Cemilan Rabu 29 Maret 2017
Sebelum ditemukannya ragam kecerdasan (IQ, EI, SI, dan AI), seorang anak dikatakan cerdas jika memiliki IQ yang tinggi. Sebaliknya anak dikatakan bodoh jika ber-IQ rendah.
Kecerdasan Intelektual (IQ) adalah kecerdasan yang dimiliki oleh otak manusia untuk bisa melakukan beberapa kemampuan seperti kemampuan menalar; merencanakan masalah; berpikir; memahami gagasan; dan belajar.
Menurut Conny Setiawan dalam buku “Perspektif Pendidikan Anak Berbakat” ada tiga komponen penting yang dianggap esensi intelegensi, yakni penilaian, pengertian, dan penalaran.
Berkat kecerdasan intelektualnya, manusia telah mampu menjelajah ke bulan dan luar angkasa; menciptakan teknologi informasi dan transportasi yang sangat membantu dan lain sebagainya. Namun, ketika IQ saja yang menjadi dasar seseorang bergerak, maka di samping ada kemajuan pesat buah dari kecerdasannya itu, terdapat pula banyak kerusakan muncul akibat dari ulah manusia.
Charles Spearmen, Thurstone, dan Gardner mengembangkan teori multiple intelligence (MI) yang mengukur kecerdasan tidak hanya dari satu aspek kemampuan. Teori MI ini lebih manusiawi karena intelegensi manusia diukur dari tujuh dimensi yang semi-otonom. Masing-masing adalah: 1) Linguistik, 2) Musik, 3) Matematik Logis, 4) Visual-Spasial, 5) Kinestetik-Fisik, 6) Sosial Interpersonal, dan 7) Intra-Personal.
Seperti diungkapkan Suharsono dalam buku “Mencerdaskan Anak”, ketujuh macam kecerdasan ini merupakan fungsi dari dua belahan otak kiri dan otak kanan. Otak kiri memiliki kemampuan dan potensi memecahkan problem matematik, logis dan fenomenal. Otak kanan memiliki kemampuan merespon hal-hal yang sifatnya kualitatif, artistik, dan abstrak.
Daniel Goldman menawarkan pendekatan baru dalam memandang kecerdasan seseorang dengan mengenalkan Kecerdasan Emosi (emotional intelligence) yakni kemampuan untuk mendeteksi dan mengenali emosi sendiri maupun orang lain.
Menurut Suharsono, perbedaan nyata antara IQ dan EI terutama pada hal “apa” yang menjadi objek kecerdasan itu sendiri. IQ lebih memandang objek-objek di luar diri manusia (outward looking) sedangkan EI lebih memperhatikan fenomenalyang berada di dalam diri manusia (inward looking).
Khairul Ummah (2003) menyatakan bahwa kunci sukses yang sebenarnya tidak lain adalah kemampuan memahami emosi diri dan emosi orang lain serta memanfaatkan interaksi emosional ini semaksimal mungkin untuk tujuan positif yang hendak dicapai bersama.
Kecerdasan emosi penting untuk menangani situasi yang bermuatan emosi, suatu kondisi yang sering terjadi. Muatan dari emosi negatif serta dampak dari kepercayaan diri, keberanian dan kejujuran dapat diperoleh dengan baik melalui kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi merupakan faktor yang jelas mengatur pola kehidupan. Kecerdasan ini penting dalam pengelolaan emosi yang diperlukan hingga mampu membangun pola yang berhasil. Pengembangan kecerdasan emosi sangat penting bagi keberhasilan tingkah laku dan organisasi. Kecerdasan emosi menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan hubungan di masyarakat. Kecerdasan ini juga dapat menghilangkan perasaan takut, cemas, dan marah yang bisa menghambat proses pengendalian emosi.
Saifullah.A & Nine Adien Maulana, Melejitkan Potensi Kecerdasan Anak, 2005, Yogyakarta: Ar-Ruz Media.
Tim Fasilitator Nasional Kelas Bunsay IIP
==========================================================================================
Cemilan Rabu Materi #3
05 April 2017
POTENSI KECERDASAN MANUSIA DALAM MERAIH KESUKSESAN HIDUP (bagian 2-habis)
Ketika diskusi terkait kecerdasan, biasanya yang sering disebut adalah kecerdasan intelektual (IQ), dan emosional (EI). Apakah berbekal IQ dan EI saja anak mampu meraih sukses? Jawaban atas pertanyaan ini sungguh bersifat relatif, bergantung apa dan bagaimana ukuran serta definisi sukses. Jika kesuksesan seorang anak manusia dimaknai sebagai kemampuan menciptakan sesuatu yang berguna bagi umat manusia, maka berbekal IQ dan EI saja tidaklah cukup.
Menurut Khavari, ada beberapa aspek yang menjadi dasar kecerdasan spiritual, yaitu:
1. Sudut pandang spiritual-keagamaan, artinya semakin harmonis relasi spiritual-keagamaan kita ke hadirat Tuhan, semakin tinggi pula tingkat dan kualitas kecerdasan spiritual kita.
2. Sudut pandang relasi sosial-keagamaan, artinya kecerdasan spiritual harus direfleksikan pada sikap-sikap sosial yang menekankan segi kebersamaan dan kesejahteraan sosial.
