Kosmetik Lokal, Seberapa Andal?

Seperti saya, mama juga bekerja kantoran sampai dua tahun yang lalu. Salah satu saran yang beliau sering ulangi kepada saya adalah, “Dandan dikit, gitu, lho.” Berhubung kantor mama memang menerapkan standar penampilan tertentu, jadi mama memang terbiasa berdandan sebelum bekerja. Karena kebiasaan itulah, beliau berharap saya setidaknya tak tampil polos-polos amat.

Masukan mama memang belum sepenuhnya saya terapkan untuk sehari-hari, hingga hari ini saya hanya memulas muka untuk acara khusus. Oleh karenanya, ‘peralatan lenong’ saya pun tak banyak. Dan di antara yang sedikit itu, koleksi saya tetap didominasi produk lokal.

Masa kecil saya dipenuhi dengan kenangan melihat mama memakai kosmetik dan produk perawatan kulit dalam negeri. Hanya beberapa item yang impor. Beberapa merk belakangan saya ketahui termasuk produk klasik yang popularitasnya tak lekang ditelan waktu, bahkan tanpa promosi besar-besaran.

Saya akui kesetiaan mama menggunakan produk kosmetik Indonesia merupakan salah satu penyebab saya pun mengambil pilihan yang sama. Lagipula, pembuat kosmetik dalam negeri saya asumsikan lebih tahu tipe-tipe kulit wanita Indonesia dan produk seperti apa yang sesuai, sehingga produknya lebih pas dipakai.

Kalau mau agak idealis, sih, bisa disebutkan bahwa membeli produk dalam negeri itu bisa membantu mengurangi jejak karbon sehingga lebih ramah lingkungan, juga menggerakkan perekonomian nasional tentunya. Pekerjaan saya setahun belakangan menuntut untuk mengamati tren pertumbuhan ekonomi, dan yang saya dapati adalah pertumbuhan yang baik di salah satu sektor bisa memberi efek baik ke hal lainnya, seperti memacu sektor transportasi maupun jasa dan membuka lapangan pekerjaan.

Harga juga terus terang merupakan salah satu faktor yang memicu saya memilih kosmetik lokal. Bagi saya yang jarang pakai make-up lengkap, kadang risiko yang harus dihadapi adalah keburu kedaluwarsa sebelum isi kemasannya habis. Kalau belinya mahal-mahal, nyesek juga kan, ya… Untuk mereka yang lebih adventurous juga soal harga ini bisa menguntungkan karena yang ingin dicoba pastilah bukan hanya satu macam, kan.

Bicara soal harga, harga miring kosmetik dalam negeri acapkali justru mengundang tatapan sebelah mata. Rumus utama yang telanjur melekat di benak masyarakat adalah ada harga ada rupa. Seolah kalau harganya murah maka kualitas bahan, daya tahan kemasan, tingkat keawetan saat dipakai juga cenderung rendah.

Padahal tidak selalu demikian kan. Hukum lokal=murah ini pun tidak selalu berlaku ya, ada juga yang memang kelasnya premium dan tidak diproduksi massal, sehingga biaya produksinya juga menjadi lebih tinggi. Menurut apa yang saya baca, unsur seperti kemasan khusus yang masih harus didatangkan dari negara lain juga berpengaruh.

Ada pula kalangan yang malah dengan sengaja tidak memilih kosmetik dengan harga terjangkau dengan alasan gengsi. Mungkin ada produsen kosmetik yang menangkap kecenderungan ini kemudian memasarkan dengan harga lumayan.

Sejujurnya saya agak-agak cari gampangnya aja, sih, ketika membeli kosmetik ya ambil yang familiar dulu namanya. Sebagian merknya sama dengan yang dipakai mama. Kini pilihan brand kosmetik (juga perawatan kulit) karya anak bangsa semakin banyak dibandingkan dengan waktu saya masih duduk di bangku sekolah. Tidak semua beriklan dengan cara mainstream, memang. Banyak yang baru saya ketahui namanya melalui ulasan di majalah wanita atau, lebih sering lagi, portal seputar kecantikan yang selalu update.

Berawal dari situlah saya yang sebetulnya lebih suka ‘main aman’ berhubung tahunya juga merk yang itu-itu saja, jadi tertarik untuk mencoba merk-merk baru (atau lama tapi sayanya aja yang baru tahu, hehehe). Apalagi review pemakai juga kian mudah ditemukan di dunia maya baik berupa tulisan maupun video, jadi bisa meminimalisir kekecewaan karena salah pilih. Ini nih, salah satu belanjaan kosmetik (dan perintilan lainnya termasuk wewangian) lokal yang baru saya beli, dari brand Face2Face Cosmetics. Ada bedak tabur anti-acne, body mist, hand & body lotion, face scrub, dan cat kuku.

face2face

Beberapa waktu yang lalu, saya lihat akun @f2f.cosmetics mengunggah sertifikat halal dari MUI Banten yang telah mereka terima pada bulan Agustus 2016. Saya belum mencermati produk apa saja yang disebutkan terlampir sih, tapi dengan adanya sertifikat halal artinya ada kepedulian dan kesadaran dari produsen. Mengingat penduduk Indonesia mayoritas muslim, adanya sertifikat halal akan mendorong rasa aman untuk berbelanja. Inisiatif semacam ini juga patut diapresiasi dan semoga diikuti pula oleh para produsen lain yang belum melangkah ke sana.

sertifikat halal MUI Banten

Favorit saya adalah XoXo peel-off nail polish-nya. Awalnya sih saya tahu produk ini dari liputan sebuah acara yang diadakan oleh Face2Face bekerja sama dengan portal kecantikan terbesar di Indonesia. Yang tebersit pertama di benak saya, wah, praktis nih, untuk membersihkannya dari kuku cukup dengan mengelupas cat kuku ini.

