Beberapa waktu yang lalu saya sempat membaca rubrik konsultasi psikologi di majalah femina. Menurut saya, tanggapan yang disampaikan oleh para pengasuh rubrik atas salah satu pertanyaan yang dimuat pada edisi tersebut cukup menarik. Curhatan serupa yang ditanyakan oleh sang pembaca, sependek pengetahuan saya jika dilontarkan ke tempat lain bisa jadi akan direspon dengan “Iya nih, dasar lelaki!”, atau justru memancing ‘kompor’ untuk berpikir yang tidak-tidak, misalnya keberadaan perempuan lain sebagai latar belakang berubahnya sikap suami. Waktu itu sempat ingin menuliskan soal ini di blog tapi telanjur lupa, baru ingat lagi ketika sedang browsing di website femina dan ada tanya jawab yang menurut saya kasusnya serupa tapi tak sama. Lagi-lagi, jawaban Kak Irma dan Bung Monty, demikian mereka disapa di rubrik tersebut, tetap cenderung ‘ngademin’, tidak mengajak berprasangka lebih jauh, melainkan memotivasi agar istri merasa lebih berdaya dan tidak melulu tergantung pada perhatian suami.
Berikut tanya-jawab yang pertama menarik perhatian saya:
Sebelum menikah, suami selalu memanjakan saya dengan sikapnya yang manis, memberikan hadiah kejutan, dan mengajak saya bertualang ke tempat-tempat menyenangkan. Namun, setelah menikah sikapnya berubah. Ia tetap pria yang baik, tapi jarang bersikap romantis seperti saat pacaran karena sibuk bekerja.
Jess – Tegal
Saran Irma Makarim
Sudahkah Anda membicarakan perubahan sikap tersebut kepada suami Anda? Jika belum, coba ungkapkan harapan Anda secara jujur dan tidak menuntut. Mungkin saja, suami Anda tidak menyadari perubahan sikapnya karena harus bekerja lebih keras atas dasar tanggung jawab pada Anda.
Selalu ada alasan di balik tiap perubahan sikap. Saat pacaran, sepertinya suami Anda merasa perlu memanjakan Anda untuk mendapatkan cinta Anda. Sikap itu tidak salah, tapi juga tidak dapat dibenarkan sepenuhnya.
Sambil menunggu penjelasan dari suami, lakukan hal-hal yang membuat diri Anda berkembang secara positif. Gali minat dan bakat yang terpendam. Jangan sampai hal tersebut membuat Anda terpuruk. Tunjukkan juga pada suami bahwa Anda tidak bergantung pada perubahan sikapnya.Saran Monty Satiadarma
Perubahan sikap suami tentu menimbulkan pertanyaan. Akan tetapi, Anda juga jangan membiarkan diri terlalu mudah dimanjakan dengan sikap manis dan mengharapkan sesuatu yang tidak pasti. Sebaiknya Anda cari tahu kondisi suami yang sebenarnya. Coba cari waktu yang nyaman untuk berbincang dan tanyakan kondisi suami, tanpa terkesan menuntut.
Rasa gundah Anda bisa saja muncul karena belum memiliki kegiatan yang memberi makna bagi diri Anda sendiri ketika suami sibuk bekerja. Jika saat ini Anda belum bekerja di bawah institusi tertentu, cobalah untuk bergabung dengan komunitas atau kursus yang sesuai dengan minat Anda. Dengan begitu, Anda dapat memperoleh keterampilan baru dan juga lingkungan pergaulan baru.
Keterampilan dan lingkungan pergaulan baru juga bisa Anda gunakan untuk memberi dampak positif bagi orang di sekitar Anda. Selain itu, Anda juga bisa menggunakan wawasan baru tersebut untuk menyegarkan bahan pembicaraan Anda dengan suami.http://www.femina.co.id/sex-relationship/suami-tak-seperti-dulu-lagi
Tulisan berikutnya saya kutip di sini:
Suami memprioritaskan kariernya setelah kami pindah ke luar negeri. Dalam banyak hal, saya harus beradaptasi sendiri. Saya sekarang sedang hamil muda, tapi keterlibatan suami dalam rumah tangga makin minim. Padahal, kami tidak memiliki support system selain satu sama lain.
