Sudah lama saya penasaran akan kegiatan Festival Pembaca Indonesia, ‘hajatan’ komunitas pengguna Goodreads yang ada di Indonesia. Sayangnya saya sendiri memang tidak aktif di Goodreads, sih. Akun GR saya sudah debuan, hihihi, saking lama nggak ditengok.
Festival yang disebut juga dengan Indonesian Readers Festival (IRF) ini rutin diadakan setiap tahun sejak 2010. Di tahun pertama diselenggarakannya tersebut, buku Long Distance Love (Lingkar Pena Publishing House, 2009) yang memuat tulisan saya meraih Anugerah Pembaca Indonesia untuk kategori Sampul Buku Non-Fiksi Terfavorit atas nama SindikArt dan mendapat tempat kedua untuk kategori Buku & Penulis Non-Fiksi Terfavorit atas nama mba Imazahra yang bertindak selaku inisiator dan koordinator (sumber: Okezone).
Tahun ini kebetulan lokasi yang dipilih untuk IRF relatif lebih dekat dengan tempat tinggal, sekaligus lebih akrab dengan keluarga kami, yaitu Museum Nasional. Begitu melihat publikasinya di facebook saya langsung mencari tahu ada kegiatan apa saja, dan menemukan dua workshop yang menarik perhatian yaitu Menerjemahkan Idiom: Alih Bahasa dengan Rasa; dan Mengeluarkan Kekuatan Narasi: Baca dan Bacakan bersama Ayo Dongeng Indonesia. Keduanya dilaksanakan berturut-turut pada hari Minggu, 11 Desember 2016.
Kalau tengok di postingan instagram @bacaituseru, ada juga kegiatan untuk anak-anak seperti workshop menulis dan workshop origami, tapi melihat kisaran usia yang menjadi sasaran sepertinya Fathia juga belum bisa ikutan. Tapi Fathia dan Fahira mungkin masih bisa ikut kegiatan lain seperti Bioskop Baca (yang memutar film-film adaptasi buku) jika kebetulan filmnya cocok (saya lihat hari Minggu ada The Little Prince), menyimak dongeng, atau sekadar main atau mewarnai di Pojok Anak Museum Nasional seperti biasa.
Sebetulnya masih ada workshop lain seperti Menghadirkan Puisi di Hati Kita yang narasumbernya adalah kolega satu instansi saya, mas Pringadi. Sayangnya waktunya bentrok dengan workshop dongeng, dan dengan berbagai pertimbangan saya memilih workshop dongeng. Kegiatan hari Sabtu juga tak kalah menggiurkan, ada talkshow dengan Seno Gumira Ajidarma, diskusi dan peluncuran buku terbaru Adhitya Mulya, mini workshop Creative Writing 101 bersama Windy Ariestanty dan Hanny Kusumawati dari Writingtable, Pemanfaatan Big Book dalam Pengembangan Literasi oleh Aksa Berama Pustaka, Make Your Own Book with What You Have and What You Can Do bersama Lala Bohang, plus klinik kiat menembus dapur fiksi bersama editor fiksi majalah femina, tapi kami sudah ada agenda lain pada tanggal 10 itu. Setelah menentukan pilihan, saya bergegas mendaftarkan diri ke e-mail yang tertera dan alhamdulillah masih kebagian tempat.
Dalam pos ini saya ceritakan dulu workshop pertama yang saya ikuti hari itu. Hal yang membuat saya begitu bersemangat mengikuti workshop penerjemahan adalah kesukaan saya pada membaca dan bahasa. Saya sampai sudah melihat-lihat berapa sih biaya kursus penerjemahan di LBI FIB UI. Tambahan lagi, pemateri yang tercantum pada posternya adalah penulis/penerjemah yang selama ini saya kenal (walaupun hanya melalui karya atau interaksi di dunia maya, dan yang jelas tidak semuanya kenal saya, hehehe) dengan keandalannya seperti mba Barokah ‘Uci’ Ruziati (sudah baca A Game of Thrones bahasa Indonesia? Mba Uci ini lho, yang dipercaya menerjemahkan), mba Dina Begum, mba Lulu Fitri Rahman, dan mba Poppy D. Chusfani.