Sudah lama sejak saya terakhir membeli pemulas kuku, dan jenis yang dapat dibersihkan dengan mudah ini sepertinya seru dicoba. Benar saja, ternyata mudah dipakai maupun ‘dilepas’, tanpa harus menggunakan remover khusus yang biasanya berbasis aseton.

Baunya juga tidak menyengat, lho. Inovasi seperti ini bisa mendukung semakin berkembangnya kosmetik dalam negeri, dan kita sebagai konsumen bisa membantu dengan berbagi ‘kesaksian’ agar makin banyak yang tahu.

img_20170118_051908

wp-image-1865275115jpg.jpg
Testimoni langsung dari para pengguna memang menjadi kekuatan produk-produk era sekarang, terlebih dengan makin aktifnya media sosial digunakan. Dengan menuliskan atau merekam dan menyebarluaskan pengalaman memakai kosmetik buatan Indonesia, kita sesungguhnya juga sedang memberikan dukungan.

Untuk kosmetik lokal, review dan yang sejenis bisa dibilang iklan gratis, meskipun mungkin ada juga yang dibayar untuk itu ya, tapi biaya yang perlu dikeluarkan rasanya tidak sebesar iklan konvensional. Jadi, semakin banyak orang yang tahu akan keberadaan dan keunggulan produk Indonesia.

Di sisi lain, namanya review tidak melulu berupa pujian. Sebagian mungkin tidak terlalu puas dengan apa yang didapatkan dan menyampaikan pula hal tersebut dalam ulasannya. Masukan membangun sebetulnya merupakan bentuk lain dari kepedulian, karena ingin produk Indonesia meningkatkan kualitas dan memperbaiki hak-hal yang dirasa masih kurang pas.

Namun, kritik pedas apalagi kalau disampaikan dengan bahasa yang kurang enak bisa membuat pembaca atau penonton mundur teratur. Kalau cuma soal cocok atau tidak cocok sih memang tidak bisa disamaratakan ya, misalnya dengan mempertimbangkan tipe maupun warna kulit yang jelas bervariasi. Supaya yang baca atau nonton pun bisa menilai sesuai tidaknya produk yang bersangkutan untuk kondisi mereka, kan.

Tapi, kalau dari kritik itu pembaca atau penonton sampai melakukan generalisasi, “Oh, kayak gini ya, kualitas kosmetik dalam negeri”, well, jadinya kontraproduktif, kan, ya? Bukan berarti harus kasih review penuh bunga, sih, jatuhnya jadi bisa menyesatkan calon pembeli lain kalau yang ini. Minimal, penyampaian yang enak dibaca walaupun aslinya barangkali kecewa berat, bisa lebih diapresiasi. Atau, sampaikan saja ke customer care-nya jika ada. Produsen yang baik mestinya sih nggak baper-an ya kalau dikasih input begitu.

Tentunya dukungan yang kita berikan rasional juga ya, karena seperti diungkapkan oleh beberapa teman (di antaranya dokter) di grup facebook yang saya ikuti, bahkan yang produk yang diklaim natural atau alami pun belum tentu aman. Risiko kontaminasi akibat suhu yang tepat tidak dijaga dengan baik saat produk didistribusikan, misalnya.

Sebagian orang mungkin merasa ribet kalau harus melakukan uji tertentu atau mendaftarkan produknya ke badan pemerintah yang artinya siap mengikuti rangkaian proses yang cukup panjang, tapi sebetulnya hal ini wajib dilakukan untuk melindungi konsumen. Kosmetik itu kan ‘ditemplokin’ ke muka ya, yang umumnya paling mudah dilihat oleh orang lain, dan kulitnya cenderung lebih perlu perlakuan hati-hati dibandingkan dengan kulit bagian tubuh lainnya.

Kesimpulannya, kalau ditanya seberapa andal kosmetik Indonesia dalam memenuhi kebutuhan (dan, harus diakui, keinginan) konsumen, mungkin saya tidak cukup kompeten menjawab karena bukan pemakai rutin. Akan tetapi, saya bisa katakan bahwa saya mendukung agar kosmetik Indonesia –yang aman pastinya– berkembang dengan baik karena seperti saya sampaikan sebelumnya, efeknya bisa berganda.

Semakin banyak yang membeli (eh, tapi tetap sesuai kebutuhan juga ya moga-moga, hehehe *mengakui diri juga kadang masih suka lapar mata), artinya produsen memperoleh keuntungan yang bisa digunakan untuk membuat riset untuk formula lebih baik, mengurus izin yang diperlukan (bukan berarti petugasnya minta bayaran, ya, tapi effort seperti perjalanan kan juga perlu dana), menemukan kemasan yang lebih aman, memperluas variasi produk agar makin mendekati kebutuhan tiap individu yang berbeda-beda, juga barangkali merekrut lebih banyak karyawan.

4 thoughts on “Kosmetik Lokal, Seberapa Andal?

Leave a reply to leilaniwanda Cancel reply