Natalia – Hong Kong
Saran Irma Makarim
Tak mudah menjalani berbagai perubahan dalam kehidupan pernikahan di waktu yang bersamaan. Selain harus pandai berbagi dan saling mendukung, Anda berdua juga perlu memberikan ruang dan waktu bagi pasangan untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan mengembangkan diri.Untuk mewujudkannya, kemandirian Anda berdua memegang peranan penting. Bila yang satu terlalu banyak bergantung pada yang lain, atau terlalu banyak terbebani kewajiban tanpa bantuan yang lain, tentu akan sulit untuk mendapatkan keseimbangan dalam rumah tangga.
Tak perlu ragu untuk meminta dukungan dan kehadiran suami bila Anda membutuhkannya, apalagi kini Anda tengah hamil. Sementara itu, pahami pula bahwa suami, di tengah lingkungan kerja yang baru dan tuntutan untuk membuktikan profesionalismenya, juga membutuhkan dukungan moril dan pengertian Anda. Coba diskusikan solusinya agar Anda berdua bisa saling membantu lahir dan batin.
Saran Monty Satiadarma
Kehdupan di luar negeri dan di Indonesia memang berbeda. Di Indonesia, sistem kekeluargaan sangat berperan sehingga relatif mudah bagi banyak orang untuk memperoleh dukungan. Di luar negeri, tiap individu diharapkan mampu mandiri, dan mereka ditunjang oleh fasilitas negara untuk menghadapi berbagai masalah.Selain itu, tuntutan kerja suami di luar negeri mungkin lebih besar daripada di Indonesia karena standar kerja berbeda. Bila tak mampu memenuhi standar tersebut, bukan tak mungkin kariernya akan terancam, sehingga secara tidak langsung akan mengancam kehidupan rumah tangga Anda berdua.
Anda butuh kemampuan adaptasi yang lebih tinggi. Bahasa dan berjejaring adalah dua kunci adaptasi bagi individu yang pindah negara. Anda pun dapat berkomunikasi dengan lingkungan baru. Bergabunglah dengan berbagai komunitas dan berkenalanlah dengan tetangga. (f)
http://www.femina.co.id/Sex-Relationship/cara-beradaptasi-tanpa-dukungan-suami
Well, saling memberi dan menerima perhatian itu akan sangat indah dalam pernikahan. Bisa berpahala, pula. Namun, tidak semua hal berjalan sebagaimana yang kita impikan. Saya sendiri, kadang merindukan saat suami muncul membawa setangkai mawar merah saat menjemput saya yang baru tiba dari tugas di pulau seberang, zaman masih pengantin baru. Atau menemukan cokelat kesukaan saya yang disiapkan suami di rumah ketika jadwal tugas dinas membuat kami tidak sempat bertemu untuk beberapa waktu (saya belum pulang, suami keburu pergi juga). Tapi yaa, bisa dimaklumi kalau saat ini, saat usia pernikahan sudah melewati satu dasawarsa, prioritasnya sudah lain. Dibawakan oleh-oleh kue kesukaan dari kota lain saja, yang makannya kadang pakai ‘rebutan’ sama anak-anak, sudah seneng banget :D.
