Tajuk #TUMNgopiCantik kali ini adalah Better and Safer Internet at Home. Sejak awal acara dimulai di Eat & Eat fx Sudirman, mas Ilya Alexander S selaku pembicara yang diundang oleh The Urban Mama sudah menyampaikan sesuatu yang menohok: internet bukan diciptakan untuk anak-anak. Tidak ada yang aman, kalau mau aman ya jangan kasih internet. Nah, saya mengikuti acara yang diadakan tanggal 11 Februari ini juga sebenarnya mau tahu sih, seperti apa sudut pandang bapak-bapak praktisi. Selama ini yang saya ikuti kan lebih banyak tulisan dan seminar bu Elly Risman yang berbicara selaku pakar parenting, psikolog, eyang, dan pemilik yayasan yang menyuplai data riset dari berbagai daerah. Mas Ilya memang menyampaikan juga kalau tidak akan bahas dari segi parenting karena bukan ahlinya.
Persiapan tentang berinternet perlu karena yang terjadi kalau tidak hati-hati adalah antara stupid parents atau anak durhaka. Yang ditugaskan jadi orangtua itu kita, jadi tanggung jawab ada di kita. Coba bayangkan kita suka melarang anak main gunting, pisau, diumpetin, gak boleh ke dapur, tapi sama internet kita lepas begitu saja. Anak mau belajar menggunting kertas dibimbing, tapi medsosan dibiarin, atau papa mamanya lempar-lemparan tanggung jawab ngajarin. Aneh, kan? Sementara anak-anak kita digital native, dari lahir sudah dihadapkan dengan kecanggihan teknologi.
Takut anak gaptek dan nggak gaul kalau nggak dikasih atau dibatasi berinternet? Bedakan antara belajar komputer dengan belajar internet ya. Anak bisa kok belajar komputer maupun belajar melalui komputer tanpa perlu terkoneksi dengan internet. Unduh atau beli saja aplikasi atau software edukatif yang sesuai dengan usianya.
Coba lihat, di apps store, aplikasi Youtube itu kalau mau diunduh ada tulisannya lho hanya untuk 12 tahun ke atas. Ayooo, anak kita umur berapa mulai buka Youtube? Meskipun isinya memang ada yang untuk anak-anak ya, tapi yang meng-install seharusnya orang dewasa, yang bertanggung jawab terhadap penggunaannya. Ada YouTube Kids tapi tidak bisa dipakai di Indonesia (ada sih tapi bukan yang resmi, perlu diwaspadai juga). Di Google Play sebetulnya juga sudah ada Parent Guide-nya, kok.
Kapan kita bisa percaya pada anak? It’s everybody’s own choice. Yang orangtua bisa lakukan adalah memilih antara membatasi dengan segala kerepotannya atau membantu anak menjadi orang yang sesuai dengan harapan kita. Jika menganggap keterpaparan terhadap internet memang tidak bisa dihindarkan, maka terapkan house rules (yang bisa jadi berbeda di tiap rumahtangga). Dan jangan lupakan sering-sering ngobrol dengan anak, tentu saja iringi dengan doa.
Apa yang harus diajarkan ke anak? Pakai common sense. Misalnya bagaimana menerima pertemanan di medsos, apa saja yang boleh diobrolkan dengan lawan bicara di medsos, dan bagaimana bikin password. We have to acknowledge apa yang ada di luar sana. Jangan hanya menutup, menghapus kalau anak kedapatan nonton konten porno misalnya, kita juga perlu tahu dalam arti untuk diwaspadai ke depannya.
Manfaatkan parental control, kids lock, restricted mode, dkk, di semua perangkat dan aplikasi ya, bukan youtube atau medsos saja, tapi juga semua browser yang dipakai. Di semua perangkat aplikasi tepercaya pasti ada kok fasilitas ini. Memang sih nggak ada jaminan 100% aman, tapi setidaknya bisa membantu mencegah. Bisa juga pisahkan login atau user kita dan anak-anak. Termasuk jaga password-nya. Jangan bilang kita gaptek, bisa kok kita belajar, cari tahu caranya. Peletakan layar komputer di rumah ada baiknya jangan menghadap tembok, sehingga bisa menolong untuk kontrol. Cek-cek history browser anak. Itu pun anak bisa saja buka pakai private browser yang begitu ditutup langsung hilang historinya.