Maka saya pun tiba di auditorium Museum Nasional pada Minggu pagi dengan antusias… dan mengkeret begitu tahu banyak di antara hadirin yang profesinya adalah penerjemah profesional. Yah, meski acaranya sebetulnya diperuntukkan bagi pemula, mungkin acara ini juga sekaligus sebagai ajang temu kangen dan memperluas jejaring, ya. Saya amati banyak yang tukar kartu nama…saya mah boro-boro :D.
Rupanya mba Poppy tidak jadi hadir pada kegiatan tersebut, sehingga presentasi dibawakan oleh mba Uci dan mba Melody Violine. Mba Uci mengawali dengan menampilkan buku-buku yang pernah diterjemahkannya, lalu menyajikan contoh bahwa penerjemahan naskah fiksi bisa dibuat persis sama dengan naskah asli (yang terkadang berisiko maksud tidak tersampaikan) maupun menerjemahkan dengan menyampaikan maksud pengarang. Misalnya,
He swallows hard at the prospect.
bisa menjadi
Dia menelan keras-keras prospek tersebut.
atau
Dia menelan ludah membayangkannya.
Untuk menjadi penerjemah, menurut mba Uci, harus punya modal sebagai berikut:
- Senang membaca, lebih khusus lagi membaca novel terjemahan.
- Menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran,
- Mengakrabi EYD, tata bahasa, gaya bahasa
- Peka Bahasa (kosakata, idiom, pun, konteks)
- Memahami budaya yang melatari bahasa sumber dan bahasa sasaran
- Mengenal target pembaca.
- Kreatif mengolah kata.
- Bisa menulis.
- Tidak malas melakukan riset
- Mau membaca ulang.
Mba Melody melanjutkan dengan menerangkan hal peka bahasa, misalnya perbedaan idiom dengan proverb. Idiom dan proverb harus menjadi perhatian khusus saat menerjemahkan karena merupakan ungkapan yang awalnya hanya dikenal atau dipahami oleh penutur bahasa tersebut. Jika tidak hati-hati, penerjemah bisa “terjebak” dan salah mengartikan maksud pengarang.
Cara “menghadapi” idiom, seperti disampaikan oleh mba Melody, adalah dengan menghafalkannya. Tentu, jadinya kita harus rajin membaca. Penerjemah bisa memanfaatkan Google, tetapi metafor tidak selalu tersedia di Google karena harus disesuaikan dengan konteksnya. Penerjemah perlu mencari tahu kebiasaan pengarang, misalnya apakah ia suka mengutip kitab suci atau penulis lain. Intinya, jangan sampai pembaca jadi harus “mikir dulu” ketika membaca suatu kalimat.
Idiom “her face turned red” contohnya, bisa diartikan cukup sederhana karena di budaya kita artinya sama, yaitu wajahnya memerah (karena malu). Sedangkan “when pigs fly” alias tidak akan pernah terjadi tentu akan aneh jika diterjemahkan begitu saja. Ada peserta yang mengusulkan terjemahan “sampai lebaran kuda”, tetapi mba Melody mengingatkan bahwa “lebaran” bukan sesuatu yang dikenal dalam budaya sumber.
“Costs me an arm and a leg” lebih ‘serem’ lagi kalau diartikan bulat-bulat. Terjemahannya yang tepat adalah “luar biasa mahalnya”. Oh ya, para pengisi workshop memberitahukan juga sih, sebetulnya tidak ada yang benar atau salah dalam menerjemahkan. Namun, nilai ‘rasa’-nya tentu berbeda. Lebih bagus lagi kalau bisa menerjemahkan teks berima di naskah aslinya menjadi kalimat berima pula.
Presentasi ditutup dengan kiat yang dapat diterapkan oleh peserta, yaitu meluangkan waktu mengikuti seminar, pelatihan, atau diskusi penerjemahan, juga bergabung dengan komunitas penerjemah seperti Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) atau grup-grup penerjemah di media sosial. Blog-blog penerjemahan seperti http://penerjemahan.wordpress.com, http://penerjemaheditorbuku.wordpress.com, http://lamfaro.com, http://rinurbad.com (dan saya mendadak kangen ngobrol sama mba Rini), dan http://dinabegum.com.
