Selain sariawan, satu lagi penyakit anak yang saya takuti adalah diare. Bagaimana tidak, Fathia sehari-hari saja masih butuh trik untuk bisa makan dengan baik, kalau diare kan lebih perlu perjuangan lagi. Tiga tahun pertamanya alhamdulillah terlewati tanpa infeksi pencernaan yang konon menjadi penyakit langganan anak-anak ini. Tapi November 2015 saya ‘dipaksa’ membuka dan membaca lagi dengan lebih saksama segala bekal terkait diare dan muntah atau gastroenteritis ini.
Kasus yang ini lebih banyak muntah, sih. Diare hanya datang di dua hari terakhir, itu pun ‘hanya’ dua-tiga kali dalam sehari dengan konsistensi pup yang agak encer, tidak benar-benar cair (lebaran kemarin barulah kejadian yang betul-betul nyaris hanya air, tapi alhamdulillah juga tak sampai 5x/hari dan tidak tiap hari dalam satu minggu). Muntah ini sebetulnya tantangan juga karena harus berlomba dengan upaya rehidrasi. Jangan sampai anak kekurangan cairan, kan? Saat itu saya masih menggunakan oralit/cairan rehidrasi oral dalam bentuk bubuk yang dilarutkan dalam air, kalau CRO siap minum (untuk anak, ada merk Pedialyte) baru kami coba saat kejadian waktu mudik. Selama bisa beli, ya pilih pakai oralit/pharolit/sejenisnya yang takaran komposisinya sudah pas, larutan gula garam hanya untuk kondisi darurat.
Total gejalanya muncul sejak Senin siang sampai Sabtu pagi. Suhu badannya sempat sedikit naik tapi tidak sampai 38 derajat. Pipisnya masih termasuk bagus, oralit masih mau walaupun kadang saking takutnya jadi ‘berantem’ (huhuhu), dan saya terus-menerus update kondisi ke dokternya. Kesimpulan: diare karena virus. Tapi walaupun mungkin nggak seseram diare karena bakteri yang memerlukan antibiotik (yang artinya pe-er lagi memasukkan sesuatu ke mulut anak yang pasti lagi serba gak enak rasanya), tetap jangan sampai deh dehidrasi. Biar dikit-dikit (kalau terlalu banyak juga bikin eneg sih) yang penting masuk, dipersering untuk mengakali jumlah yang sulit langsung banyak. Waspada juga untuk tanda-tanda kegawatdaruratan.
Nggak dikasih antimuntah? Alasannya bisa dibaca di bawah, selain itu saya juga pernah membaca adanya risiko pemakaian domperidone, salah satu obat yang biasa dipakai kok serem ya (salah satunya bisa dibaca di https://www.gov.uk/drug-safety-update/domperidone-risks-of-cardiac-side-effects). Ondansetron, obat lain yang biasa disarankan bisa dibaca pertimbangannya sebelum dipakai di sini http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1783696/. Setidaknya, bila memang hendak menggunakan, konsultasikan dengan dokter yang melihat langsung kondisinya, sudah ada diagnosis yang tegak, jangan lupa bahas risiko vs manfaatnya agar bisa diambil keputusan yang tepat.
Salah satu pedoman saya adalah Buku Saku Lintas Diare keluaran Kementerian Kesehatan tahun 2011 yang sudah saya unduh di ponsel (bisa diunduh di buku-saku-lintas-diare-edisi-2011). Berikut sebagian screenshot-nya khususnya untuk Rencana A.
Bahan di atas saya kenal pertama dari Milis Sehat (klik untuk bergabung, postingan hanya bisa dibaca oleh yang sudah jadi anggota). Milis tersebut memang mengkampanyekan penggunaan obat yang rasional, bukan hanya obat sebenarnya sih ya, melainkan juga tindakan lain. Di sana bisa diskusi dengan enak terkait kondisi kesehatan khususnya kesehatan anak, dan ada beberapa dokter baik hati yang memantau sekaligus meluruskan sambil sama-sama belajar.
bahasan terkait diare virus di web Sehat: http://milissehatyop.org/diare/, diare karena virus di http://milissehatyop.org/diare-karena-virus/, diare karena Rotavirus di http://milissehatyop.org/rotavirus/.
