Tulisan saya yang (dengan beberapa perubahan) dimuat di majalah Annida edisi Oktober 2008. Tentu Belitung sudah banyak berubah ya sejak itu, terlebih setelah suksesnya film Laskar Pelangi (saat saya di sana, filmya sedang dalam proses awal syuting). Tetap lumayan buat kenang-kenangan, apalagi belakangan majalah tersebut tidak rutin terbit lagi edisi cetaknya.
Begalor di ‘Surga’ Kaya Timah
Barangkali, dulu kita hanya mengenal Belitung sebagai salah satu penghasil timah utama di negeri ini. Meledaknya novel karya Andrea Hirata membuat pulau tersebut kemudian dikenal juga dengan julukan lain: Bumi Laskar Pelangi. Penggambaran Andrea tentang masa kecilnya dalam tetralogi (baru tiga yang diterbitkan hingga tulisan ini dibuat) tersebut memang merebut hati banyak orang. Kini Belitung telah jauh berkembang dibandingkan saat Ikal (nama julukan Andrea) dan kawan-kawannya mengecap pendidikan di sebuah SD sederhana. Kepulauan Bangka Belitung sudah menjadi provinsi terpisah dari Sumatra Selatan. Pulau Belitung juga telah terbagi menjadi dua kabupaten yaitu Belitung (atau Belitung Induk, dengan bandara yang terletak di Kecamatan Tanjung Pandan) dan Belitung Timur (di mana terdapat Kecamatan Gantung yang menjadi latar cerita Laskar Pelangi). Tak heran para sineas yang berencana melayarlebarkan novel itu harus berusaha keras menciptakan suasana sekian tahun lampau demi kemiripan tampilan.
Masa kejayaan timah di Bangka Belitung juga bisa dibilang sudah sedikit memudar. Padahal, ingat kan, pekerja PN Timah apalagi para petingginya sempat menjadi kalangan elit dengan fasilitas melimpah. Setelah dieksploitasi sejak abad ke-18, penambangnya kini lebih banyak masyarakat umum yang kerap disebut sebagai penambang timah inkonvensional (TI). Kendati tak menghasilkan sebanyak dulu, pemasukan satu tim penambang masih cukup menarik minat daripada bekerja kantoran. Kru film Laskar Pelangi sampai kebingungan karena tak banyak yang mau jadi figuran, mending cari timah katanya. Praktik ini sebenarnya cenderung ilegal, karena seringkali mengabaikan dampak lingkungan. Kalau teman-teman melintasi langit Bangka Belitung, akan tampak bahwa pulau-pulaunya ‘bopeng’ di sana-sini. Lubang-lubang itulah bekas situs penambangan atau kolong yang ditinggalkan begitu saja, yang bentuknya jadi mirip danau kecil dengan air berwarna kebiruan. Indah, dong? Sama sekali tidak, karena warna itu adalah efek samping dari mekanisme penjagaan suhu situs selama proses penambangan. Efek samping lainnya sudah pasti erosi dan bisa juga pencemaran sumber air bersih.
Kalau mau yang indah-indah, lebih baik menjelajahi pantainya. Sebagian orang mengatakan bahwa kata Belitung atau Belitong dalam dialek aslinya merupakan singkatan dari ‘Bali dipotong’. Namun, wisatawan pengunjung Belitung tampaknya memang belum sebanyak pelancong di Bali. Padahal letak yang tidak jauh dari Jakarta (tak sampai sejam perjalanan udara) dan kealamiannya menjadi nilai lebih. Sebut saja Pantai Tanjung Tinggi yang berpasir putih nan lembut dan bertaburkan bebatuan granit raksasa. Di awal kunjungan, jangan kaget kalau kamu mendadak ‘insyaf’ (sementara, hehehe) dari kenarsisan. Yang ada, kamu akan bertasbih berulang kali sambil berusaha merekamnya dalam ingatan. Beberapa belas menit kemudian, baru deh heboh mengabadikan diri sebagai bukti pernah datang ke sini.
