Heni Sri Sundani: Saya Percaya Pendidikan Bisa Memutus Mata Rantai Kemiskinan (Bagian 1)

Pertama kali saya bertemu dengan mbak Heni adalah ketika acara nonton bareng film Kartini yang diadakan oleh majalah Femina dan AXA Mandiri. Mbak Heni menjadi satu dari sejumlah perempuan inspiratif yang secara khusus diundang untuk nonton bareng dan mengisi sesi bincang-bincang setelahnya (selain juga menjawab pertanyaan di sesi live tweet Femina dalam rangka Hari Kartini beberapa hari sebelum acara). Kami hanya sempat mengobrol sekilas di ruang tunggu CGV Grand Indonesia, tempat acara tersebut diadakan. Saya tertarik untuk mewawancarai mbak Heni lebih jauh mengenai kiprahnya untuk mengisi rubrik Persona di majalah internal kantor, dan alhamdulillah ‘proposal’ saya dikabulkan oleh atasan. Jadilah saya berangkat bersama rekan untuk bertemu langsung dengan mbak Heni di rumahnya di Bogor.

Nama Jaladara yang digunakan sebagai nama pena oleh mbak Heni terdengar tidak asing di telinga. Setelah buka-buka arsip dan membaca CV mbak Heni selengkapnya, barulah saya ingat bahwa kami pernah sama-sama aktif mengikuti audisi atau lomba kepenulisan pada suatu masa. Kalau menyimak daftar nama peserta yang lolos atau menang, acapkali tertera nama mbak Heni. Jadi pertemuan waktu itu bak kopdaran saja. Tulisan kami berdua belum pernah lolos barengan dalam satu buku antologi sih, dan mbak Heni sendiri sudah bergerak lebih jauh daripada sekadar jadi peserta, yaitu dengan berinisiatif menjadi koordinator tulisan tema tertentu. 

Berikut adalah hasil bincang-bincang kami (yang dimuat di majalah adalah versi pendeknya, dan ini pun belum semuanya, sih).

======================================================================================

Pengalaman masa kecil yang penuh perjuangan untuk dapat mengenyam pendidikan tak membuat Heni Sri Sundani (30 tahun) jera. Ia justru semakin semangat menuntut ilmu, dan berkeinginan turut memberi sumbangsih untuk dunia pendidikan.

“Berangkat dari cita-cita pribadi, sejak kecil saya ingin jadi guru. Waktu SD, saya pulang pergi dua jam, melewati sawah dan perkebunan karet. Sudah jauh-jauh, tapi ternyata gurunya kadang-kadang tidak masuk. Belum lagi kalau hujan, padahal seragam dan sepatu cuma sepasang,” kenang Heni. Jika kehujanan, ia harus mengangin-anginkan seragam, tas, sepatu, dan isinya di atas perapian tungku kayu di rumah.

Ditemui di perpustakaan rumahnya yang terbuka untuk umum di Desa Lemah Duhur, Caringin, Bogor, perempuan yang masuk dalam daftar 30 Under 30 kategori Social Entrepreneur Asia majalah Forbes International tahun 2016 ini begitu bersemangat mengisahkan kegiatannya di bidang pendidikan dan sosial. Sepanjang perbincangan, anak-anak dari kampung sekitar berdatangan untuk membaca buku atau bermain. Bukan hanya menyediakan perpustakaan, rumahnya juga terbuka untuk kegiatan belajar bersama bagi anak-anak maupun ibu-ibu, dan yang baru saja diresmikan adalah layanan kesehatan.

Kendala yang Heni temui dalam bersekolah memang tidak sedikit. Ia hanya tinggal dengan sang nenek yang memiliki kekurangan fisik dan tuna aksara, di sebuah kampung di Ciamis, Jawa Barat. “Kalau ada PR, kadang sampai nangis karena jika ada kesulitan bingung mau tanya ke siapa, tetangga juga pada nggak sekolah,” kata Heni.