Yang di bawah ini adalah postingan beberapa orang dokter anak yang aktif di Milis Sehat, melalui akun facebook pribadinya maupun dalam bentuk email menjawab pertanyaan di milis.
Arifianto Apin added 3 new photos.
Tanya: apakah antibiotik obat untuk diare?
Jawab: tergantung diagnosisnya. Mayoritas penyebab diare adalah infeksi virus yang akan sembuh dengan sendirinya, dan tentu sama sekali tidak butuh antibiotik. Bahkan sebagian diare yang disebabkan oleh infeksi bakteri pun tidak butuh antibiotik.
Tanya: lalu apa obat diare?
Jawab: prinsipnya diare dan muntah adalah upaya tubuh untuk membuang apa yang harus dibuang, baik bakteri maupun virus. Maka biarkan tubuh membuangnya, yang penting selama proses pembuangan ini dehidrasi (kekurangan cairan) bisa dicegah.
Caranya gimana? Ya minum, minum, dan minum. Oralit atau cairan elektrolit lainnya lebih baik.
Tanya: tapi anak saya selalu muntah setiap dikasih minum
Jawab: berikan minum sedikit tapi sering. Dengan sendok. Supaya kalau mual, bisa dihentikan sementara.Tanya: kalau masih muntah terus dan diare berlanjut?
Jawab: kembali ke prinsip apakah sudah terjadi dehidrasi? Kalau dehidrasi tak dapat dicegah dan anak makin lemas, tidak buang air kecil lebih dari 6-8 jam, dan cenderung tidur terus menerus, segera bawa ke dokter.Tanya: bagaimana membedakan infeksi virus dengan bakteri pada diare?
Jawab: paling ideal adalah dengan pemeriksaan tinja di laboratorium. Tetapi secara umum dapat dibedakan dengan ada tidaknya darah di tinja. Selama tidak ada darah, dan anak tidak dehidrasi, maka tidak perlu buru buru membawa ke dokter, apalagi memberikan antibiotik. Bisa saja diare tanpa darah disebabkan oleh infeksi bakteri, dan sebaliknya diare berdarah disebabkan oleh virus. Jadi sebelum bisa membedakan apakah diarenya akibat virus atau bakteri, maka kembali ke prinsip:
– ada dehidrasi atau tidak?
– tahu cara pencegahan dan penanganan dehidrasi
– dianggap sebagai infeksi virus sebagai penyebab terseringOrangtua Cermat Anak Sehat versi 2.0
Kalau Anak Diare, Boleh Tidak Dikasih Antibiotika dan Antidiare?
Pertama, kita harus tahu dulu apa definisi diare. Diare atau gastroenteritis akut adalah buang air besar lebih dari tiga kali dalam 24 jam, dan konsistensi tinja lebih lembek atau berair. Tapi ada juga lho orang yang punya kebiasaan sehari BAB sampai 4x, tapi tidak lembek/cair. Ini juga tidak termasuk diare.
Kedua, secara umum diare dibagi dua: diare akut dan diare kronik. Diare akut berlangsung di bawah 14 hari, sedangkan diare kronik lebih dari 14 hari. Ada juga istilah diare persisten, yang hampir mirip dengan diare kronik.
Ketiga, anak diare biasanya disertai mual-muntah. Ini adalah hal yang umum terjadi, dan tidak butuh penanganan khusus. Artinya tidak butuh obat mual-muntah. Saya jelaskan di bawah.
