Menyimak Petuah dari Para Master Menulis (2): Dewa Eka Prayoga

Dewa Eka Prayoga, pembicara pada sesi berikutnya mengaku sebagai pembicara yang paling muda, paling sedikit karyanya (baru 8-9 buku), dan paling sedikit (bahkan mungkin tidak ada) karyanya di toko buku (konvensional) di antara pembicara lain dalam Jumpa Penulis yang bertempat di Taman Ismail Marzuki ini. Buku lelaki asal Sukabumi ini kebanyakan berasal dari pengalaman pribadi, sehingga karyanya juga berupa tulisan nonfiksi. Buku-buku kang Dewa, begitu ia biasa disapa, memang dicetak, diterbitkan, dan didistribusikan sendiri. Salah satu tujuannya adalah untuk memberdayakan dan menyejahterakan orang-orang di sekitar. Buku kang Dewa memang mahal, tapi keuntungan ke reseller bisa 30-40% dan menurutnya sistem ini bisa membuat bisnis orang lain berkembang.

Dunia kepenulisan bagi kang Dewa adalah hal baru, kendati sejak dulu ia sudah suka membaca. Kemudian di usia dewasa mudanya, rumah orangtua kena longsor, dan kang Dewa terbelit utang cukup besar dari bisnisnya. Dipikir-pikir, menulis buku bisa menjadi jalan keluar. Buku dicetak, terbit, alhamdulillah laku dan ia bisa menutup utang. Di situ kang Dewa belajar tentang kepenulisan, mengingat ia banyak menerima kritik dari para penulis lain karena tulisannya ‘tidak jelas’, hanya berupa rangkuman kata-kata motivasi dari pihak lain.

Berhubung niat awal kang Dewa menulis adalah untuk membereskan utang, jadi setelah bukunya laris, utang tertutup, ya sudah, selesai. Balik ke bisnis lagi. Tahun 2014, ia kembali rugi besar. Tapi kondisi ini justru membuatnya bangkit. Tak hanya doa dan mendekatkan diri pada Allah swt, ia pun berupaya. Jualan ceker dan kerupuk keliling Bandung ia jalani.

Lantas kang Dewa mulai menulis lagi, bahkan ia selesaikan dengan cepat karena memang dalam kondisi nganggur. Dalam sehari, ia bisa menyelesaikan penulisan satu bab. Hasilnya adalah buku 7 Kesalahan Fatal Pengusaha Pemula, berkaca pada pengalamannya sendiri. Hikmahnya, menurut kang Dewa, bukan berarti harus stres dulu baru bisa menulis, melainkan tuliskan apa yang sedang kita alami (tapi jangan status galau juga). Sebelum terbit, ia membuka preorder buku tersebut, dan peminatnya ternyata banyak. Buku pertama ini dicetak dengan biaya percetakan Rp7.700,00 dan dijual seharga Rp60.000,00.  Terbayang kan, hasilnya lumayan banyak. Dari situ ia makin produktif menulis banyak buku.

Pesan kang Dewa, “Ketika niat awalnya nyari duit doang, begitu dapat, selesai. Maka ubah niat kita dalam menulis, lakukan dua hal yaitu luruskan (berbagi, dakwah, ibadah) dan luaskan.”

Di sesi ini kang Dewa berbagi materi Laris Sebelum Launching. Sebab, kini banyak juga penulis yang asal nulis, asal jadi, asal terbit. Padahal kalau bisa diusahakan agar laris, kenapa tidak diperjuangkan? Maka target ketika menulis buku seharusnya adalah jadi, terbit, dan laris. Di sisi lain jangan lupakan juga soal kualitas, karena kalau tidak, bisa bahaya.

Kenapa harus laris? Kang Dewa melempar pertanyaan ini ke audiens dan dijawab dengan berbagai pernyataan tujuan. Agar bisa lebih banyak sedekah, bikin percetakan sendiri, bayar utang, biaya nikah, menginspirasi orang, dst, banyak alasannya. Kata kang Dewa, apa pun yang ingin dilakukan dalam menulis buku itu benar, yang salah adalah yang tidak menulis. Kemudian kang Dewa mengingatkan, “Kebermanfaatan buku itu tersalur ketika dibeli, bukan ketika jadi!” Bahkan dibeli pun tidak cukup, harus dibaca juga.

Bagi kang Dewa, hadits inilah yang menjadi dalilnya beribadah lewat menulis: Barangsiapa menunjukkan kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala serupa seperti pahala orang yang mengerjakannya. (HR Muslim). Imbalannya bisa berupa passive income, passive pahala (mirip ya dengan yang disebutkan mba Asma beberapa hari yang lalu). Jika ada yang termotivasi dan terinspirasi dari tulisan kita, siapa tahu hal tersebut dapat menjadi tabungan amal. Jadi jangan berhenti menulis jika sudah kaya, melainkan teruslah memberi manfaat lewat menulis.