Pantai-pantai lain seperti Tanjung Kelayang, Tanjung Binga, Penyaeran, Tanjung Kiras, Teluk Gembira, sampai Batu Berlubang juga dihiasi batu-batu sebesar rumah yang membentuk formasi menarik. Salah satu yang paling terkenal adalah tumpukan batu di Pulau Burung (bisa ditebak, kan, bentuknya memang mirip paruh burung) Konon, bebatuan ini adalah pecahan meteor yang jatuh ke bumi.
Pecahan meteorit lain yang juga menjadi ciri khas Belitung adalah batu satam atau billitonite. Batu berwarna hitam mengilap ini tergolong langka, hanya ada di beberapa tempat di dunia dan diberi nama sesuai tempat ditemukannya. Biasanya ditemukan secara tak sengaja ketika sedang menambang timah, dan mengapa di pulau lain di Indonesia yang juga penghasil timah batu ini jarang sekali kelihatan masih menjadi misteri. Ada yang percaya batu satam mengandung kekuatan magis (duh, jatuhnya syirik nggak ya?), misalnya memberikan wibawa atau mengurangi rasa sakit saat melahirkan. Baik diasah sampai licin atau dibiarkan dalam bentuk aslinya yang dipenuhi cekungan dan alur halus, batu ini bernilai tinggi. Coba saja ketik billitonite di mesin pencari internet, akan muncul banyak penawaran perhiasan batu satam bahkan yang berharga selangit di pasaran internasional. Tapi kalau beli di Belitung langsung, masih cukup terjangkau kantong kita-kita, kok.
Jangan hanya puas dengan menikmati pemandangan. Air pantai yang berombak kecil dan landainya pantai mengundang kita untuk menceburkan diri. Kamu yang suka menyelam juga bisa melihat-lihat cantiknya panorama bawah laut. Tentunya tetap lihat-lihat situasi ya, sebab pada bulan-bulan tertentu ombak cukup besar atau sedang banyak ubur-ubur berkeliaran. Kalau ada waktu dan laut sedang bersahabat, kita bisa menyeberang ke pulau-pulau kecil tak jauh dari pantai. Pulau Lengkuas dekat Tanjung Kelayang dengan mercusuarnya yang berdiri sejak tahun 1882 dan masih berfungsi sampai sekarang adalah pilihan tepat.
‘Bosan’ dengan pantai? Ada Gunung Tajam, gunung tertinggi di Belitung yang dihiasi air terjun nan jernih. Awas, kadang ada monyet nakal di sini. Bisa juga main-main ke Kampung Bali, tempat berkumpulnya pendatang dari Pulau Dewata yang dari segi arsitektur dan budaya bikin serasa di Bali betulan. Suasana resort bisa didapatkan di Bukit Berahu. Ada pula dua museum buat yang tertarik pada sejarah. Pertama museum di tengah kota yang dulunya adalah museum geologi rintisan peneliti Belanda yang sekarang dilengkapi juga dengan kebun binatang di halaman belakang. Koleksi hewannya memang terbatas, tapi buaya terbesar di sini sudah jadi bintang film karena tempo hari dipinjam untuk syuting Laskar Pelangi. Satunya lagi museum yang memajang peninggalan kerajaan Badau.
Di Belitung Timur sendiri, tempat-tempat yang diceritakan Andrea Hirata jadi sering didatangi orang. Apalagi selama Mira Lesmana, Riri Riza dkk berada di sana. Meski, bahkan SD Muhammadiyah pun sudah roboh tahun 1991 hingga harus dibuatkan replikanya untuk adegan-adegan film. Toh masih ada kelenteng tempat janjian dengan A Ling, kedai kopi Akiong, sisa-sisa bioskop di mana para cowok ABG itu menyelinap nonton film, gedung-gedung milik PT Timah, dan tentunya rumah para tokohnya. Bisa saja kita ketemu Bu Muslimah yang masih penuh semangat dalam mengajar itu atau para anggota Laskar Pelangi.