OK, yang kita bahas di sini adalah diare akut tanpa penyulit. Artinya bukan disentri (diare disertai darah), diare kronik/persisten, atau diare dengan dehidrasi berat (di sini saya tidak menjelaskan macam-macam kategori dehidrasi, bisa ditemui di banyak sumber di internet).
SATU HAL PENTING: diare sebenarnya adalah mekanisme pertahanan tubuh juga. Kok bisa? Ya, diare membuang semua virus dan bakteri yang mengganggu sistem pencernaan kita. Begitu juga dengan muntah. Makanya kalau penyakitnya belum keluar semua, kemudian diare di-STOP, atau muntah di-STOP, bisa-bisa si kuman muter-muter aja di saluran cerna, berkembang biak lebih banyak, dan bisa mengakibatkan penyakit bertambah berat. PRINSIPNYA: cegah dehidrasi.
Kalau anak diare, khususnya bayi dan balita, biasanya orangtua panik. Apalagi kalau disertai mual-muntah. Langsung deh pada hari itu, hari pertama-kedua diare, si anak dibawa ke dokter. Jreeenngg… apakah yang dokter berikan?
ORALIT! Yak, inilah obat utama dan andalan untuk semua diare. Jadi jangan lupa, kalau anak diare: minum ORALIT. Inipun tidak perlu pergi ke dokter, karena oralit bisa dibeli secara bebas. Prinsipnya adalah anak harus banyak minum dan makan, jika oralit belum/tidak tersedia. Minum apa saja boleh… termasuk susu. Lho, kok susu? Ya iya dong, kan diarenya bukan karena susu (intoleransi laktosa). Jadi nggak perlu susunya diganti susu LLM (low lactose milk).
Trus bagaimana dengan antibiotika? Pada anak, diare sebagian besar disebabkan oleh Rotavirus, yang akan sembuh dengan sendirinya, antara 2 sampai 7 hari. Jadi ya… didiamkan saja anaknya. Kok tega banget sih anak mencret-muntah didiamkan aja, nggak dikasih obat? Nggak dikasih antibiotika? Ya iya dong, dikasih antibiotika malah bisa memperparah diare. Berhubung tidak ada bakteri jahat yang harus dibunuh (kan akibat virus, bukan bakteri), jadinya si antibiotika membunuh bakteri baik. Makanya ada yang namanya antibiotic-associated-diarrhea.
Antibiotika hanya diberikan pada disentri, kolera dengan dehidrasi BERAT, dan penyakit lain seperti pneumonia.
Trus… kalau antidiare dan antimuntah? Hmmm…. saya tidak akan menyebut merek dagangnya. Tapi menyebut isinya saja (coba Ibu-ibu, Bapak-bapak, dilihat obat mencret-muntah anaknya isinya apa).
Ada yang istilahnya adsorben, macamnya: kaolin-pektin, attapulgite, smectite, karbon, dan kolestiramin. Obat-obat ini digunakan karena mampu mengikat dan menonaktifkan racun (toksin) bakteri atau bahan kimia lainnya yang menyebabkan diare, dan kemampuannya untuk “melindungi” mukosa usus halus. Penelitian tidak menunjukkan kegunaan obat jenis ini.
Obat antimuntah seperti chlorpromazine, metoclopramide, dan domperidone malah dapat menimbulkan efek mengantuk, gangguan keseimbangan, dan berinteraksi secara kimiawi dengan oralit. Muntah akan berhenti dengan sendirinya jika diare hilang.
Obat antimotilitas, misalnya: loperamide, hyoscine, dll diberikan untuk mengurangi gerakan usus, sehingga tinja tidak cair, dan diare mereda. Padahal ini dapat menyebabkan ileus paralitik (usus berhenti bergerak/berkontraksi sama sekali), dan berakibat mengancam nyawa (kematian). Penyakit pun tidak bisa dikeluarkan jika usus tidak mau mengeluarkan.
