Postingan yang terlambat ini sebetulnya. Berhubung akhir pekan kemarin belum sempat bongkar-bongkar arsip foto, jadilah baru masuk blog sekarang (dan berakibat lagi-lagi ambil sehari libur ODOP :D). Kunjungan ke Museum Sumpah Pemuda ini pun sebetulnya kami lakukan tahun lalu. Saat itu sedang ada renovasi sehingga bisa jadi beberapa bagian museum tidak sama lagi. Namun karena dulu juga belum sempat ditulis di sini, nggak apa-apa ya dipublikasikan sekarang catatannya, mumpung masih dalam suasana peringatannya juga tiga hari yang lalu.
Museum Sumpah Pemuda ini terletak di Jl. Kramat no. 106, tidak begitu jauh dari halte Transjakarta Pal Putih (arah ke Kwitang/Senen). Awalnya, gedung yang didirikan pada permulaan abad ke-20 ini adalah rumah tinggal milik Sie Kong Liang. Sejak tahun 1908, Gedung Kramat disewa oleh pelajar Stovia (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, Sekolah Pendidikan Dokter Hindia) dan RHS (Rechts Hooge School) sebagai tempat tinggal dan belajar. Mereka yang pernah tinggal dalam gedung yang dulu dikenal dengan nama Commensalen Huis itu adalah Muhammad Yamin, Amir Sjarifoedin, Soerjadi (Surabaya), Soerjadi (Jakarta), Assaat, Abu Hanifah, Abas, Hidajat, Ferdinand Lumban Tobing, Soenarko, Koentjoro Poerbopranoto, Mohammad Amir, Roesmali, Mohammad Tamzil, Soemanang, Samboedjo Arif, Mokoginta, Hassan, dan Katjasungkana (sumber: website museum).
Gedung ini menjadi saksi sejarah karena di situlah diadakan Kongres Pemuda Kedua, tepatnya pada bulan Oktober 1928. Saat itulah disepakati Sumpah Pemuda sebagaimana yang kita kenal saat ini. Sejak setahun sebelumnya, gedung ini memang sudah digunakan oleh berbagai pergerakan pemuda untuk kegiatan organisasinya. Termasuk Soekarno pun kerap kali hadir. Di sini pula diselenggarakan kongres Sekar Roekoen, Pemuda Indonesia, dan Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), sekaligus menjadi tempat sekretariat PPPI. Jika tadinya gedung ini dinamai Langen Siswo, belakangan gedung ini diberi nama Indonesische Clubhuis atau Clubgebouw (gedung pertemuan).
Rumusan Sumpah Pemuda yang disepakati oleh para pemuda yang hadir dibacakan bersama-sama kala itu.
Kami poetera dan poeteri Indonesia,
mengakoe bertoempah darah jang satoe,
tanah Indonesia.Kami poetera dan poeteri Indonesia,
mengakoe berbangsa jang satoe,
bangsa Indonesia.Kami poetera dan poeteri Indonesia,
mendjoendjoeng bahasa persatoean,
bahasa Indonesia.
Kemudian sebelum penutupan kongres, Wage Rudolf Supratman memainkan lagu “Indonesia” dengan biolanya. Biola ini hingga kini masih menjadi salah satu koleksi Museum Sumpah Pemuda yang dipamerkan. Lagu Indonesia yang kemudian menjadi “Indonesia Raya” ini dibawakan tanpa lirik, untuk mengantisipasi reaksi negatif dari peserta maupun pemerintah Belanda. Diorama yang menggambarkan situasi saat “Indonesia” diperkenalkan ke publik untuk pertama kalinya ini mengisi salah satu ruangan museum.
Selanjutnya gedung ini sempat menjadi rumah tinggal, toko bunga, hotel, hingga kantor. Pada 20 Mei 1973 Gedung Kramat 106 selesai dipugar oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, kemudian diresmikan oleh Gubernur Ali Sadikin sebagai museum dengan nama Gedung Sumpah Pemuda. Setahun kemudian, gedung ini diresmikan kembali oleh Presiden Soeharto. Oh ya, lantai keramik gedung ini masih asli sejak gedungnya didirikan, lho.
Seperti beberapa museum lain yang pernah kami kunjungi di Jakarta, Museum Sumpah Pemuda juga tutup setiap hari Senin dan pada hari libur nasional. Dulu sih kami datang di hari Minggu dan bisa tetap masuk, tetapi info di situsnya menyatakan bahwa museum ini juga tutup pada hari Sabtu dan Minggu. Adapun pengunjung dikenai tiket cukup murah, terakhir waktu kami ke sana dewasa Rp2.000,00 dan anak-anak Rp 1.000,00 (warga asing lebih mahal). Sayangnya tidak ada foto tampak depan gedung museum, karena situasi ketika kami ke sana tidak memungkinkan.
#ODOPOKT27
Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post Blogger Muslimah.
Pingback: Napak Tilas Virtual Sejarah Perjuangan Bangsa | Cerita-Cerita Leila