“Pola makan untuk ibu menyusui yang hendak menjalankan ibadah puasa sebetulnya tidak terlalu spesial, hanya pengaturan waktunya yang berubah.”
Demikian pernyataan dari beberapa konselor laktasi yang pernah saya baca. Artinya, makan seperti biasa dengan penyesuaian jam makan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ibu yang berpuasa maupun bayi yang masih disusuinya. Tidak perlu sampai melipatgandakan porsi, dan kalau mau mengkonsumsi suplemen khusus pun harus sesuai dengan indikasi.
Namun, di sisi lain, bulan puasa juga sekaligus bisa menjadi momentum perbaikan kebiasaan makan. Umumnya di bulan puasa orang merasa perlu memperhatikan asupan gizi lebih dari biasanya. Meski tidak makan dan minum dari subuh hingga maghrib, aktivitas sehari-hari harus jalan terus. Upaya meningkatkan ketakwaan dengan menambah ibadah khusus harian juga tentunya membutuhkan sokongan stamina yang prima.
Beberapa tips yang saya baca untuk membantu tubuh tetap fit dengan perubahan jam makan (dan seringkali juga jam tidur) pada umumnya mengingatkan untuk menjaga kecukupan cairan. Jelas, ini penting karena dehidrasi bakal menjadi hal yang tidak menyenangkan di saat kita berpacu memperbanyak amalan baik di bulan penuh berkah. Tips lain yang biasa dibagikan adalah makan dengan gizi seimbang. Nah, apa sih makan gizi seimbang ini?
Keikutsertaan saya pada grup dukungan ibu menyusui beberapa tahun yang lalu (pada masa penyusuan anak pertama) mengantarkan saya pada pengetahuan baru: konsep makan empat sehat lima sempurna sudah tidak berlaku lagi sejak lama. Gantinya adalah makan gizi seimbang, yang oleh Kemenkes RI disempurnakan melalui Pedoman Gizi Seimbang taun 2014 (bisa dibaca di sini https://kesmas.kemkes.go.id/perpu/konten/permenkes/pmk-no.-41-ttg-pedoman-gizi-seimbang). Porsi yang tepat pun bisa diukur dengan konsep Isi Piringku.
Saya akui, ‘tahu’ tak selalu seiring dengan ‘melaksanakan’. Maka, Ramadhan kiranya bisa menjadi starting point yang strategis untuk membenahi apa yang masuk ke dalam tubuh. Makan dengan benar merupakan salah satu bentuk ikhtiar menunaikan hak raga yang dititipkan pada kita, bukan?
Tahun ini, seperti juga tahun lalu, puasa saya hanya bolong karena sesuatu yang menjadi fitrah wanita, yaitu menstruasi. Ibu menyusui yang kondisinya tidak memungkinkan memang diberi keringanan untuk tidak berpuasa kemudian membayarnya di lain kesempatan, tetapi alhamdulillah juga dua kali masa menyusui ini Ramadhan selalu jatuh saat anak-anak sudah melalui umur 6 bulan, alias telah mulai MPASI.
Walaupun tahun ini anak kedua saya tidak bisa dibilang bayi lagi karena sudah berumur 18 bulan di mana asupan gizinya sudah lebih banyak didominasi dari makanan alih-alih ASI, tentu bukan menjadi alasan untuk melepaskan komitmen menerapkan pola makan gizi seimbang. Karena yang dikejar bukan sekadar meningkatkan atau menjaga mutu ASI selama berpuasa. Kesehatan saya sendiri juga harus dijaga. Kemudian, sedang dalam masa menyusui maupun tidak, posisi sebagai ibu dengan dua anak balita membuat saya dan suami perlu menjadi contoh agar mereka terbiasa dengan pola makan sehat sedari awal.
Kembali ke soal PGS, salah satu pesan pentingnya adalah makan cukup buah-buahan. Buah menjadi penyuplai vitamin, mineral, serat, dan juga cairan bagi badan kita. Banyak pakar kesehatan menyarankan agar buah jangan sampai ketinggalan dalam menu sahur dan berbuka. Seratnya diharapkan menunda lapar datang dan menolong kerja pencernaan, vitamin dan mineralnya menyokong kebutuhan badan, rasa manisnya memuaskan lidah, kandungan airnya membantu menambah cairan tubuh.
Dokter keluarga kami yang sedang mengkampanyekan gerakan hidup sehat (lewat pengaturan pola makan dan olah tubuh) pernah memposting ajakan makan buah potong karena bentuk inilah yang terbaik. Jus bukannya tidak boleh, tapi sebaiknya dibatasi. Nah, di bulan puasa, meski dalam bentuk minuman memang tampak lebih menggoda, tetapi buah segar dalam bentuk potongan tetap saya usahakan ada di rumah.
Salah satu buah yang menjadi favorit keluarga saya adalah pisang. Anak-anak suka, saya pun bisa menjadikannya pilihan untuk ngemil daripada kudapan junk food. Omong-omong soal pisang, pertama melihat ‘pisang bermerk’ di supermarket, saya membatin, ini pasti impor nih. Pertimbangan mendahulukan produk lokal sempat bikin saya ragu.
Ternyata dugaan saya salah. Pisang bermerk Sunpride ini dipanen di Lampung sana. Tampilannya memang menarik, karena sebelum dipasarkan harus melalui pemeriksaan dengan standar yang ketat terlebih dahulu, pastinya agar kualitasnya juga terjaga sampai saatnya disantap. Kemasan plastiknya pun dirancang khusus, misalnya dengan menyediakan lubang untuk menjaga kesegaran.
Belakangan saya menemukan pisang Sunpride dijual satuan dalam kemasan plastik. Tulisan ‘single and available’ tertera di situ. Ketersediaannya di minimarket dekat kantor membuat saya mudah membelinya sewaktu-waktu, dan mudah pula diselipkan di cooler bag untuk dimakan kilat di sela sesi mojok memerah ASI. Ketika sedang tak bisa puasa, saya biasanya memang jadi enggan membawa bekal nasi yang lazim saya tenteng di luar Ramadhan ke kantor, karena dari segi ukuran dan durasi santap terasa tidak praktis. Pisang single Sunpride menjadi penolong saya di saat tersebut.
Di sisi lain Sunpride memang juga menjadi distributor buah-buahan impor seperti kiwi dan apel, karena belum memungkinkan untuk menanam buah jenis tersebut secara massal di Indonesia. Saya pun kerap membeli buah kiwi bermerk Zespri tersebut, rasa asam segarnya menjadi pembangkit semangat. Anak-anak juga suka.
Saat menelusuri web Sunpride saya juga jadi menemukan bahwa Sunpride punya produk jambu kristal. Dan lagi-lagi di minimarket ada, jadi saya pun segera mencobanya. Wow, segar, manis, dan teksturnya lembut. Dengan pilihan sebanyak itu (selain yang sudah saya sebutkan masih ada yang lain seperti pepaya, jeruk baby, mangga, buah naga, nanas honi, dan melon) dan kualitas yang terkenal terjamin dengan baik, maka tak berlebihan rasanya kalau orang jadi menganggap bahwa Buah Pasti Sunpride kan, ya.