3. Sudut pandang etika sosial. Semakin beradab etika sosial manusia, semakin berkualitas kecerdasan spiritualnya.
Zohar mengidentifikasikan sepuluh kriteria mengukur kecerdasan spiritual seseorang, yaitu:
1. Kesadaran diri
2. Spontanitas, termotivasi secara internal
3. Melihat kehidupan dari visi dan berdaar nilai-nilai fundamental
4. Holistik, melihat sistem dan universalitas
5. Kasih sayang (rasa berkomunitas, rasa mengikuti aliran kehidupan)
6. Menghargai keragaman
7. Mandiri, teguh melawan mayoritas
8. Mempertanyakan secara mendasar
9. Menata kembali dalam gambaran besar
10. Teguh dalam kesulitan
Ciri-ciri dari kecerdasan spiritual yang telah berkembang dalam diri seseorang adalah sebagai berikut (Zohar, 2001):
1) Kemampuan bersifat fleksibel
2) Tingkat kesadaran diri tinggi
3) Kemampuan menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
4) Kemampuan menghadapi dan melampaui rasa sakit
5) Kualitas hidup diilhami visi dan nilai-nilai
6) Enggan menyebabkan kerugian yang tidak perlu
7) Kecenderungan untuk melihat keterkaitan berbagai hal
8)Punya kecenderungan bertanya “mengapa” atau “bagaimana jika” untuk mencari jawaban-jawaban yang mendasar.
9) Memiliki kemudahan untuk bekerja melawan hal yang umum.
Kecerdasan spiritual bersumber dari fitrah manusia itu sendiri. Kecerdasan ini merupakan aktualisasi fitrah manusia itu sendiri. Ia memancar dari kedalaman diri manusia, karena dorongan keingintahuan yang dilandasi kesucian, ketulusan, dan tanpa pretensi egoisme. Kecerdasan ini akan aktual jika manusia hidup berdasarkan visi dasar dan misi utamnya sebagai hamba Allah sekaligus khalifatullah di bumi.
Dari sini, bisa dipahami mengapa ulama-ulama besar zaman dahulu dengan teknologi yang masih sangat terbatas mampu melahirkan karya-karya yang tak lapuk dimakan zaman. Sebut saja Jabir Ibn Hayyan yang dikenal sebagai Bapak Kimia dan Ibn Sina yang karya fenomenalnya al-Qanun fi al-Tibbi menjadi rujukan utma ilmu kedokteran di Eropa selama berabad-abad. Karya yang dihasilkan dari pancaran kecerdasan spiritual merupakan luapan pendaran cahaya dan karunia Ilahi dalam inti eksistensi diri manusia. Faktor-faktor eksternal hanyalah pendukung dari proses aktualisasi kecerdasan yang ada.
Namun pada zaman sekarang ini terjadi krisis spiritual karena kebutuhan makna tidak terpenuhi sehingga hidup manusia terasa dangkal dan hampa. Menurut Lisa Kumalanty, ada tiga sebab yang membuat seseorang dapat terhambat secara spiritual, yaitu (1) tidak mengembangkan beberapa bagian dari dirinya sendiri sama sekali, (2) telah mengembangkan beberapa bagian, namun tidak proporsional, dan (3)bertentangannya/buruknya hubungan antara bagian-bagian.
Untuk mengatasi krisis spiritual menurut Danah dan Ian adalah melalui “Enam Jalan Menuju Kecerdasan Spiritual yang Lebih Tinggi” dan “Tujuh Langkah Praktis Mendapatkan SQ Lebih Baik”.
Enam jalan tersebut yaitu:
1) jalan tugas,
2) jalan pengasuhan,
3) jalan pengetahuan,
4) jalan perubahan pribadi,
5) jalan persaudaraan, dan
6) jalan kepemimpinan yang penuh pengabdian.
Sedangkan Tujuh Langkah Menuju Kecerdasan Spiritual Lebih Tinggi adalah:
(1) menyadari di mana saya sekarang,
(2) merasakan dengan kuat bahwa saya ingin berubah,
(3) merenungkan apakah pusat saya sendiri dan apakah motivasi saya yang paling dalam,
(4) menemukan dan mengatasi rintangan,
(5) menggali banyak kemungkinan untuk melangkah maju,
(6) menetapkan hati saya pada sebuah jalan,
(7) tetap menyadari bahwa ada banyak jalan.
Kiat-kiat mengembangkan SI anak :
(1) Jadilah kita fasilitator dan teladan yang baik,
(2) bantulah anak merumuskan misi hidupnya,
(3) baca kitab suci bersama-sama dan jelaskan maknanya dalam kehidupan kita,
(4) diskusikan berbagai persoalan dengan perspektif ruhaniah,
(5) libatkan anak dalam kegiatan-kegiatan ritual keagamaan,
(6) bacakan kisah perjuangan tokoh spiritual
(7) bawa anak untuk menikmati keindahan alam,
(8) ajak anak berinteraksi dengan orang yang memiliki keterbatasan, dan
(9) ikutsertakan anak dalam kegiatan sosial.
Mereka yang mempunyai kecerdasan spiritual tinggi akan mampu memaknai setiap peristiwa dan masalah yang dihadapi dalam hidupnya, bahkan dalam penderitaan sekalipun. Dengan memberi makna yang positif, mereka akan mampu membangkitkan jiwanya untuk bersikap dan bertindak secara positif pula. Dan kecerdasan ini juga memungkinkan manusia untuk berpikir secara kreatif, berwawasan jauh ke depan, intuitif, bertambah cerdas, dan semakin berkesadaran.
Oleh karenanya, bagi mereka yang telah menggunakan kecerdasan spiritualnya, mereka akan menjadi pribadi yang kreatif, intuitif, bisa menerima segalanya secara apa adanya, dan hidupnya akan berbahagia.
2005, Ach Saifullah dan Nine Adien Maulana, Melejitkan Potensi Kecerdasan Anak, Yogyakarta: Katahati.
Thesis UIN Malang 08410107_Bab II