Sesi berikutnya adalah latihan di mana peserta diberi soal-soal kalimat untuk diterjemahkan. Sebetulnya yang diminta untuk diterjemahkan hanya idiomnya, sih, kalimat lengkapnya hanya untuk memberikan gambaran konteks. Kemudian sebagian soal tersebut dibahas, dan bila ada yang terjemahannya kurang luwes para pemateri (para penerjemah yang lain sebagaimana disebutkan dalam pengumuman ikut bergabung) memberi masukan.
Di antara soal yang tidak dibahas tetapi menurut saya sangat menarik adalah terjemahan yang dimuat mba Melody di blognya ini https://terjemahanmelody.wordpress.com/2011/03/22/never-look-a-gift-horse-in-the-mouth-jangan-pernah-ngintip-mulut-kuda-pasti-bau/.
Suasana berubah meriah ketika pembawa acara mengumumkan kontes eja. Para peserta jadi tertantang untuk maju memperebutkan hadiah buku yang disiapkan. Jika biasanya kita tahu ada spelling bee dalam bahasa Inggris, kali ini peserta, berpasangan ditandingkan dua-dua, diminta menuliskan kata-kata dalam bahasa Indonesia yang dibacakan oleh pembawa acara. Terdengar gampang? Coba lihat daftar di bawah ini, yang merupakan jawaban tepatnya atau dengan kata lain kata-kata yang sesuai dengan EYD (mohon koreksinya juga siapa tahu saya salah mencatat/mengetik, sempat cek dengan buka KBBI daring tapi belum semuanya). Banyak di antaranya yang, sungguh, saya nggak menyangka bahwa itulah yang betul :D.
tribune, karier, kuitansi, samudra, Prancis, terampil, penguin, istri, takhta, yoghurt, musala, bonafide, Hong Kong, muncikari, idulfitri, kedaluwarsa, kukuh, trompet, cokelat, ekstrem, fondasi, mentraktir, atmosfer, jenderal, gemerencik, nasihat, khazanah, mengkritik, khawatir, refrein, praktik, deviden, buket, nakhoda.
Saya sendiri tak ikutan mengacungkan tangan mengajukan diri. Maluuu, hehehe. Ternyata kesempatan beroleh hadiah datang kemudian, yaitu ketika mba Uci mengumumkan hadiah spesial berupa tas cantik dari Rawit Craft miliknya. Syaratnya bukan kontes seperti tadi, melainkan menerjemahkan kalimat yang cukup menantang karena terdapat pun alias permainan kata di dalamnya. Kalau bisa, ketiga kata yang terdapat dalam paragraf tersebut yaitu rest, a rest, dan arrest diterjemahkan dengan kata-kata yang serupa pula sekaligus cocok dengan konteksnya. Banyak yang maju mencoba menjawab silih berganti, tapi rupanya juri belum puas.
Alhamdulillah jawaban saya ternyata dianggap cukup lumayan, hingga saya bisa memboyong tas tersebut dan berfoto dengan mba Uci. Kami dulu pertama dipertemukan oleh Multiply, jejaring sosial/penyedia layanan blogging yang sudah ditutup. Mau kopdar sejak bertahun-tahun yang lalu belum kesampaian, nah akhirnya keturutan juga nih, ditambah pula bonus tas dari label yang sempat membuat mba Uci takjub karena di pelatihan itu lebih banyak yang menanyakan karya craft terbarunya ketimbang lagi nerjemahin apa, hehehe.
Sumber foto berdua: facebook mba Uci.
Sumber foto tambahan yang lebih terang: twitter @bacaituseru.
Materi selengkapnya (yang lebih jelas terbaca ketimbang hasil foto saya yang remang-remang) berikut soal-soal latihan dan jawaban bisa disimak di sini https://penerjemaheditorbuku.wordpress.com/2016/12/11/materi-lokakarya-penerjemahan-festival-pembaca-indonesia-2016/.
Selamat, ya berhasil merebut hadiah tas Rawit Craft. Permainan kata hasil terjemahanmu layak dapat hadiah. Kami juga naksir tasnya, tapi jiper sama soal terjemahannya.
Waaaa, Mba Dina mampir….di-reblog pula.
Terima kasih ya, Mba Dina :).
Reblogged this on Dina's Pensieve and commented:
Dari rangkaian acara Festival Pembaca Indonesia, 11 Deswmber 2016 di Museum Nasional, Jakarta.