Sebuah undangan masuk ke grup whatsapp. Salah satu komunitas yang saya ikuti akan menyelenggarakan kegiatan buka puasa bersama sekaligus berbagi di sebuah panti werdha atau biasa disebut juga dengan panti jompo. Mau tak mau ingatan saya melayang ke sekitar sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu milis sebuah majalah juga menggelar aksi sosial di panti werdha. Saya kira tempatnya sama, tetapi setelah dicek lagi ternyata berbeda, walaupun sama-sama di Jakarta Timur. Masih terbayang keceriaan para opa dan oma di panti werdha dulu ketika beberapa kawan mengajak beliau-beliau semua menyanyi bersama. Usai acara, sempat pula kami berkeliling sekilas, menengok sebagian penghuni yang tidak bisa beranjak keluar dari kamar dan bergabung di aula karena kondisi yang tidak memungkinkan.
Jika dulu acara bernuansa riang gembira, kali itu, tanggal 11 Juni, ketika saya, suami dan anak-anak tiba di lokasi, suasananya cenderung mellow. Maklum hari sudah beranjak menjelang senja, dan gerimis pun turun. Alih-alih menyanyi bersama, para peserta sedang menyimak tausiyah dari Coach Sulis. Saat kami mulai ikut mendengarkan, Coach sedang membahas sabar dan syukur sebagai penolong. Coach Sulis mengingatkan bahwa pada keadaan tinggal bersama teman-teman sebaya yang sama-sama sudah sepuh, konflik seringkali tidak bisa dihindarkan. Sebagian peserta ikut menanggapi dengan menceritakan pengalaman mereka. Ada yang adu mulut karena giliran ke kamar mandi, ada juga yang terlibat benturan fisik gara-gara ketidaksengajaan.
Tak terasa mata saya berkaca-kaca. Terkenang orangtua saya dan suami, nun jauh di sana. Karena penugasan, kami tak bisa terlalu sering pulang mengunjungi beliau-beliau semua. Tidak mampu selalu berada di samping beliau-beliau, merawat secara fisik dan menolong dengan tangan kami sendiri. Bagaimana kalau ternyata mereka sedang mengalami sesuatu dan perlu bantuan tetapi karena tidak ingin merepotkan kami lalu tak mau bercerita atau berkabar? Padahal bertambahnya usia bagaimanapun juga identik dengan kemunduran stamina raga, pastinya perlu perhatian khusus walau tak selalu terungkap dengan kata. Ah, jadi ingat rencana untuk membelikan mukena baru untuk mama Lebaran nanti.
Kalau di panti wredha ini sih, menurut penjelasan teman yang terlibat langsung sebagai panitia kegiatan, para kakek dan nenek penghuninya sudah tidak punya kerabat lagi. Ini menepis dugaan yang barangkali beredar bahwa sebagian penghuni panti wredha adalah beliau yang tak lagi ‘diinginkan’ keluarga. Pemerintah selaku pengelola sudah memastikan terlebih dahulu mengenai hal ini, karena jika ada kerabat tentunya akan lebih baik dirawat sendiri. Meski, pernah juga saya membaca ada manula yang enggan merepotkan sanak famili dan memilih tinggal di panti jompo bersama kawan-kawan seusia yang pola pikirnya cenderung sama.
Di panti werdha yang ini, saya melihat ada beberapa hasil karya nan cantik terpajang. Ya, beberapa eyang cukup aktif berkreasi, terlihat dari jajaran tempat tisu, dompet, hiasan dinding yang terpajang di etalase dekat aula tepat kegiatan dilaksanakan. Alhamdulillah, aktivitas berkarya seperti ini konon kan bisa juga menjaga kesehatan dan daya ingat yang lazimnya dianggap mengalami kemunduran di usia tua. Selain itu perasaan bisa berguna juga dapat memompakan semangat bagi kakek dan nenek.
Anak-anak banyak melontarkan pertanyaan mengenai apa yang mereka lihat hari itu. Saya pun berupaya untuk menjelaskan semampu saya, dengan hati-hati. Saya memang sengaja mengajak anak-anak serta, agar mereka tahu seperti apa panti werdha yang pernah kami baca bersama-sama sekilas di sebuah buku cerita.
Melalui kegiatan ini saya sekaligus hendak mengajarkan arti berbagi pada anak-anak, bertepatan dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah. Memang, berbagi bisa dilakukan kapan dan di mana saja, tidak harus mengeluarkan banyak uang (bahkan tidak melulu musti berupa materi) atau menunggu waktu tertentu. Akan tetapi, tibanya bulan Ramadhan bisa dijadikan momentum khusus. Sebagai momentum pengingat kalau-kalau selama ini kita masih kurang berbagi, juga sebagai momentum mulai menabung untuk program berbagi jika berkesempatan bersua dengan Ramadhan tahun depan, misalnya, agar hasilnya bisa lebih berdampak besar. Kali itu, selain bingkisan lebaran hasil donasi para anggota komunitas, saya pun menyampaikan pada anak-anak untuk tak alpa mengekspresikan kasih sayang pada eyang-eyang kandung mereka meski jarak memisahkan. Jadi, berbagi pada orang lain yang membutuhkan jalan terus, sambil selalu ingat bahwa orang-orang terdekat pun berhak kebagian perhatian spesial. Semoga kebiasaan berbagi yang positif ini tetap tertanam pada diri mereka hingga dewasa nanti.
Izin mampir mbak 🙂.. Wah komunitas apa tuh mbak Leila? jarang juga terlintas untuk mengadakan acara di panti wredha yah.. bagus ide komunitasnya.. iya juga jadi mengingatkan ke orangtua untuk kita-kita yang jauh dari orang tua karena penempatan ya mbak…
Silakan, Anas :). Ini kegiatan komunitas Institut Ibu Profesional (IIP), apa dan bagaimananya sebagian bisa disimak di postingan dengan kategori IIP. Betul, jadinya ingat orangtua sendiri yang terpisah jarak, semoga Allah swt berikan kesehatan untuk kita semua dan mudahkan untuk berbakti pada orangtua, ya….
Pingback: Kaum Lanjut Usia Bukan Berarti Tak Berdaya | Leila's Blog