Ada beberapa obat lain yang saya dapati dalam survei yang saya lakukan: ada nifuroxazide (antibiotika), ini juga tidak perlu, dan ada juga antijamur. Padahal diare yang timbul akibat jamur hanya pada anak dengan gangguan sistem daya tahan tubuh (HIV/AIDS, lupus, kanker, terapi steroid jangka panjang).
Sudah cukup paham Bapak dan Ibu? Anak mencret dan muntah: jangan panik dulu, pikirkan penyebabnya (kebanyakan makan sambel kali…), amati anaknya: ada dehidrasi/tidak. Masih mau minum kan? Nggak terlalu lemes kan? Mau makan walau sedikit tapi sering kan? Masih ada pipisnya kan? Masih mau netek kan? Berarti sekedar diare akut. Delapan puluh persen akan sembuh sendiri.
sumber: The Treatment of Diarrhoea, a manual for physicians and other senior health workers, WHO 2005.
Arifianto Apin
Benarkah bila anak diare tidak boleh makan sayur dan susunya harus diencerkan?
Beberapa hari terakhir kasus diare lebih sering saya jumpai di poliklinik. Di IGD dan ruang rawat pun, rasanya tiada hari tanpa diare. Bila seluruh orangtua yang datang membawa anaknya yang diare dan ditanyakan: apa yang paling mereka inginkan, jawaban utamanya kemungkinan cuma satu: agar diarenya cepat mampet! Bagaimana cara mempercepat penyembuhan pada diare? Jujur, saya tidak tahu jawabannya. Jadi apabila orangtua bertanya pada saya: apa obatnya agar diare cepat berhenti? Maka jawab saya: tidak tahu.
Diare atau mencret alias muntaber (muntah dan berak-berak) adalah ketika konsistensi tinja lebih cair dan lebih banyak air dibandingkan dengan ampasnya. Penyebabnya bermacam-macam, mulai dari infeksi, keracunan makanan, alergi makanan, hingga intoleransi laktosa. Jadi tidak semua penyebab diare adalah sama. Tetapi, PENYEBAB TERSERING diare pada anak adalah INFEKSI VIRUS.
Apa saja hal-hal yang harus orangtua kenali dari diare?
1. Pada hakekatnya, diare (dengan atau tanpa muntah) adalah upaya tubuh untuk mengeluarkan hal-hal yang seharusnya tidak masuk ke dalam tubuh, misalnya virus dan bakteri. Ini pula mungkin sebabnya tidak ada obat yang efektif menghentikan diare, dan memang diare tidak perlu distop! Karena diare adalah bentuk pertahanan tubuh mengeluarkan kuman. TETAPI, dalam proses mengeluarkan kuman inilah anak dapat mengalami DEHIDRASI alias kekurangan cairan tubuh, bahkan bisa berujung pada kematian. Maka, pada diare, hal TERPENTING adalah mencegah dan mengatasi dehidrasi. Bukan menyetop diare atau muntahnya. Caranya: ya kasih minum, minum, dan minum. Bila tidak terkejar dari minum dan anak sangat sulit diberi minum, pemberian cairan lewat selang lambung (NGT) dan infus mungkin diperlukan.
2. Bolehkah memberi obat penghenti diare pada anak, semisal: kaolin dan pektin, atapulgit, dihidrosmektin, dan loperamid? Jawabannya: mulai dari tidak perlu (karena tidak bermanfaat) sampai tidak boleh (karena efek samping yang membahayakan). Lalu apa obatnya? Cairan, utamanya larutan gula-garam semisal oralit dan cairan rehidrasi oral (CRO) lain yang ujung-ujungnya berakhiran “lyte”. Bukankah anak tidak suka karena rasanya aneh? Ya berikan sedikit-sedikit dengan sendok. Tidak suka juga! Perbanyak terus minumnya, yang masih dapat ASI diteruskan ASI-nya.
