disertai peringatan bahwa sebetulnya dot tidak disarankan, akan terlihat lebih ‘manusiawi’. Yup, bahkan memberikan ASI full pun bukan berarti bebas bullying, lho, meski mungkin maksudnya baik. Pakai dot untuk memberikan ASIP, sapih dengan oles-olesan, exclusive pumping (alias tidak menyusui langsung, sepenuhnya pakai ASIP), tidak melakukan inisiasi menyusu dini, bisa bikin kesempurnaan menjadi seorang ibu ‘tercoreng’. Di sini lagi-lagi saya setuju dengan cici Dian, be yourself, tapi boleh dong ya sambil tetep kasih tahu menurut penelitian konsekuensinya gimana, hehehe. Setidaknya biar yang diambil adalah informed choice, bukan sekadar karena katanya katanya. Toh cici Dian juga melakukan hal yang sama untuk cerita tentang dot/empeng, di mana disebutkan bahwa ia merasa miris atau gemas pada anak-anak lain yang ‘ketergantungan’ dot/empeng.
Nah, di bagian manakah saya tidak setuju? Bagian makanan enak vs makanan sehat, tentunya, hehehe. Roti pabrikan saya kasih juga ke anak, ikut wisata kuliner selepas 1,5 tahun juga bukan barang haram buat anak saya, tapi tetap suka ngeri juga, euy. Tapi ya sekali lagi, cici Dian menyajikannya dengan mengena. Pilihan ada di masing-masing orangtua, bangga akan pilihan masing-masing adalah hak tiap individu juga. Kalau dari saya sih, namanya juga usaha biar generasi masa depan lebih baik dari emaknya gitu loh *ngumpetin ciki-cikian cemilan guilty pleasure emaknya di lemari*. Bayi saya juga sempat kecolongan makan kue lebaran bersalut gula halus sebelum usia setahun, dan itu saya sebut memang kecolongan karena salah saya sendiri kurang sigap menyiapkan camilan padahal saya berharap sebisa mungkin no gulgar. Maka saya tidak akan ngomel-ngomel di medsos mengenai betapa lancangnya orang yang sudah kasih kue itu ke anak saya. Karena ya, memang, alhamdulillah anak saya gak papa. Sejumput gula bukanlah end of the world. Tapi ya bukan berarti kemudian saya bebaskan saja :).
Bab yang paliiing saya suka adalah urusan masak-memasak. Soalnya miriiip, hehehe. Suami sepertinya juga lama-lama nyerah, apalagi mood makannya saingan sama mood masak saya. Kadang saya merasa bersalah karena tidak berusaha lebih keras untuk mencintai urusan dapur ini, tapi tetep aja gagap soal masak. Cuma cita-cita soal Fathia yang sekali lagi harus lebih sehat dari ortunya yang bikin bertahan coba resep ini-itu. Dengan ponsel di tangan atau catatan resep terbentang tentunya.
Anyway, buku ini saya rekomendasikan deh. Biar kita lebih terbuka menyikapi stigma-stigma mengenai perempuan yang ada di masyarakat, juga lebih bijak dalam melontarkan komentar. Kalaupun kita tak setuju akan sesuatu, bisa kan ya diungkapkan dengan lebih manis, atau setidaknya diam saja (sepanjang tidak sangat merugikan, misalnya ada ibu-ibu –maupun bapak-bapak– yang merokok di ruang tamu kita gituh). Sebab, siapakah kita berani menghakimi orang lain? Walaupun *yah, pakai walaupun, deh :D* namanya sesama muslim punya kewajiban untuk saling mengingatkan, ya, makanya ada baiknya kita ingat bahwa wajib pula kita berkata-kata yang baik. Dengan demikian saya tutup review ngebut ini dengan ucapan “aamiiin” untuk kalimat terakhir cici Dian di bab terakhir buku I’m (Not) Perfect :). Fastabiqul khairat, ya, Cici….