Setelah niat, apa yang harus diubah lagi? Banyak orang yang sibuk mengubah sekelilingnya terlebih dahulu, padahal yang seharusnya diubah adalah mindset. Sehingga tidak peduli siapa pun di lingkungan sekitar kita, mindset kita tetap sama. Bukan juga ubah skill kita, yang harus kita cari tetap adalah belief-nya dulu.

Jadi, mindset-nya harus diubah seperti apa? Seperti ini: “Makin laris bukunya, makin tersebar luas manfaatnya,” sebut suami teh Wiwin ini. Selanjutnya, mantapkan belief atau keyakinan kita: kalau orang lain bisa, saya pun (biidznillah) pasti bisa. Bekali diri dengan PD, yaitu Percaya Dia, percaya pada Allah swt.

Sudah saatnya penulis juga proaktif jualan agar bukunya tambah laris dan memberi manfaat. Merasa sulit? Bukan sulit sebenarnya, hanya menantang, perlu belajar lebih giat. Tidak ada yang gaptek, sebut kang Dewa, yang ada adalah kurang sabar dalam belajar. Pakai semboyan “No selling = dying!”

Apa saja kuncinya?
1) Bangun personal branding. Memang ada yang personal branding-nya terbangun setelah menulis, tapi kenapa tidak berpikir terbalik, bangun dulu personal branding untuk melariskan buku. Jadi, bangun personal brand yang kuat di niche kita masing-masing. Contohnya, kang Dewa sendiri melihat bahwa tanggapan untuk unggahan statusnya yang bertema kepenulisan lebih sepi ketimbang yang bertema bisnis. Jadi, niche-nya adalah bisnis. Gaya bahasa kang Dewa pun khas, ada ajakan terselubung yang mungkin mirip buku motivasi (tapi dari sumber lain saya membaca bahwa ia menolak disebut menulis buku motivasi).
Strategi 1: Sharing-sharing dahulu, selling-selling kemudian. Sharing-lah tentang apa saja tiap hari di media sosial, jangan tunggu buku kita terbit dulu.
Strategi 2: Makin narsis, makin eksis, makin laris! Kalau merasa karya kita belum cukup terkenal, jadinya memang harus kita yang eksis, jangan malu-malu.
Strategi 3: Jadi expert, jadi ahli di bidang kita masing-masing. Ketika menulis, termasuk menulis status, jangan nyontek, harus otentik dan orisinal.

2) List building. Jangan hanya bangga dengan follower medsos yang banyak. Traffic ada tiga jenis: yang tidak bisa kita kontrol, yang bisa kita kontrol, dan yang kita miliki sendiri. Sasaran kita adalah yang bisa kita miliki sendiri. Iklan kang Dewa biasanya ujung-ujungnya database. Gunakan extreme list building, list ini bisa dimanfaatkan untuk menyasar berbagai medsos, sampai ke e-mail dan layanan messenger. Buat sendiri grup di fb, whatsapp, telegram dst, manfaatkan pixel. Manfaatkan masing-masing saluran sesuai dengan karakternya. Pantau siapa target market kita, di waktu-waktu tertentu apa aktivitasnya, di mana kita bisa bertemu di waktu yang pas baik di dunia nyata maupun media lainnya.

3) Bangun pasukan digital atau cyber army. Mereka adalah aset digital kita.
Step 1: Umumkan ‘pembukaan lowongan’, lalu rekrut mereka yang tertarik menjual untuk kita.
Step 2: Bina, ajari pasukan kita.
Step 3: Kompori agar mereka berlomba-lomba closing penjualan produk kita (buku, acara, dst).

Sebegitu panjangnya langkah perencanaan, apakah ada jaminan sukses? “Tidak semua yang kita rencanakan pasti akan berhasil, apalagi kalau kita tidak merencanakannya,” ucap kang Dewa sebelum menutup sesinya.

#ODOPOKT14

Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post Blogger Muslimah.

11 thoughts on “Menyimak Petuah dari Para Master Menulis (2): Dewa Eka Prayoga

  1. ya allah, menurut aku teh yang udah ada tulisannya di terbitkan itu keren.. terus kapan atuh ya aku kerenya, hahaha.. tengkyu mbak leil..

  2. suka dengan closing statement nya Kang Dewa…“Tidak semua yang kita rencanakan pasti akan berhasil, apalagi kalau kita tidak merencanakannya”

    Thanks ceritanya Mbak..saya nggak bisa ikutan kemarin:)

Leave a reply to Dian Restu Agustina Cancel reply