Menyimak Petuah dari Para Master Menulis (3): Asma Nadia

Suasana sesi terakhir Jumpa Penulis di Taman Ismail Marzuki (15/10) yang sekaligus difungsikan untuk peluncuran buku Bidadari untuk Dewa agak berbeda dengan sesi-sesi sebelumnya yang penuh semangat dan diselingi canda. Ada nada-nada melankolis karena bahasan mengenai jatuh bangun kehidupan pernikahan kang Dewa, konten utama dari novel tersebut. Para peserta jadi ikutan semangat bertanya dan meminta tips, apa yang membuat istri kang Dewa begitu tegar?

Di bagian awal, Mba Asma Nadia menceritakan bahwa ada saja yang datang dan minta kisah hidupnya dituliskan. Mba Asma biasanya akan menanyakan balik, “Yakin, (kisahnya) menarik?” Mba Asma menegaskan, “Saya hanya mau menulis buku yang bagus.” Kisah yang menarik pun belum tentu inspiring, sementara mba Asma ingin pembaca mendapatkan sesuatu dari tulisannya. Jadi, apa yang membuat mba Asma mantap menulis Bidadari untuk Dewa?

Setelah ngobrol dengan kang Dewa dan bidadarinya, mba Asma merasa bahwa di usia 26 tahun ini kang Dewa sudah melalui banyak sekali ujian hidup, paket lengkap pula: harta, tahta, wanita. Dalam proses penulisannya, kang Dewa cukup jujur membuka pengalamannya, karena percaya apa yang diceritakan akan bisa memberi kebaikan. Maka, “Saya nggak punya alasan untuk menolak menulis kisah ini,” sebut mba Asma.

Mba Asma memang menggemari kisah nyata, dan ia pun menyarankan menulis kisah nyata bagi para pemula. Pertama, karena untuk belajar menulis, topik ini bisa jadi bahan latihan yang bagus. Apalagi menuliskan kisah sendiri, kita sudah tahu opening sampai ending-nya. Selain itu, melalui kisah nyata kita bisa belajar dari pengalaman orang lain yang jatuh bangun terpuruk tanpa perlu mengalami sendiri. Untuk novel BuD, mba Asma sampai mengulik mitologi Yunani. Ini juga buku mba Asma pertama yang mencantumkan topik MLM, utang, preorder, dll. Ini dianggapnya tantangan lain.

“Saya tidak bisa mematok halaman, setiap naskah punya takdirnya sendiri,” jelas mba Asma. Yang tipis nggak bisa ditebal-tebalkan, yang tebal nggak bisa ditipis-tipiskan. Umumnya novel mba Asma memiliki ketebalan 300 halaman. Baru kali ini tulisan mba Asma menembus 530-an halaman. Berarti, kata mba Asma, ada terlalu banyak hal yang menarik untuk dilewatkan. Bahkan bukan sekadar cerita perjalanan hidup, novel ini memberi solusi.

Ketika kang Dewa bilang novel ini hadiah untuk istrinya, menurut mba Asma hal tersebut menunjukkan bagaimana kang Dewa sebagai suami memuliakan istri. Lewat novel ini mba Asma berharap banget yang jomblo segera bertemu dengan bidadarinya atau menjelma bidadari. “Suami/istri yang selalu berada di sisi itu salah satu sumber kekuatan, senjata yang diberikan Allah swt.,” kata mba Asma.

Kemudian mas Tendi Murti, founder KMO yang menjadi moderator sesi ini memanggil teh Wiwin, sang ‘Haura’ dalam novel BuD, alias sang bidadari dari kang Dewa, untuk naik ke panggung. Awalnya perempuan anggun ini mengaku tak nyaman, “Ngapain juga menceritakan aib keluarga di novel?” Namun, teh Wiwin akhirnya sepakat setuju. Kesan yang ia dapat setelah membaca (selesai dalam semalam): “Novel ini berat, banyak sekali nilai-nilainya yang bisa teman-teman ambil kalau membaca.”

Memang, tutur teh Wiwin, dalam proses penulisannya, ada yang ia rasakan berat. Ketika diwawancarai oleh mba Asma, “Menggali perasaan-perasaan lama yang sudah dikubur dalam itu tidak mudah.” Setelah sudah berusaha untuk move on dari kenangan kelam, malah disuruh membongkarnya lagi. Bayangkan, 18 hari setelah menikah dengan lelaki yang di usia muda sudah bepenghasilan miliaran, mendadak kehidupan berbalik, punya utang hampir 8 miliar. Hubungannya dengan mertua pun tidak berjalan mulus waktu itu.