Tapi anaknya tidak mau makan karena muntah dan mual? Kalaupun menolak makanan sesuap pun, perbanyak terus minumnya. Karena anak yang dehidrasi cenderung lebih haus. Kecuali dehidrasi berat yang sudah sulit minum dan harus dirawat di RS.
Perlukah pemberian probiotik? Sampai saat ini, selain CRO, terapi yang direkomendasikan oleh WHO adalah suplementasi zinc (seng) untuk diare akut. Probiotik belum masuk rekomendasi WHO untuk pengobatan diare akut yang utamanya disebabkan oleh infeksi virus. Probiotik mungkin bermanfaat untuk diare yang disebabkan oleh pemberian antibiotik (antibiotic associated diarrhea).2. Kata nenek, kalau diare tidak boleh makan sayur. Dan kalau minum susu harus diganti dg yang low lactose milk (LLM) atau free lactose (FL). Kalau masih diberikan susu dan sayurnya diteruskan, maka diarenya berkepanjangan. Padahal anaknya maunya minum susu dan masih mau makan sayur.
Ada yang pernah dengar pernyataan di atas?
Jawabannya insya Allah menyusul.
Arifianto Apin
Jadi… kalau anak sedang diare itu… tetap boleh diberikan makan sayur dan diteruskan pemberian susunya.
Loh, bukannya nanti tambah mencret? Ingat, di awal posting sebelumnya, saya sampaikan bahwa mayoritas diare akut pada anak disebabkan oleh infeksi virus, bukan intoleransi laktosa atau malabsorpsi karbohidrat/lemak/protein. Bahasan tentang intoleransi, malabsorpsi, dan alergi makanan tidak saya sampaikan di sini, secara umum diarenya melanjut (bukan akut).
Perhatikan, pada anak yang diare, bukan sekedar risiko dehidrasi yang terjadi, tetapi juga malnutrisi (kekurangan zat gizi). Kita perhatikan anak-anak yang diare susah sekali makannya. Bisa karena mual, atau nafsu makan memang turun. Apabila anak-anak ini sudah susah makan/minum dan masih ditambah adanya pantangan makan dari orangtua, bayangkan makin sedikit nutrisi yang mereka dapatkan. Maunya makan nasi, dipaksa makan bubur. Maunya minum susu dan tidak mau air putih, dilarang minum susu. Maunya makan sayur dan sop, dipantang. Jadi, ubahlah paradigma lama ini.
Tentu halnya berbeda ya bila anaknya diare karena intoleransi laktosa. Tapi ciri-cirinya kan beda dengan diare akibat rotavirus.Berikutnya mungkin akan saya bahas: kapan antibiotik dibutuhkan pada anak diare?
Selamat Idul Adha!
Yang ini dari dr. Anto di milis sehat, September 2011
Paham sekali kekhawatiran ibu mengenai kondisi anak. Namun perlu kita ingat bersama bahwa diskusi di milis tidak menggantikan suatu pemeriksaan. Karena itu yang bisa teman-teman lakukan adalah memberi informasi dan ibu beserta keluarga mendiskusikan dengan dokter.
Pada kasus diare-muntah: gastroenteritis. Pada gastroenteritis yg perlu ditangani awal adalah mencegah dehidrasi, dengan penggantian cairan elektrolit. Cara pemberian cairan elektrolit berdasar derajat dehidrasinya, apakah ringan, sedang atau berat.
Pada kasus dehidrasi berat: dua atau lebih tanda berikut = kesadaran menurun, mata cekung, tidak mau minum/sulit minum, kulit perut keriput (tidak cepat kembali) maka diperlukan upaya penggantian cairan melalui intravena (infus) (rencana C who).
Pada kasus dehidrasi sedang: 2 atau lebih = rewel, mata cekung, minum dengan lahap, kulit perut kembali lambat. tatalaksana rencana B WHO, diberikan minum 75ml/kg selama 4 jam kemudian dinilai ulang.