Kalau beruntung, kita bisa menyaksikan beragam upacara seperti Maras Taun (pesta panen), Buang Jong (melarung perahu mini), atau Nirok Nanggok (menombak ikan). Menyesal juga dalam jangka waktu setengah tahun lebih tinggal di sana saya belum sempat melihat satu pun. Ada pula seni dan permainan asli seperti Dulmuluk (teater tradisional), betiong, begambus, dan stambul (musik), begubang dan campak (berbalas pantun), beripat beregong (adu ketangkasan dengan pemukul rotan diiringi musik tradisional), serta lesong panjang. Pengaruh budaya Cina juga cukup terasa, kemeriahan Imlek biasanya dirayakan besar-besaran lengkap dengan pertunjukan barongsai di jalan-jalan utama.
Sedangkan Pantai Tanjung Pendam mungkin ‘penampakannya’ tak semenakjubkan pantai-pantai lain, tapi posisinya di pusat kota Tanjung Pandan membuatnya nyaris selalu ramai terutama pada sore hari. Di saat seperti itu jadi agak sulit mencari tempat di tepian pantai yang sudah dilengkapi dengan banyak bangku, trotoar, aneka sarana permainan anak, kios-kios makanan, dan lapangan voli. Minimal sepekan sekali saya jalan kaki dari kos ke Tanjung Pendam, sekadar bersantai setelah sehari-hari bekerja atau ‘pacaran’ dengan suami kalau dia sedang berkunjung. Pemandangannya bisa berubah tergantung pasang-surutnya. Saat penuh, enaknya duduk mengamati gelombang lautan memantulkan bias-bias cahaya mentari menjelang terbenam ditingkahi aneka warna layar kapal di kejauhan sambil mencelupkan kaki ke air. Jika sedang surut, kita bisa berjalan-jalan hingga jauh ke tengah, walaupun belakangan peringatan akan banyaknya lubang makin gencar diserukan. Sayang, suka banyak anjing berkeliaran.
Pergi ke suatu daerah rasanya tak lengkap kalau belum mencicipi makanan khas setempat. Teman-teman bisa mulai dengan mi Belitung berteman tahu yang disiram kuah kari udang dan ditaburi kerupuk emping plus taoge. Hati-hati, karena banyak tempat makan milik etnis Tionghoa yang juga menyediakan masakan daging babi. Kepiting telur berisiko bikin ketagihan (saya pun suka dititipi kalau ada yang tahu saya akan pergi ke Jakarta atau Bangka). Jangan lupa mencoba gangan alias ‘sup ikan’ berkuah kuning asam pedas serta tumis genjer dan otak-otak. Dampingi dengan segelas es jeruk kunci, hmmm… tentu makin menyegarkan. Harga masakan di rumah-rumah makan pinggir Tanjung Tinggi dijamin bikin kamu terpukau nggak percaya. Murah meriah!
Untuk buah tangan keluarga di rumah, bawakan sambelingkung (abon ikan), dodol agar-agar, madu manis dan pahit, keripik sukun, aneka kerupuk ikan (getas dan kemplang), keritcu (keripik telur cumi), juga kue rintak (kue kering dari sagu dan gula aren). Sebotol tauco, rusip (fermentasi ikan dengan proses mirip tauco), atau terasi (bahkan ada yang berbentuk bubuk) cocok juga sebagai oleh-oleh untuk ibu di rumah. Kalau mau yang awet, perhiasan batu satam, kerajinan tangan dari timah (pewter), peci resam (dari anyaman sejenis rotan), bermacam taplak atau peci dari bahan renda, gantungan kunci, hiasan magnet kulkas, sampai cangkir bergambar pemandangan Belitung bisa jadi alternatif.
Jadi, siap begalor (bergaul, nongkrong) di Belitong?