Apa yang Heni dan Aditia upayakan tak hanya berhenti sampai di situ. “Yang banyak didengar orang adalah program pendidikan, sebetulnya kita punya program lain seperti kesehatan, pemberdayaan ekonomi, dan social emergency,” sebut Heni. Ya, melihat di kampung yang didatangi banyak terdapat masalah sosial maupun kesehatan, suami istri ini meneruskan gerakan mereka dalam komunitas AgroEdu Jampang, diambil dari nama kampung tempat gerakan tersebut bermula. Komunitas ini berkembang pula dengan merambah program pemberdayaan ekonomi.
Dana bantuan diperoleh Heni dari para donatur, kebanyakan donatur personal tetapi ada juga dari CSR perusahaan-perusahaan besar. “Setelah 4 tahun ini, alhamdulillah, penerima manfaat kita sudah ada dari Aceh hingga Papua,” jelas Heni. Jejaring komunitasnya meluas bukan dengan sistem membuka cabang, melainkan kembali ke konsep memberdayakan masyarakat. Apa yang bisa dimanfaatkan di sana, apa yang bisa dilakukan oleh relawan setempat, itulah yang dikerjakan.
Heni ingin lebih banyak orang seperti dia yang bisa menggerakkan masyarakat di seluruh Indonesia, dimulai dari kampung-kampung. “Kita arahkan juga bahwa sumber dana kita bukan satu-satunya, kita kasih tahu caranya untuk menjadi penggerak di masyarakat. Sebab kalau saya sendiri kerjakan itu semua, kalau saya sudah tidak ada, apa yang bisa mereka lakukan?” Heni menekankan.
Dengan akses ke donatur yang cukup banyak saat ini, termasuk sejumlah donatur personal maupun CSR perusahaan besar, Heni tidak mau gegabah meneruskan bantuan. “Apakah benar dengan memberi sembako (pada masyarakat miskin) lalu menyelesaikan masalah? Yang terjadi adalah mungkin masalah dia selama seminggu atau sebulan ke depan selesai, tetapi bagaimana dengan bulan berikutnya?”
Heni kemudian menyebutkan bencana banjir beberapa waktu yang lalu. Banyak orang menyalurkan donasi berupa makanan, tetapi akhirnya banyak yang basi dan tidak termakan. Dalam hal social emergency seperti ini, Heni lebih memilih menggunakan dana bantuan untuk memperbaiki dari akar masalah, misalnya memasang filter air bersih atau sumur bor. “Jadi, kita tidak ikut isu. Lebih mahal daripada memberikan sembako, tetapi kebermanfaatannya lebih panjang,” tegasnya.
Ada memang anak-anak dari keluarga tidak mampu yang diberi beasiswa dari donatur agar bisa bersekolah, tetapi di saat yang sama Heni dan komunitasnya juga memberdayakan orangtuanya agar lebih kuat secara ekonomi. Harapannya, beasiswanya bisa dihentikan karena orangtuanya sudah cukup mampu, lalu bisa dialihkan ke anak-anak lain.
Pemberdayaan ini juga dilakukan dengan penuh pertimbangan. “Karena masalahnya berbeda, treatment-nya juga berbeda,” tukas Heni. Untuk kampung yang banyak pemulungnya misalnya, yang dilakukan adalah edukasi mengolah sampah agar memiliki nilai tambah dan lebih menguntungkan untuk dijual kembali. Bagi para janda ada program pemberdayaan dalam bentuk pemberian modal, misalnya untuk membuat sale pisang yang bisa dijual.
Metode pemberian modal usaha juga dirancang dalam bentuk kelompok-kelompok, semacam dana bergulir. Dengan demikian, kelompok yang sudah mendapatkan bantuan akan lebih bertanggung jawab dan terpacu untuk berhasil, sebab keuntungan dari kelompok itulah (dengan sistem bagi hasil) yang akan diteruskan sebagai modal kerja kelompok berikutnya.
Masih dengan tujuan pemberdayaan masyarakat, untuk bantuan yang bersifat massal pun Heni tidak mau begitu saja menggelontorkan uang. Agar bantuan yang diberikan tepat sasaran, Heni membiasakan membuat pemetaan masalah. Dari ‘pohon masalah’ ini bisa diketahui akar masalah dan disusun skala prioritasnya, “Dan ini harus partisipatif semua masyarakat. Setelah akar masalahnya ketahuan, skala prioritas sudah ada, lalu program di-breakdown lagi menjadi aktivitas dan selanjutnya sampai siapa yang mengerjakan apa,” ungkap Heni.
