Sudah lama saya mendengar tentang Mezzanine Club yang awalnya didirikan oleh dua pegawai muda Kementerian Keuangan kemudian menjadi acara berkala yang membahas isu-isu terkini atau ilmu bermanfaat dengan penyajian yang mudah diterima (utamanya untuk kalangan muda) tetapi sekaligus berbobot. Namun, karena faktor kesibukan kerja dan kemudian jarak, saya belum sempat mengikuti satu pun pertemuan Mezzanine Club. Di awal tahun ini, tak lama setelah saya dipindahkan ke kantor baru yang tidak terlalu jauh dari tempat kegiatan Mezzanine Club biasa digelar (tidak selalu di satu tempat, sih), ada pengumuman bahwa akan diselenggarakan Mezzanine Club 17. Pembicara untuk acara kali ini yang sekaligus untuk merayakan ulangtahun Mezzanine Club ke-2 pun tidak tanggung-tanggung, Dr. Muhammad Chatib Basri, S.E., M.Ec., mantan Menteri Keuangan RI periode 2013-2014.
Saya segera mendaftarkan diri ke eventbrite begitu ada pemberitahuan, meskipun sampai beberapa waktu kemudian tempat pastinya acara akan diadakan masih belum disebutkan, hanya dicantumkan kompleksnya saja. Kata Ardhi, salah satu founder MC, dalam ‘sambutan’-nya di awal acara, tiket yang disediakan sold out kurang dari 24 jam sejak pendaftaran dibuka! Itu pun masih banyak yang waiting list. Jadilah hari itu 500 orang audiens memadati aula Grha Sawala.
Bertindak selaku moderator dalam perhelatan MC XVII tanggal 23 Februari 2017 kemarin adalah Brian Kraft, Senior Associate di Vriens & Partners kantor cabang Jakarta. Sebelum bergabung dengan Vriens & Partners, Brian bekerja sebagai government engagement consultant di beberapa perusahaan multinasional dan foundation yang berfokus pada isu teknologi, logistik, dan maritim. Brian juga pernah bekerja sebagai peneliti di Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington, D.C., Amerika Serikat. Sebelum mempersilakan pak Chatib menyajikan materi, Brian sempat menyatakan kekaguman pada beliau yang bisa menjelaskan masalah ekonomi dengan bahasa yang mudah dipahami.
Pak Chatib sendiri mengawali presentasi dengan mengungkapkan bahwa konon katanya ekonom yang baik adalah yang bisa memaparkan dengan njelimet, dan beliau sepertinya berupaya untuk menjadi ekonom yang buruk. Kemudian pak Khatib juga menyatakan impressed dengan aktivitas seperti ini. Sekarang integrasi sudah semakin baik, tidak lagi tampak silo-silo antara unit-unit eselon I di Kemenkeu. Ide Mezzanine Club luar biasa. Jika rasa kebersamaan dipupuk melalui kegiatan positif, maka generasi pemimpin Kementerian Keuangan di masa depan akan dapat bekerja sama dengan baik. Satu lagi apresiasi beliau, generasi milenial biasanya berkomunikasi melalui media sosial dan @mezzanineclubid membantu menyampaikan pesan dengan baik dan jauh lebih efektif. Kata beliau, beliau jadi ingat seorang anak muda pengelola startup peer to peer lending yang ketika ditanya kenapa seberani itu dengan risiko yang besar, jawabnya adalah kalau manusia bikin salah, Tuhan bisa memaafkan, tetapi google tidak. Jadi algoritma dari media sosial bisa menghasilkan credit score seseorang, dan ini contoh dari kecanggihan pola pikir generasi sekarang.
Beberapa poin yang saya tangkap dari penjelasan pak Chatib adalah sebagai berikut:
– Membandingkan pertumbuhan ekonomi antarnegara tidak bisa begitu saja, harus mempertimbangkan struktur masing-masing, misalnya apa sumber pendapatannya (apakah natural resources atau lainnya).
– Situasi yang kita hadapi saat ini sangat berbeda dengan sekitar 10 tahun yang lalu. Jika kita bandingkan dengan negara lain, orientasi mereka kebanyakan industrialisasi dan perdagangan ekspor. Orientasi ini setelah berjalan tidak bisa diulang lagi. Negara berkembang sering dikatakan sebagai korban globalisasi, ini adalah pendapat yang usang. Nyatanya, yang menentang dan bersikap resisten terhadap globalisasi saat ini justru negara maju. Negara maju banyak yang merasa tidak nyaman, kemudian mulai mengetatkan proteksionisme dalam menghadapi kompetisi.
– Services is not a perfect substitute to manufacturing. Suatu keahlian tidaklah dengan mudah dikuasai. Maka human capital development harus dibangun dengan baik agar kita siap.
– Saat ini, Trump Effect memberi imbas ke perekonomian global, termasuk Indonesia. Dunia menunggu dan bertanya-tanya kebijakan seperti apa yang akan dijalankan, apalagi mengingat janji kampanyenya yang acapkali kontroversial. Pada kenyataannya, tidak semua janji bombastisnya terlaksana, seperti pada umumnya presiden yang akan ‘jadi normal’ setelah beberapa waktu menjabat.
– 90% impor kita adalah bahan baku dan mesin, jadi kalau impor naik artinya akan banyak produksi, perekonomian tumbuh.
– Exchange rate rendah sebetulnya bisa menguntungkan, misalnya karena akan menurunkan upah, sehingga lebih menarik di mata investor. Kebijakan tenaga kerja sangat rigid, investor banyak meninggalkan padat karya ke padat modal, sehingga untuk menggaet investor harus ada nilai tambah.
– Sejauh ini ada risiko krisis, tapi jika memang ada shock, yang risikonya lebih besar terkena adalah bond market daripada stock market.
– Bisakah perekonomian kita tumbuh lebih dari 6%? Investasi masih lebih besar dari tabungan sehingga neraca berjalan masih defisit. Bisa didorong dengan membuka kesempatan investasi dan menguatkan human capital. Pastinya perlu waktu, tidak bisa seketika. Tapi pertumbuhan 5% untuk region sudah bagus. Saya optimistic jika bicara tentang Indonesia masa mendatang.
– Dengan uncertainty di Amerika Serikat saat ini, harapan dunia adalah Asia. Karena yang pertumbuhan ekonominya di atas 5% hanya Asia. Dan 50% perekonomian Asia adalah Indonesia.
– Ada limitasi kebijakan menurunkan bunga di moneter. Peranan ada di fiskal agar menggerakkan aggregate demand. Jadi ciptakan permintaan dulu.
– How to work within constraints? Kebijakan tenaga kerja yang sangat rigid, investor meninggalkan padat karya ke padat modal. Reformasi bisa dibuat sederhana. Badan pemerintah harus cek website mereka, buat agar isinya bermanfaat dan tampilannya mudah dipahami. Manfaatkan layanan telepon dengan baik. Instansi juga harus memperbaiki diri, misalnya dengan one stop service, agar investor datang.
– Terjadi shortfall dari tax revenue. Sukses tax amnesty terjadi tetapi belum memenuhi kebutuhan, karena jika pun di-declare semua, tidak semua jenis aset bisa dikenai pajak. Sebagaimana hukumnya, jika ada dua harga maka akan ada arbitrase. Orang mending ikut TA tapi tidak bisa semua langsung dipajakin. Yang bisa dimanfaatkan adalah data yang diperoleh dari tax amnesty.