Bila tanpa dehidrasi: maka mengikuti rencana A, berikan cairan lebih banyak
Kriteria rawat inap bila dehidrasi berat atau dehidrasi sedang yang jatuh ke dehidrasi berat. Kemudian dicari penyebab diare. Bisa oleh bakteri atau virus (jamur dicurigai pada pasien dengan gangguan kekebalan tubuh). DIare berdarah umumnya disebabkan oleh shigella (shigella dysentriae) atau amoeba (Entamoeba histolitica) ini bisa dilihat dari pemeriksaan tinja lengkap. Leukosit pada tinja merupakan penanda infeksi, namun tidak berdiri sendiri. Misal hanya leukosit saja yang meningkat tetapi diare tanpa darah dan lendir maka kita melihat kondisi anak, terutama cegah dehidrasinya, dan bila kondisi anak tidak sakit berat kita bisa observasi dahulu, karena pada disentri ada darah, lendir pada diare,pada hasil tinja lengkap leukosit meningkat tinggi karena kerusakan dinding sel usus besar. Itu mengapa kita tidak mengobati hasil lab, tetapi melihat pasien secara keseluruhan.
Untuk itu yang perlu dilakukan adalah mendiskusikan dengan dokter, apa rencana terapi ke depan. Bila hasil diskusi diare karena virus maka tidak perlu antibiotik, dan yang perlu dilakukan adalah mencegah dehidrasi dan memberikan kalori melalui makanan, bila dehidrasi sudah tertangani dan anak bisa makan minum maka bisa pulang. Bila karena bakteri (diare ada lendir, darah, leukosit meningkat, anak sakit perut, demam) maka diperlukan antibiotik sesuai dengan penyebabnya, cegah dehidrasi dengan pemberian cairan dan makanan untuk asupan kalori. Bila dehidrasi tertangani, anak bisa makan, minum, respon pengobatan baik (diare berkurang, darah lendir berkurang, demam tidak ada, nyeri perut berkurang) maka bisa dilanjutkan pengobatan di rumah.
semoga bisa didiskusikan bersama keluarga dan dokter yang merawat, dan ananda lekas sembuh.
salam,
anto
Nah, yang ini postingan mba Fatimah Berliana Monika Purba yang aktif di Milis Sehat juga, mba Monik ini bukan dokter melainkan konselor laktasi yang aktif edukasi kesehatan keluarga dan rajin mencantumkan sumber tepercaya.
Mengenal Tanda2 Dehidrasi, Cegah & Tangani dengan CRO (Cairan Rehidrasi Oral) seperti Oralit by F.B.Monika
Apakah anak2 Smart parents pernah menderita muntah, diare dan demam? Apa yang biasanya smart parents lakukan? Umumnya para orang tua buru2 memberikan obat, bisa obat pencegah mual-muntah, bisa obat untuk menghentikan diare, dan obat penurun demam. Padahal, yang utama dan pertama adalah: Mencegah dehidrasi!
Anak-anak lebih mudah dehidrasi dibanding orang dewasa. 1,35 juta orang di negara berkembang (di mana sebagian besar anak2 berusia kurang dari 5 tahun meninggal setiap tahun karena diare disebabkan kekurangan akses air minum bersih, sanitasi dan higinitas yang buruk.
Persentase anak-anak penderita diare di negara berkembang yang ditangani dengan pemberian oralit sangat kecil (39%). Berdasarkan Journal of Global Health – 2013 June: 90% kematian karena diare dapat dicegah dengan pemberian oralit. Sementara hal yang kontras, lebih dari 1/3 penderita tersebut diberi antibiotik secara tidak tepat. Seribu anak meninggal karena diare di India, karena kesalahan penanganan orangtua dan tenaga kesehatan :(.Dehidrasi adalah keadaan di mana tubuh kekurangan cairan. Hal penting yang perlu Smart parents pelajari adalah mengenai tanda-tanda dehidrasi, tentu saja bila khawatir tidak dapat menilai segera pergi ke dokter. Coba simak tanda-tanda dehidrasi berikut ini (+lihat gambar 2):
A. Dehidrasi ringan hingga sedang:
– Bibir kering dan lengket
– Lebih mudah mengantuk dan lelah (kurang aktif dibanding biasa)
– Haus- Berkurangnya frekuensi & kuantitas buang air kecil
– Untuk bayi tidak buang air lebih dari 3 jam
– Ketika menangis, air mata sedikit atau tidak keluar air mata sama sekali
– Kulit kering
– Sakit kepala
– Sembelit / konstipasi
– Berkunang-kunang dan sulit fokus.B. Dehidrasi berat: segera ke UGD!