Heni mencontohkan sebuah kampung yang warganya melaporkan bahwa sanitasi di kawasan tersrbut kurang. Aktivitas MCK terpaksa dilakukan di tempat yang tidak sehat, hingga warga meminta dibuatkan sarana MCK yang baik. Heni pun menanyakan dulu, apa yang sudah tersedia? Warga menjelaskan bahwa tanahnya sudah ada. Bagaimana dengan status tanahnya? Warga ternyata siap mengurus surat wakafnya. Mengingat bahan bantuan material akan diantar ke tempat yang menuju lokasi pembangunan harus berjalan kaki setengah jam, siapa yang akan mengangkut? Warga menyanggupi untuk bergotong royong mengangkut, termasuk para ibu pun membantu membawa batu dengan gendongan. Makanan untuk mereka yang mengerjakan bangunan sarana MCK juga disediakan secara gotong-royong oleh warga sekitar.
Heni juga mendorong warga menyusun panitia untuk mengurus laporan, termasuk pendokumentasian perkembangan dari waktu ke waktu. Sampai siapa yang bertanggung jawab untuk memperbaiki jika ada kerusakan pun didata terlebih dahulu. Hal yang serupa diterapkan oleh Heni jika ada yang mengajukan permintaan pengobatan gratis. Urusan perizinan, panitia penyelenggaraan, dan pendataan kebutuhan tak luput dari perhatian Heni untuk ditanyakan kepada warga, dan ternyata warga bisa mengorganisasi penyelenggaraannya sendiri.
“Pola seperti ini penting. Mengedukasi, menggerakkan. Pemberdayaan harusnya membuat masyarakat menjadi kuat. Indonesia dulu merdeka karena semua orang berpartisipasi, kenapa potensi ini tidak bisa dilihat sekarang? Seringkali ada yang membuat program bantuan yang sampai tukangnya pun dibayar oleh pemberi bantuan, akhirnya warga tidak merasa memiliki sehingga kalau ada yang rusak dibiarkan. Kita tidak ingin seperti itu. Kita ingin mendidik bahwa masyarakat itu berdaya, punya energi yang bisa disalurkan untuk kebaikan,” tutur Heni bersemangat.
Kreativitas juga mewarnai variasi kegiatan yang diadakan oleh Heni dan Aditia. Ada juga wisata sosial untuk remaja atau ibu-ibu muda kekinian yang berawal dari fenomena jalan-jalan generasi sekarang. Daripada traveling hanya untuk senang-senang, pasangan ini merancang program tinggal bersama masyarakat miskin di daerah yang juga memiliki potensi wisata alam. Kedatangan relawan atau pemerhati sosial dari luar negeri yang tertarik dengan Gerakan Anak Petani Cerdas, khususnya setelah profil Heni makin dikenal di dunia internasional, juga bisa dimanfaatkan untuk kegiatan bule coming di mana anak-anak bisa mengasah keterampilan komunikasinya.
Setelah cakupan kegiatan semakin luas, sejumlah teman pasangan ini mengingatkan bahwa sudah saatnya status komunitas semakin diperkuat. Bahu-membahu para anggota komunitas mengurus perizinannya, hingga tahun ini berdirilah Yayasan Empowering Indonesia atau EmpowerIN Foundation.
“Goal yayasan kita adalah mengajak orang baik untuk berbuat baik dan (ia juga) mengajak orang lain untuk berbuat kebaikan. Kita tahu bahwa orang baik itu banyak, tapi orang baik yang mau berbuat baik itu masih sedikit, perlu inspirasi, perlu motivasi. Riak kecil bisa mmenjadi ombak besar karena dilakukan oleh banyak orang di banyak tempat,” tutup Heni.
**wawancara ini dilakukan sebagai bagian dari tugas saya sebagai redaksi majalah kantor, tetapi karena keterbatasan halaman, jadi untuk versi majalah banyak yang dipangkas. Foto-foto oleh rekan saya, Imam Nur Arifin.
MasyaAllah.. salut ya! 🤗
Iya, Mbaa, apalagi mba Heninya lebih muda daripada aku, jadi mengingat-ingat, di usia yang sama pencapaianku apa ya….
Exactly! That’s how i feel too…
thats right mbk
pease et me know your WA number mbk