Selepas jam sekolah, Heni biasanya membantu neneknya mengumpulkan kayu bakar untuk memasak di rumah atau dijual guna mendapatkan uang tambahan. Untuk makan, Heni dan neneknya mengandalkan uang kiriman dari ibu Heni yang bekerja sebagai buruh pabrik di Bekasi. Kedua orangtua Heni sudah berpisah. Saat itu listrik belum masuk ke kampung tempat tinggal Heni, sehingga jika ada PR yang belum sempat dikerjakannya di siang hari, artinya Heni harus mengerjakan tugas tersebut dengan penerangan lampu minyak. Itu pun sang nenek harus menjaga dengan tangan agar apinya tetap menyala akibat embusan angin yang sering memasuki rumah mereka yang hanya berdinding bambu.

Heni lulus dari SD dengan nilai Ujian Nasional tertinggi di sekolah. Ia meneruskan pendidikan di SMP di kecamatan sambil membantu mengerjakan tugas rumah tangga di keluarga kakaknya, kemudian dilanjutkan di SMK jurusan Akuntansi di kota. Ibu Heni sudah behenti bekerja dan hanya bisa mengirimkan uang untuk kos. Di SMK, Heni berhasil memperoleh beasiswa yang bisa dipakainya untuk membeli seragam lengkap setelah sebelumnya sering kena tegur akibat tidak memakai seragam sesuai ketentuan. Untuk kebutuhan lain, ia masih harus berupaya. “Survive sendiri, bantu-bantu teman jual jilbab, terima jasa ketik dengan komputer,” jelasnya.

“Saya merasakan sendiri jadi anak buruh tani. Anak petani saja miskin, apaklagi anak buruh tani yang tidak punya lahan dan mengandalkan dikasih upah oleh petani. Buruh lain banyak LSM yang membela. Waktu saya bekerja di Hong Kong, ketika serikat pekerja berdemo biasanya akan ada tuntutan yang dikabulkan meskipun tidak sepenuhnya. Kalau buruh tani, siapa yang memperjuangkan haknya? Saya percaya pendidikan bisa memutus mata rantai kemiskinan ini, dan gerakan-gerakan dari grass root perlu diperbanyak. Ketika kita ingin membangun Indonesia, kita harus mulai dari kampung-kampung. Dan, jika kita ingin membangun sebuah bangsa maka kita bangun mulai dari ke pondasi paling bawah, yaitu keluarga,” cerita perempuan yang juga memperoleh berbagai penghargaan atas aktivitasnya yang inspiratif ini.

Lulus dari SMK, perempuan yang lahir pada hari pendidikan nasional ini ingin kuliah agar bisa meraih cita-citanya menjadi guru. Namun, dari mana biayanya? Tiba-tiba Heni teringat pada guru bahasa Mandarin di sekolahnya yang pernah menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Korea selama dua tahun. Kendati sempat ditentang oleh nenek dan ibunya, Heni bertekad bulat untuk berangkat ke Hong Kong sebagai TKI. Serangkaian pelatihan pun dijalaninya.

Di sana Heni tentu sibuk bekerja, belum lagi proses adaptasinya dengan lingkungan, bahasa, dan budaya yang baru. Akan tetapi Heni tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk kuliah lagi di jurusan IT sebuah kampus di Hong Kong yang menyediakan metode belajar jarak jauh. Gelar Diploma Komputer Informatika dan Diploma Profesi e-business berhasil ia raih.

“Majikan saya tidak tahu jika saya kuliah. Jika tahu, dia pasti akan marah besar. Karena ketika saya tepergok sedang membaca koran di sela waktu istirahat di dapur, majikan saya bilang, pembantu itu yang penting bisa menjaga anak, memasak, dan merawat rumah dengan baik. Tidak perlu membaca buku apalagi membaca koran, tidak berguna!”

Kalimat tersebut justru menjadi cambuk bagi Heni. Dari hasil tabungan, Heni bisa membeli laptop yang digunakannya untuk membuat tulisan. Tulisan-tulisan itu ia kirimkan ke berbagai media berbahasa Indonesia di Hong Kong, juga ke panitia lomba-lomba menulis di Indonesia. Nama pena yang ia gunakan adalah Jaladara. Heni juga aktif berorganisasi, baik di organisasi kepenulisan maupun advokasi. Dari aktivitasnya inilah, ia jadi tahu bahwa ada haknya sebagai pekerja yang tidak terpenuhi, baik oleh penyalur maupun majikannya. Namun, Heni tetap bertahan.