– Sangat haus
– Lemas atau rewel berlebihan
-Warna buang air kecil lebih gelap / pekat dari normal, tidak buang air kecil dalam jangka waktu lama (untuk bayi >6 jam dan >12 jam untuk anak yang lebih besar), dengan jumlah sedikit.Lihat warna urin di tulisan saya :
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10203251178866142&set=pb.1409280466.-2207520000.1395354495.&type=3&theater– Mata cekung
– Kulit kering dan berkurang elastisitasnya, tidak kembali ketika ditarik
– Pada bayi, ubun-ubunnya cekung (fontanel)
– Tekanan darah rendah- Detak jantung cepat
– Napas cepat
– Menangis tanpa air mata- Demam
– Pada kasus yang sangat berat, dapat kehilangan kesadaran.Bukan untuk menakut-nakuti bahaya dehidrasi, tapi memang dehidrasi dapat menyebabkan komplikasi serius seperti: kejang (karena tubuh kehilangan elektrolit seperti potasium dan sodium yang berfungsi membawa sinyal elektronik antar sel), cerebral edema, hypovolemic shock (low blood volume shock), gagal ginjal, koma – kematian.
Penggantian cairan tubuh yang hilang dinamakan rehidrasi. Cairan Rehidrasi Oral (CRO) / ORS (Oral Rehydration Salt/Solution) adalah cairan yang mengandung elektrolit yang bertujuan menggantikan air dan elektrolit yang hilang dari tubuh. Pada bayi, teruslah lanjutkan menyusui / memberikan ASI perah. CRO dapat diberikan di antara sesi menyusui. Pemberian cairan lain untuk menangani dehidrasi tidaklah tepat seperti teh, soda, kuah sup, jus buah, dll. Cairan-cairan ini tidak memiliki komposisi yang tepat untuk menangani dehidrasi dan malah dapat membuat diare & / muntah makin parah.
Juga sering timbul pertanyaan, apakah minuman komersial yang diklaim mengandung ion – elektrolit (seperti Poc*ri S***) sama fungsinya dengan CRO? Jawabannya: TIDAK ! CRO sudah didesain komposisinya berdasarkan penelitian yang panjang untuk menggantikan kebutuhan elektrolit tubuh yang hilang, mencegah & menangani dehidrasi.
Oralit adalah standar cairan rehidrasi oral yang dianjurkan WHO untuk tatalaksana diare. Menurut Prof. Iwan, Pengobatan dengan oralit merupakan penemuan terbesar zaman ini menurut WHO. Tetapi banyak dokter/tenaga kesehatan lainnya serta pasien tidak sadar untuk segera memakai CRO ini. Hal ini agaknya disebabkan karena persepsi masyarakat yang menganggap CRO adalah “obat” tetapi tidak langsung dirasakan manfaatnya untuk menghentikan diare dan malah dapat merangsang muntah (karena rasanya neg).
Berdasarkan penelitian terbaru, sudah dikembangkan formulasi baru CRO yang memiliki keunggulan lebih dalam penanganan diare akut. Kelebihannya dibanding CRO WHO-UNICEF lama sbb: Mengurangi volume feses sekitar 25%, mengurangi muntah hampir 30% dan mengurangi kebutuhan akan terapi infus Intra Vena lebih dari 30%.