Sebagian orangtua mungkin dengan mudah meminjamkan ponsel ke anak. Di sini harus hati-hati, sebab bukan hanya akses anak ke internet itu sendiri yang berisiko, tapi juga isi hpnya. Perangkat punya device value yaitu harga alatnya sendiri, dan juga data value yang bisa jadi curhatan teman atau keluarga dst di dalam device. Mobile device sesungguhnya adalah insecure device.
Selain terkait anak dan bagaimana ia menggunakan internet, orangtua juga harus waspada terhadap keamanan internet itu sendiri, termasuk sebagai pelaku aktif. Your screen = major leaked information gateway. Perhatikan ketika menggunakan perangkat di tempat umum, kendaraan umum, tempat ibadah, lift, dll. Gunakan ukuran huruf yang kecil. Hati-hati dengan orang yang ngintip password di belakang kita. Kalau bisa sih gunakan kunci yang paling aman yaitu sidik jari. Security is not a product, it’s a process. If anybody tells you your site (or phone, computer) is unhackable, that guy is a liar!
Security vs inconvenience selalu pada kondisi satu naik satu turun. Makin aman makin nggak nyaman dan sebaliknya. Ibarat pergi dari rumah, biar aman kita mau pasang berapa kunci dan gembok? Makin banyak kunci, kan ribet, ya. Meninggalkan perangkat dengan harus log out dulu tentu agak makan waktu, demikian juga dengan kalau pasang password kan layar terkunci yang artinya harus repot buat buka lagi… Tapi ingat potensi risikonya kalau dibiarkan begitu saja.
Dibandingkan dengan password laptop, e-banking, dan medsos, paling penting dan gawat kalau hilang atau dipakai orang itu password email karena biasanya juga terhubung ke akun perbankan, jadi jaga dengan baik. Idealnya sih untuk password jangan gunakan kata yang bisa ‘dibaca’/dieja, dan jangan pakai kata-kata yang ada di kamus.
Tips lain:
- Kalau mau pasang aplikasi coba dipikir dan cek dulu permintaan permission-nya. Misal, apa urusannya aplikasi ini minta akses ke akun medsos kita… Waspada di situ.
- Kalau mau unduh aplikasi, unduh dari pembuat atau penyedia resminya. Coba cek deh di apps store, ada saja kan aplikasi tidak resmi yang entah apa tujuannya, bisa saja dibuat untuk menarik data kita.
- Kalau ada update aplikasi, sempatkan update karena seringkali ada perbaikan terkait perlindungan keamanan.
- Untuk layanan e-mail, Y*hoo cenderung lebih tidak aman.
- Kita perlu bebersih facebook dari 3rd party apps seperti game atau kuis-kuis nggak jelas, kalau memang mau pakai atau main, cek dulu sumbernya.
- Hati-hati juga dengan colok-colok sembarangan, misalnya kadang dengan maksud mengisi ulang baterai tapi ada risiko data kita ikut tertransfer. Kalau perlu pakai pelindung USB (‘USB condom’) yang bikin yang berpindah hanya arus listrik.
- Pelajari Parent Guide di Google Play, follow akun Twitter Safety, belajar dari postingan berhashtag #SaferInternetDay misalnya.
- Untuk penggunaan wi-fi, minimal, pilih yang pakai password. Ada risiko terbacanya data kita oleh orang yang jago jika kita pakai yang tanpa password. Yang bertanda gembok/password juga belum pasti aman, hanya mengurangi risiko terbacanya data. Hindari pakai wi-fi umum bahkan yang bergembok untuk urusan seperti internet banking, kecuali terpaksa.
- Protect 3 hal ini: you are what you know, you are what you have (mis.kalau masuk bioskop ya perlunya tiket bukan nama), you are what you are (otoritas kita). Misal, kartu ATM itu you are what you have (kartu ATM-nya) dan you are what you know (nomor pin-nya).
Oh ya, selain soal keamanan, ingat ini juga: Begitu kita berhadapan dengan internet, interaksinya itu sebenarnya orang dengan orang, bukan dengan robot. Jadi etika pun perlu dijaga.
pas banget dan sedang saya cari materi ini,
terutama untuk balitaku yang senang banget ber internet ria?
terima kasih
Sama-sama, Mba Ina :).
Lengkap! aku copas dikit infonya yaaa….
Silakan, Mba Shinta :).
huhuhuhu…pe-er besar buat ortu macam kita semua ya mbak 😦
Banget, Mbak… Tantangannya semakin bertambah.
Pingback: Seberapa Perlu Membatasi Pergaulan Anak di Lingkungan Rumah? | Leila's Blog