“Kenapa bisa tegar?” tanya salah seorang peserta pada teh Wiwin. Jawaban teh Wiwin, “Awal saya menikah adalah pilihan saya sendiri. Ketika memutuskan menikah, tentu sudah siap bertanggung jawab dengan segala konsekuensinya.” Apa pun konsekuensinya, bahagia, senang, susah, sedih, harus diterima. Ketika ada ujian yang mengenai suami, lari adalah perbuatan paling pengecut menurutnya.

“Saya ingin menikah sekali seumur hidup, dengan lelaki yang sudah dipilih di awal. Saya punya tanggung jawab. Kalau suami saya kepleset, saya punya tanggung jawab untuk menariknya kembali ke jalan yang benar.” Kecuali, katanya, kalau memang sudah tidak bisa ditarik, ia mengaku mungkin akan menyerah. Alhamdulillah Allah kembalikan ke jalan yang benar, walaupun setelah itu masih ada ujian lagi.

“Ya Allah, kasih kuat, kasih kuat. Kalau Engkau kasih ini, berarti Engkau percaya saya kuat,” teh Wiwin mengenang doanya saat diuji. Ia yakin, sungguh benar bahwa tidak ada tempat bergantung selain pada Allah. Bisa jadi diuji karena kita mengaku beriman. Positive thinking, ini cara kita mempertanggungjawabkan keimanan. Jadi jangan pakai alasan keberadaan orang lain dalam bertahan, karena itu sifatnya fana.

Mba Asma menegaskan: “Nikah itu kita membuat keputusan saat ini, kita tidak tahu apa-apa, ke depan bahagia atau tidak, tapi kita harus mengambil keputusan sekarang.” Mengingat banyak di antara peserta yang masih menyandang status jomblo, mba Asma mengingatkan bahwa doa definitif minta jodoh seperti apa secara spesifik itu perlu. Mintalah pada Allah dengan ketergantungan, dengan kebutuhan, dengan nama-nama yang bagus. Walaupun kita sudah merasa yakin, tetaplah shalat istikharah, libatkan Allah, kembalikan ke Allah, karena ketidaktahuan kita tuh banyak banget.

Satu momen saat menuliskan cerita dari sudut pandang kang Dewa yang bikin mba Asma benar-benar terkesan yaitu ketika kang Dewa diberi ujian lumpuh. Saat itu kang Dewa masih mengingat senjata terkuat yang diberikan oleh Allah kepada kita, yang bisa kita bawa ke mana-mana, yang bisa kita gunakan seperti apa pun kondisi kita. Senjata itu adalah doa. “Dewa tidak menyerah, dia tidak kalah, dia tetap menguatkan doa,” kenang mba Asma.

Ketika ada peserta yang bertanya apakah ia pernah menyesal, mengingat ujian yang bertubi-tubi, teh Wiwin menjawab mantap, “In sya Allah tidak menyesal, apalagi proses pemilihannya juga tidak instan.” Dalam memilih jodoh, ada kriteria yang menjadi pertimbangan teh Wiwin. Antara lain, apakah ini sosok yang bisa membimbing, jadi leader? Apakah ia sosok yang mudah goyah atau tidak? Dan karena sudah menyaring inilah, teh Wiwin tidak menyesal sudah menikah dengan kang Dewa, meskipun cobaan datang bertubi-tubi.

“Cinta, doa, bergerak adalah kunci,” kata mba Asma. Kang Dewa dan sang bidadari sudah berjuang melawan kemustahilan, semoga kita juga diberi kekuatan untuk melawan kemustahilan, harap mba Asma.

Pengalaman adalah hadiah dari Allah untuk kita yang mau belajar. Karena itulah, ungkap mba Asma sebelum seremoni peluncuran novel BuD, “Jangan disia-siakan kesempatan belajar ini, ini ada suami istri yang sudah berbaik hati membuka penggalan hidup mereka sebagai pelajaran. Termasuk episode terkelam dan menyakitkan, bahkan penggalan yang mereka sangat berhak untuk menolak menceritakannya.”

 

#ODOPOKT15

Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post Blogger Muslimah.

5 thoughts on “Menyimak Petuah dari Para Master Menulis (3): Asma Nadia

  1. kisah yang menarik belum tentu kisah inspiratif ya, sip sip yang jelas memang harus inspiratif supaya orang lain dapat menemukan inspirasi dan menjadi penyemangat ya

  2. Karena masih berstatus singlelillah, sesinya bunda Asma membuat saya menangis mba, padahal hanya membaca resume 😥

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s