Artinya mengurangi perawatan di RS, sehingga dapat mengurangi resiko infeksi nosocomial (hospital acquired infections), lebih dapat menyusui, mengurangi kontak dengan jarum infus, berkurangnya biaya yang dikeluarkan.
Perbedaan utama CRO baru ini adalah berkurangnya osmolaritas dari 311 mOsm/l ke 245 mOsm/l (terdiri atas berkurangnya kadar glucose, sodium, chloride sesuai penelitian yang mendukung pengurangan ini meningkatkan kemanjuran CRO). Saya butuh info apakah CRO formulasi baru ini sudah masuk ke Indonesia? Bila ya, bisa tolong share bentuk-foto nya?Saat ini ada 2 macam CRO (lihat gambar 3 -4-5): bubuk yang perlu dicampur air bersih matang dalam wadah yang bersih seperti oralit / bentuk cairan siap minum. Kedua bentuk ini ada kelebihan dan kekurangannya. Bentuk bubuk harus dipastikan benar & higienis penyiapannya serta punya air bersih matang. Sementara cairan CRO siap pakai setelah dibuka hanya tahan 24 jam. Jadi buat saya pribadi siapkan kedua jenis ini di rumah atau saat perjalanan jarak jauh.
Jumlah / dosis yang dianjurkan :
– Usia < 2 thn : 50-100 cc setiap diare cair – Usia > 2thn: 100-200 cc setiap diare cair.
– Usia >10 tahun : Sebanyak yang diinginkan, kira-kira hingga 2L / 8,5 gelas per hari.Cara pemberian CRO ke anak memang perlu trik tersendiri, yang jelas tipsnya: berikan sedikit-sedikit sekitar 5-10 ml, bisa dengan pipet, sedotan, tempat minum lucu-lucu, dibekukan, dibuat kristal-kristal es, popsicle. Bila anak memuntahkannya, tunggu 10-15 menit lalu coba berikan kembali.
Bagaimana cara penyiapan CRO jenis bubuk ? – Lihat gambar 6 . Cucilah tangan sampai bersih, tuang air bersih matang ke dalam gelas ukuran standar (200 ml) hingga air hampir penuh (jangan terlalu penuh nanti tumpah saat mengocok), tuang oralit bubuk, aduk hingga larut dengan baik. Jangan campur dengan gula, susu, soda, teh, jus buah dll.
Sering pertanyaan masuk mengenai bagaimana menyiapkan CRO sendiri. Saya dulu termasuk yang ditegur dr. Wati: CRO itu HARUS SELALU TERSEDIA, karena kandungan elektrolit CRO buatan sendiri tidak bisa menyamai CRO yang sudah dikemas sesuai standar WHO-UNICEF. Tapi… ada kalanya memang benar-benar kepepet tidak ada stok di rumah/di perjalanan. Maka resep membuat sendiri adalah sbb –lihat gambar 7 : Cuci tangan hingga bersih, siapkan wadah bersih, air bersih matang 1 liter, masukkan 6 sendokteh gula pasir, dan ½ sendok teh garam. Aduk hingga larut dengan baik. Perhatikan komposisi ini, bila gula terlalu banyak akan membuat diare tambah parah.
Semoga tulisan kali ini bermanfaat. Ayo sekarang cek kotak obat / P3K nya di rumah, sudah siap sedia CRO / belum? Juga bagi yang akan melakukan perjalanan jarak jauh, pastikan CRO masuk ke dalam daftar obat2an umum yang perlu dibawa ya :).
Sumber:
http://kidshealth.org/parent/firstaid_safe/emergencies/dehydration.html
http://rehydrate.org/
Website Prof. Iwan Darmansjah
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/dehydration/basics/complications/con-20030056
Pingback: Jangan Panik, Sediakan Obat Alami Diare pada Anak | Cerita-Cerita Leila