Bukan berarti mau meremehkan urusan saling memberi perhatian apalagi romantisme, sih. Tentu, kalau taraf cueknya pasangan sudah cukup berlebihan, tak ada salahnya mengambil langkah terlebih dahulu. Komunikasi dalam kehidupan pernikahan itu penting, kan? Ditambah lagi, perbedaan gaya komunikasi laki-laki dan perempuan bisa memicu kesalahpahaman yang lebih jauh. Gara-gara yang satu diam saja, pihak satunya mengira semua baik-baik saja, padahal pihak yang diam ini sebetulnya sedang merasa bingung bagaimana caranya menyampaikan. Nah, di saat-saat seperti inilah bercerita ke pihak lain acapkali dianggap menjadi jalan keluar. Siapa tahu dapat saran yang bagus, baik saran tentang bagaimana cara yang enak untuk menyampaikan ke pasangan maupun saran berupa gambaran kira-kira apa yang membuat pasangan terkesan tidak perhatian. Dan di saat-saat seperti inilah, ‘kompor’ sebagaimana disebutkan di atas rawan muncul. Perkara yang awalnya hanya ‘sesederhana’ tidak ada lagi pertanyaan penuh perhatian “Sudah makan, belum?” tiga kali sehari, bisa merembet ke praduga adanya pihak lain yang lebih menyedot perhatian dan kasih sayang. (kemudian disambit sambil diomelin, “Ini gak sederhana lho Buuu, ini cerminan seberapa penting kita bagi seseorang!” :D)
Kembali ke hal yang membuat saya sampai ingin mengutip tanya jawab di atas ke dalam blog ini, yang menurut saya penting digarisbawahi adalah adanya (atau justru ketiadaan) kesibukan dari pihak yang merasa dicuekin. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit oleh kedua psikolog femina, tetapi bisa disarikan bahwa kurangnya kegiatan bisa memancing pikiran-pikiran miring melintas. Memang, kalau kelewat sibuk ya malah bisa jadi masalah baru, jangan-jangan malah pasangan yang belakangan ‘kalah sibuk’ gantian merasa tidak dipedulikan. Tapi ‘kebanyakan nganggur’ pun ada sisi negatifnya. Yang jelas, kalau sibuk, jadinya kan tidak ada waktu untuk memikirkan kenapa pesan whatsapp cuma dibaca tapi tidak dibalas dst.
Ada memang kemungkinan buruk dari komunikasi yang mendadak terputus, contohnya —naudzubillahi mindzalik— pasangan mengalami gangguan kesehatan atau kecelakaan tiba-tiba. Tapi biasanya chat yang belum kunjung berbalas ini cuma karena load pekerjaan sedang tidak memungkinkan kok, termasuk juga kesibukan mengurus si kecil di rumah. Soal ‘mendiamkan’ chat ini sih pengalaman pribadi setelah beberapa kali LDM-an dengan suami. Terkadang suami lebih sibuk dengan rapat, ujian, atau jadi penanggung jawab sebuah kegiatan hingga tidak sempat membuka aplikasi chat kecuali yang berhubungan langsung dengan kegiatannya, di kesempatan lain bisa jadi saya yang ada di posisi itu. Maka, ketimbang banyak berandai-andai, seperti saran tadi, lebih baik menyibukkan diri dengan hal-hal yang disukai seperti menjalankan hobi atau menjalin pertemanan (yang sehat, pastinya) agar mencegah khayalan aneh-aneh mampir — dan semoga yang jahat-jahat juga beneran ogah dekat-dekat. Idealnya sih sambil usaha komunikasikan juga dengan pasangan, agar tak ada ganjalan. Intinya, jangan cuma berpangku tangan.
Terakhir, jawaban para psikolog di atas juga mengingatkan agar saya sendiri tak sembarangan memberi pandangan ketika ada yang curhat masalah pribadinya. Sebagai pegawai, kadang saya menerima pertanyaan dari para istri seperti apakah ada gelagat aneh pada suaminya (rekan kerja saya) belakangan ini, atau apakah benar di kantor ada yang suka menggoda pria-pria di sekitarnya. Naluri seorang istri memang tidak boleh diabaikan begitu saja, tetapi menuruti rasa takut yang tidak selalu beralasan juga bisa menghabiskan energi plus waktu. Dan rasanya akan lebih baik jika kita tidak secara langsung terlibat dalam masalah rumah tangga orang lain, apalagi menjadi kompor. Pengalaman atau pengetahuan kita dapat menjadi masukan berharga bagi yang curhat, tapi pilih-pilih juga sebelum menanggapi. Kadang, yang dibutuhkan oleh sahabat kita cuma sepasang telinga (atau mata) yang tekun menyimak (mungkin ditambah bahu untuk bersandar), kok :).
Mampir ke blog Mba Leila, paling pertama buka tulisan yang ini. Soalnya “gue banget”. hehe….
Memang komunikasi personal dengan suami, positive thinking, dan terus mengupgrade diri sendiri itu penting ya Mba…
Setuju, Mba Silva. Apalagi kalau lagi berjauhan begini ya, lebih rawan ada pikiran aneh-aneh mampir atau justru nggak sempat mikir aneh saking sibuknya yang berdampak sama komunikasi juga. Terima kasih sudah mampir, yaaaa :).