Tiap bulan, disisihkannya uang dari gajinya untuk membeli buku. Buku-buku ini biasanya ia bawa ke taman sehingga teman-teman sesama TKI bisa meminjamnya di hari libur. Selama enam tahun di Hong Kong, Heni sudah memiliki lebih dari 3000 buku yang nantinya ia boyong pulang ke Ciamis untuk membuka perpustakaan di rumah ibunya.

Syukurlah, majikan kedua Heni jauh lebih baik. Karena sudah merasakan sendiri bangkit dari kemiskinan lewat kerja keras, majikan baru ini justru mendorong Heni untuk terus bersekolah. Maka Heni pun mendaftarkan diri ke Saint Mary’s University, tempat ia akhirnya lulus dengan predikat cum laude dan beroleh gelar Bachelor of Science in Entrepreneurial Management.

Heni pulang ke Indonesia pada tahun 2011 tanpa niatan meneruskan bekerja di negeri seberang, karena cita-citanya untuk kuliah toh sudah terpenuhi. Tapi dalam hal pendidikan, Heni merasa tak cukup hanya di situ. Tahun lalu Heni berhasil menamatkan studinya di jurusan Magister Management, Bumi Putera Business School.

Gerakan Anak Petani Cerdas diawali dari pemikiran Heni dan suaminya, Aditia Ginantaka, dosen pertanian di Universitas Djuanda yang juga seorang peneliti. Sejak menikah tahun 2012, pasangan yang awalnya bertemu di sebuah kegiatan amal ini tinggal di Bogor. Hadirnya seorang bibi yang membantu mereka menyeterika di rumah dengan alasan butuh pekerjaan menyadarkan Heni yang saat itu mengajar di sebuah sekolah swasta. “Ternyata banyak sekali warga kampung sekitar perumahan yang hidup tidak layak.”

Dari hasil diskusi Heni dengan suami, muncul ide memberikan pendampingan belajar kepada anak-anak petani miskin yang kemudian dinamai Gerakan Anak Petani Cerdas. Dari satu kampung, gerakan ini meluas ke kampung-kampung lain hingga jumlah anak yang didampingi oleh Heni, Aditia, dan para relawan mencapai lebih dari 1700 orang, tersebar di berbagai wilayah.

“Kami berdua saja tidak bisa memberi influence yang besar. Kita tidak bisa bekerja sendirian. Yang dibutuhkan oleh bangsa ini adalah gerakan-gerakan kecil yang masif. Kami belajar dari sejarah kemerdekaan Indonesia, itu karena ada pahlawan-pahlawan dari berbagai daerah. Kita bukan perlu hal yang besar, tetapi perlu hal kecil yang dilakukan secara masif oleh banyak orang. Salah satu solusinya adalah gerakan petani cerdas.”

Metode pendidikan yang diterapkan oleh Heni adalah fun learning by doing. “Diharapkan, mereka mendapatkan pengalaman belajar yang menyenangkan dan memahami mengapa belajar itu penting. Ada tiga pelajaran penting yang kami ajarkan yaitu kemampuan linguistik (bahasa Inggris), kemampuan literasi (baca-tulis-diskusi), dan kemampuan mengasah logika seperti pelajaran matematika dan bisnis. Kami bekali juga dengan kemampuan komputer, pertanian, peternakan, perkebunan, dan bahasa daerah, karena kami berharap kelak merekalah yang akan terus melestarikan local wisdom. Kami pun selalu menanamkan motivasi dan pendidikan karakter kepada mereka. Kami berharap anak-anak petani cerdas ini bisa tertib membuang sampah, disiplin memanfaatkan waktu, mampu mengantre, dan berkata secara sopan. Saya selalu tanamkan bahwa mereka bisa mendapatkan kehidupan yang lebih layak melalui pendidikan,” urai Heni.

(bersambung ke bagian kedua)

 

**Foto-foto oleh rekan saya, Imam Nur Arifin.

2 thoughts on “Heni Sri Sundani: Saya Percaya Pendidikan Bisa Memutus Mata Rantai Kemiskinan (Bagian 1)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s